Kamis, 17 Oktober 2013

Nasib di Ambang Pintu

Share & Comment
Hidup setengah-setengah tidak ada enaknya. Pengertian hidup setengah-setengah bisa bermacam-macam. Seseorang dikatakan setengah-setengah karena bekerja kurang maksimal, begitu pun, label “setengah-setengah” akan disematkan ketika ia berhenti di tengah proses yang sudah dijalaninya cukup panjang.
Dari sekian ilustrasi perihal hidup setengah-setengah, yang paling menarik adalah ketika seseorang tidak bisa mencicipi sesuatu padahal menu yang diidamkan sudah di depan mata. Lama mengidamkan kare ayam, tapi ketika menu sudah dihidangkan, kenikmatannya hanya sebatas penghayatan kedua mata. Itulah hidup setengah-setengah.
Di dalam agama, dulu, sering diceritakan seorang hamba yang masuk surga namun hanya bisa mencicipi sebatas serambinya saja. Hamba seperti ini, berada di tengah kenikmatan namun juga ke-ngenesan. Ngenes karena tahu betapa nikmatnya surga namun ia tidak bisa menikmatinya secara total. Ngenes karena melihat rekan-rekannya menghuni kamar kelas atas sementara ia hanya di emperan. Itu hanya cerita.
10 Oktober 2013 kemarin, saya duduk dengan sahabat saya di backstage. Kamis malam itu, ada pengajian akbar di kampus. Saya duduk sambil menemani sahabat saya yang bertanggung jawab mengatur kelancaran jalannya acara. Ia bercerita mengenai hobinya di bidang olahraga. Statusnya sebagai cewek berkerudung, dengan pengetahuannya perihal MotoGP, bulutangkis hingga Liga Inggris, membuat saya sedikit heran.
Susah memercayai cewek yang ngaku-ngaku suka olahraga. Saya menaruh curiga, kecintaan seorang perempuan terhadap olahraga hanya karena efek domino lingkungannya saja. Karena lagi musimnya timnas, naiklah populasi cewek-cewek yang gemar bola. Karena lagi musimnya kemenangan Butet-Towy, meningkatlah jumlah cewek-cewek yang suka bulutangkis, dst.
Namun karena ia bercerita tentang pengorbanan uang 100 ribu untuk membeli tiket Sunrise Yonex-Indonesia Grand Prix Gold 2013 yang digelar di Yogyakarta, saya pun percaya bahwa dia sport addict.
Tahun 2011 lalu, ia mendapat kesempatan jalan-jalan ke Malaysia. Ia termasuk siswi beruntung yang bisa study tour ke negeri jiran. Tiga hari di negeri tetangga, ia melancong ke beberapa tempat. Mukanya datar-datar saja ketika menceritakan suasana tempat yang ia kunjungi. Baru ketika ia sampai pada kata Sepang, keduanya tangannya mulai membentuk gesture.
Semangat bicaranya naik bukan karena ia mendapat kesempatan nonton perhelatan MotoGP di sirkuit Sepang, Malaysia. Ia adalah manusia setengah-setengah lantaran Sepang yang sudah di depan mata, namun tidak bisa ia masuki. Sebagai pencinta ajang balap, ia tentu sangat ingin duduk di tribun penonton, walau cuma untuk membayangkan Valentino Rossi melakukan overtaking di salah satu tikungan yang ada.
Cerita Sepang itu menjadi penyesalan luar biasa hingga kini. Rasa sesal yang bercampur bahagia sebab ‘syukur-sukur’ sudah diberi kesempatan melihat Sepang dari luar. Namun justru karena episode setengah-setengah itu, ia masih diburu jutaan penasaran.
Di zaman saya masih ingusan, supaya saya tidak terjebak dalam hidup setengah-setengah, ibu saya selalu menjauhkan saya dari bapak-bapak penjual mainan. Di desa saya, ketika bulan Agustus tiba, Balai Desa akan diubah menjadi pasar malam. Supaya saya tidak merengek, ibu saya mengajak saya ke tempat itu. Sayangnya, kenikmatan itu tidak menemui klimaksnya lantaran ibu saya yang tidak membelikan mainan. Sebaliknya, kedua mata saya yang kadung melihat miniatur Kamen Rider, memaksa saya bermain dengan Kamen Rider hanya sebatas alam mimpi.
Episode hidup setengah-setengah membuat waktu seseorang berkelindan antara kalimat, “Ah, andai saja….’
***
Hari selasa, 7 Agustus 2012 silam, situs online National Geographic memposting hasil penelitian yang cukup menarik. Di antara peraih medali emas, perak, dan perunggu, ternyata orang-orang yang paling mudah tersiksa adalah pemenang kedua. Sementara peraih perunggu dikatakan sebagai pemenang paling bahagia.
Hidup dalam versi peraih medali perak adalah episode hidup setengah-setengah. Sekalipun secara kasta ia lebih tinggi ketimbang pemenang ketiga, namun bayang-bayang kekalahan lebih menjadi trauma ketimbang kenangan mengangkat piala.
“Peraih medali perak menyiksa diri sendiri dengan perkatan. ‘Ah, andai saja…’, atau dengan ‘Kenapa saya tadi tidak…,” tulis National Geographic mengutip pendapat dari salah satu peneliti Victoria Medvec, Scott Madey, dan Thomas Gilovich.
Di dalam sepak bola, hal paling berkesan adalah hasil pertandingan terakhir. Jika medali ini dikaitkan dengan ajang satu ini, maka pemenang medali perak akan terbayang-bayang dengan kekalahan mereka di partai final. Kondisi terbalik terjadi pada pemenang medali perunggu. Sekalipun hanya sebagai pemenang ketiga, namun di akhir kompetisi mereka mendapat momen manis dengan mengalahkan tim lawan.
“Kadang dalam olahraga beregu, penjelasannya sangat mudah: peraih medali emas dan perak diputuskan dalam laga final, membuat si peraih perak pulang dengan kenangan kekalahan. Sedangkan peraih perunggu bertanding di laga yang berbeda dan pulang dengan kenangan kegemilangan,” lanjut hasil penelitian tersebut.
***
Gejala “Ah, andai saja” sudah menjangkiti keseharian kita. Seiring berjalannya waktu, kita akan (atau barangkali sudah) masuk dalam tahapan hidup yang dinamakan”nasib di ambang pintu”. Jarak antara kesuksesan dan kegagalan begitu tipis. Mau bahagia tapi kok masih teringat hal-hal yang menyakitkan, mau sakit tapi kok ingat kalau kita berada dalam kenikmatan. Ya sudahlah, andai saja.
Supaya nasib tidak lagi di ambang pintu, memang ada baiknya kita membuat pergeseran sedikit. Kalau pun tidak bisa bergeser secara fisik, barangkali kita bisa menghindari hidup setengah-setengah secara kognitif.

Yogyakarta, 17 Oktober 2013
Tags: ,

Written by

Penulis buku, tinggal di Yogyakarta. Twitter: @Naqib_Najah

  • Punya Materi Bagus Tapi Tidak Ada Waktu Menulis!

    Banyak dosen yang tidak mempunyai waktu untuk menulis, padahal, mereka punya materi yang sangat bermanfaat.

  • Saya menulis buku biografi!

    Saat ini buku sudah dilirik sebagai media dokumentasi hidup yang sangat positif. Anda butuh penulisan biografi?

  • Berapa Biaya Hidup di Jogja? (Feature Radio)

    Ini dia pertumbuhan biaya hidup di kota pelajar ini. Pengin tahu lebih lanjut?

  • Jogja Kian Macet! (Esai Foto)

    Januari 2014 lalu saya beserta tim membuat esai foto menyoroti pembangunan hotel dan tingkat kemacetan....

  • Pengin Bikin Iklan Produk dalam Bentuk Video? Murah Kok!

    Iklan dengan bentuk video ternyata terkesan beda. Banyak orang melakukan hal ini, tapi... berapa sih biayanya?

 

Paraqibma Video Project


Layaknya anak-anak seusianya, Akila sering menemukan masalah saat proses belajar. Mulai dari susah diminta mengerjakan PR, hingga kejenuhan dengan sistem belajar.

Apa yang terjadi pada Akila selanjutnya? Simak video iklan berikut: Quamon, mini project by Paraqibma.

Artikel Bisnis


Dizipoint menjadi jembatan antara pebisnis dan pasar online. Selain plaza online, Dizipoint juga menyediakan artikel-artikel bisnis bagi pengunjung.

Saya menulis artikel-artikel bisnis untuk plaza online tersebut. Silakan login di sini untuk membaca artikelnya.

New Aquarich (Coming Soon)

Copyright © New Paraqibma | Designed by Templateism.com