Musim hujan tahun lalu, di ujung pergantian tahun, aku mulai menyemai harapan tentang dirimu. Di musim hujan tahun lalu, cinta tumbuh seiring rintik-rintik yang membasahi atap kamar.
Dulu, sebelum aku bertemu denganmu, musim hujan tak ubahnya cerita kelam. Ada masa lalu pahit, serta harapan yang belum tuntas menagih impian. Setiap kali kemarau usai, musim hujan menjelma nenek sihir dengan dongeng pengantar tidur yang cukup mencekam.
Musim hujan tiba, aku pun teringat hubungan yang putus tengah jalan. Aku pernah mendatangi seorang perempuan di tengah gerimis hujan. Membawakannya bunga, menungguinya di depan beranda, sampai dia keluar menemuiku.
Selain itu, aku juga pernah menuturkan kalimat ingin menikahi seorang perempuan, di sebuah kafe, di tengah gerimis hujan. Perempuan yang sama: dia yang aku temui di beranda rumahnya dengan seikat bunga.
Barangkali itu adalah cerita manis. Tapi menjadi mimpi buruk saat aku sadar, aku lelaki di tengah ketidakpastian. Dia perempuan yang tidak bisa mencintaiku sepenuhnya.
Aku meringkuk di dalam kamar. Di bawah atap kamarku, rintik-rintik hujan memberi cerita kelam tentang lelaki pendiam dan pupusnya sebuah harapan.
Di musim hujan berikutnya, aku memberanikan diri menyemai harapan. Harapku, semoga aku berjodoh dengan perempuan samahalnya aku menemuimu di musim hujan tahun lalu. Aku berharap akan ada pertemuan lagi di sebuah kafe dengan suara rintik serta udara dingin yang sesekali membuatku menggigil. Sayangnya, harapan itu gagal meraih klimaksnya.
Begitu seterusnya. Hujan tidak mampu mengobati kerinduan seseorang. Hujan membasahi atap kamar, tapi tidak untuk hati yang kerontang oleh penantian.
Tahun lalu adalah Shio Kuda Kayu. Lelaki dengan Shio Naga, konon, kurang berjodoh di tahun tersebut. Kenyataannya memang begitu. Tidak ada kemujuran. Tapi akhir Desember tahun lalu, di ujung musim hujan, aku menyemai harapan tentang dirimu. Itu adalah penutup tahun yang bagus untuk orang dengan Shio Naga di tahun Kuda yang kurang menguntungkan.
Kamu perempuan yang sering membuatku tertarik untuk memuji, menggoda, atau menyapamu tanpa alasan pasti. Aku suka menggodamu dengan panggilan, "Ne" dan kamu menjawab, "Iya. Ada apa?". Di ujung obrolan, aku membuatmu kesal karena aku hobiku yang suka memanggilmu tanpa maksud yang jelas.
"Kamu suka manggil-manggil nggak jelas ya?" tanyamu, kesal.
Musim hujan sudah tiba di bulan Februari. Hujan tidak sederas Desember. Berbeda dengan obrolan kita yang kian deras.
Aku menanyakan tentang lelaki Aquarius yang pernah ada dalam hidupmu. Kamu pun menasihatiku agar lepas dari luka masa lalu.
"Kamu hanya belum jatuh cinta pada orang yang tepat," ucapmu. Siapa orang yang tepat itu? "Dia yang tidak akan menyakiti dan mengecewakan," lanjutmu. Bukankah setiap orang pasti pernah mengecewakan dan menyakiti?
"Kalau pun pernah menyakiti dan mengecewakan, orang yang tepat akan mengakui dan segera memperbaikinya," ucapmu lagi.
Aku yang semula menahan diri untuk jatuh cinta, akhirnya jatuh cinta juga. "Justru orang yang berusaha menahan rasa cinta, akan cepat jatuh cintanya," terangmu.
Cinta kita tumbuh dengan sederhana. Tidak butuh rayuan yang membubungkan perasaan perempuan setinggi langit, atau janji-janji agar dia meyakini pasangannya. Seperti hujan dan aliran sungai, cinta kita tumbuh seiring kebutuhan dan kemauan saling mengasihi.
Musim hujan 2015, di ujung pergantian tahun, aku tidak lagi menghitung masa lalu yang menyakitkan. Sebaliknya, aku mengingat nikmat yang Tuhan kasih lewat perempuan sederhana yang membuatku mengingat masa depan.
Jakarta, 5 Desember 2015
*Untuk Gemini: yuk cek DM lagi.