Selasa, 05 Januari 2016

Selera, Siapa Diselamatkan Siapa

Share & Comment

Saat menyempatkan diri mengunjungi toko buku di pusat perbelanjaan umum, di saat itu juga, kata yang paling memenuhi pikiran saya adalah "selera". Kenapa orang itu menyukai novel humor? Kenapa orang lain memilih membeli novel terjemahan? Kenapa rak-rak novel roman selalu penuh dengan pengunjung? 

Itulah pertanyaan saya mengenai selera saat masuk ke toko buku. KBBI menjelaskan arti "selera" sebagai kesukaan, kegemaran yang akhirnya jatuh pada pribadi masing-masing. Sulit kan apabila segala sesuatu sudah dikembalikan pada penilain individu? Akan lahir dalih-dalih yang mengatasnamakan pribadi, setiap orang berhak menentukan pilihannya masing-masing.

Empat tahun yang lalu, saat masih kerja di salah satu agency naskah buku, saya sering merasa heran ketika teman kerja saya sangat suka membaca novel islami dengan latar Eropa yang lagi happening saat itu. Tidak hanya membaca, tapi juga memuji habis-habisan novel yang dibacanya. Dalam batin, "Apa yang membuatnya menyukai novel itu?" Dan lewat beberapa kali obrolan, dia menyebutkan subjektivitasnya. Novel ini bisa ngasih cerita secara detail, membawa unsur-unsur islami di dalamnya, latar ceritanya hidup, dll.

Itu adalah subjektivitasnya, yang terpayungi dalam selera bacanya yang memang rata-rata menyukai novel populer yang ditulis oleh penulis-penulis yang lagi happening saat itu, dengan bumbu cerita percintaan dibalut kisah-kisah motivasi.

Baru kemarin hari, Sabtu (2/1/16), saya menyodorkan Negeri Senja karya Seno Gumira Ajidarma kepada seseorang yang lagi dekat dengan saya--sebut saja pacar, atau calon istri (sambil membatin "Amin" tiga kali). Nama SGA memang jadi salah satu cerpenis favorit saya. Subjektivitas saya berbicara, dia penulis dengan ide cerita yang liar, serta pemilihan diksi rapih, manis, tapi tidak over dramatis.

Tapi apa boleh buat, subjektivitas saya tersebut berbenturan dengan subjektivitas pacar saya. Dia urung membeli Negeri Senja. Sebab dia lebih suka membaca novel yang bercerita, berkonflik, dan tidak terlalu berkutat dengan diksi atau metafora yang berbelit. Itulah subjektivitas saya dan dia. Subjektivitas yang pasti tidak dipayungi dalam selera yang sama.

Semasa masih kuliah broadcast di kampus swasta di Yogyakarta, obrolan tentang selera lebih intens lagi--sama intensnya ketika masih berada di komunitas penulis awal-awal hidup di Jogja. Yang berada dalam satu selera yang sama, dengan sendirinya akan terkelompokkan. Obrolan tentang selera hampir disinggung setiap hari. Saya tidak bisa menyukai selera senior saya yang lebih condong pada gaya bercerita Gus Mus. Saya juga tidak bisa menyukai selera teman saya yang lebih suka film-film super hero, dst.

Secara psikologis, orang-orang akan menghindari apa yang tidak disukainya dan mendekat pada apa yang digemarinya. Sama seperti Voltaire, dia hanya membaca buku yang menyenangkan dirinya, dan cocok dengan seleranya.

"Bagi saya, saya hanya membaca untuk menyenangkan diri sendiri dan apa yang cocok dengan saya," ucap penulis Perancis tersebut. Dia hanya melihat selera bacanya, tidak peduli dengan apa yang dibaca orang umum, "Bodoh memiliki kebiasaan percaya segala sesuatu yang ditulis penulis terkenal sangat mengagumkan."

Menyerahkan bacaan dan selera membaca kepada diri masing-masing sangatlah pas. Sampai di sini, masalah seolah berakhir begitu saja.

Selera, Subjektivitas dan Siapa Diselamatkan Siapa 

Saya merasa sangat beruntung pernah membaca karya-karya SGA, Hamsad Rangkuti, Danarto, Gus Tf Sakai, Oka Rusmini, Yanusa Nugroho, dll. Karya-karya mereka hidup dalam diri saya.

Pertemuan saya dengan karya-karya mereka setelah sebelumnya saya lebih sering membaca karya dari penulis islami dari majalah cerita yang juga berbau keislaman sangat kental. Di masa pertumbuhan saya di bidang penulisan tahun 2004 silam, awalnya saya menjejali diri saya dengan cerpen bercerita syarat konflik dari penulis-penulis islami. Sebagian suka, tapi lebih sering tidak suka. Sampai pada suatu hari, saya iseng membuka majalah Horison di rak perpus yang jarang tersentuh oleh anak-anak lain. Pertemuan dengan cerpen Hamsad Rangkuti membuat saya langsung jatuh cinta. Mulai saat itu, selera saya bertemu dengan bacaan yang pas.

Mereka yang saya baca di masa 'pertumbuhan', akhirnya berpengaruh hingga sekarang. Dari sini, saya selalu menganggap diri saya terselamatkan oleh bacaan dan selera baca di waktu itu.

Dalam berkarya, referensi dan selera punya pengaruh besar. Tidak bisa dipungkiri! Siapa menyukai siapa akan menentukan bentuk karya yang dilahirkan. Saat J.J. Abrams semasa kecil begitu menggemari Star Wars, film-film yang disutradarianya pun mewujud dalam bentuk Star Trek.

J.J. Abrams lahir 27 Juni 1966. Start Wars kali pertama rilis tahun 1977, saat usianya menginjak 11 tahun. Itulah selera, yang membangun jati diri karya seseorang.

Tapi terlalu rumit jika selera harus dijustifikasikan dengan kualitas karya seseorang. Kita tidak sedang membahas itu. Kita hanya membahas selera dan wujud sebuah karya. Soal baik dan buruknya, itu urusan penilaian para ahli.

Yang pasti... selera, sesubjektif apa pun penilaiannya, dia adalah juru selamat identitas diri kita. Jika dia berperan sepenting itu, tidak ada salahnya mengoreksi subjektivitas dan mendewasakan selera dengan sebagus-bagusnya karya.

Jika Stephen Chow bilang, "Seorang kreator tidak hanya butuh subjektivitas, tapi juga butuh objektivitas." Barangkali membaca pun demikian. Agar kita tidak terlena pada bacaan dan selera subjektif yang siapa tau justru menenggelamkan.

Jakarta, 05 Januari 2016

Tags:

Written by

Penulis buku, tinggal di Yogyakarta. Twitter: @Naqib_Najah

  • Punya Materi Bagus Tapi Tidak Ada Waktu Menulis!

    Banyak dosen yang tidak mempunyai waktu untuk menulis, padahal, mereka punya materi yang sangat bermanfaat.

  • Saya menulis buku biografi!

    Saat ini buku sudah dilirik sebagai media dokumentasi hidup yang sangat positif. Anda butuh penulisan biografi?

  • Berapa Biaya Hidup di Jogja? (Feature Radio)

    Ini dia pertumbuhan biaya hidup di kota pelajar ini. Pengin tahu lebih lanjut?

  • Jogja Kian Macet! (Esai Foto)

    Januari 2014 lalu saya beserta tim membuat esai foto menyoroti pembangunan hotel dan tingkat kemacetan....

  • Pengin Bikin Iklan Produk dalam Bentuk Video? Murah Kok!

    Iklan dengan bentuk video ternyata terkesan beda. Banyak orang melakukan hal ini, tapi... berapa sih biayanya?

 

Paraqibma Video Project


Layaknya anak-anak seusianya, Akila sering menemukan masalah saat proses belajar. Mulai dari susah diminta mengerjakan PR, hingga kejenuhan dengan sistem belajar.

Apa yang terjadi pada Akila selanjutnya? Simak video iklan berikut: Quamon, mini project by Paraqibma.

Artikel Bisnis


Dizipoint menjadi jembatan antara pebisnis dan pasar online. Selain plaza online, Dizipoint juga menyediakan artikel-artikel bisnis bagi pengunjung.

Saya menulis artikel-artikel bisnis untuk plaza online tersebut. Silakan login di sini untuk membaca artikelnya.

New Aquarich (Coming Soon)

Copyright © New Paraqibma | Designed by Templateism.com