Hidup setengah-setengah tidak ada
enaknya. Pengertian hidup setengah-setengah bisa bermacam-macam. Seseorang dikatakan
setengah-setengah karena bekerja kurang maksimal, begitu pun, label “setengah-setengah”
akan disematkan ketika ia berhenti di tengah proses yang sudah dijalaninya
cukup panjang.
Dari sekian ilustrasi perihal hidup
setengah-setengah, yang paling menarik adalah ketika seseorang tidak bisa
mencicipi sesuatu padahal menu yang diidamkan sudah di depan mata. Lama mengidamkan
kare ayam, tapi ketika menu sudah dihidangkan, kenikmatannya hanya sebatas
penghayatan kedua mata. Itulah hidup setengah-setengah.
Di dalam agama, dulu, sering
diceritakan seorang hamba yang masuk surga namun hanya bisa mencicipi sebatas
serambinya saja. Hamba seperti ini, berada di tengah kenikmatan namun juga ke-ngenesan. Ngenes karena tahu betapa nikmatnya surga namun ia tidak bisa
menikmatinya secara total. Ngenes karena
melihat rekan-rekannya menghuni kamar kelas atas sementara ia hanya di emperan.
Itu hanya cerita.
10 Oktober 2013 kemarin, saya duduk
dengan sahabat saya di backstage. Kamis
malam itu, ada pengajian akbar di kampus. Saya duduk sambil menemani sahabat
saya yang bertanggung jawab mengatur kelancaran jalannya acara. Ia bercerita
mengenai hobinya di bidang olahraga. Statusnya sebagai cewek berkerudung,
dengan pengetahuannya perihal MotoGP, bulutangkis hingga Liga Inggris, membuat
saya sedikit heran.
Susah memercayai cewek yang
ngaku-ngaku suka olahraga. Saya menaruh curiga, kecintaan seorang perempuan
terhadap olahraga hanya karena efek domino lingkungannya saja. Karena lagi
musimnya timnas, naiklah populasi cewek-cewek yang gemar bola. Karena lagi musimnya
kemenangan Butet-Towy, meningkatlah jumlah cewek-cewek yang suka bulutangkis,
dst.
Namun karena ia bercerita tentang
pengorbanan uang 100 ribu untuk membeli tiket Sunrise Yonex-Indonesia Grand
Prix Gold 2013 yang digelar di Yogyakarta, saya pun percaya bahwa dia sport addict.
Tahun 2011 lalu, ia mendapat
kesempatan jalan-jalan ke Malaysia. Ia termasuk siswi beruntung yang bisa study
tour ke negeri jiran. Tiga hari di negeri tetangga, ia melancong ke beberapa tempat.
Mukanya datar-datar saja ketika menceritakan suasana tempat yang ia kunjungi.
Baru ketika ia sampai pada kata Sepang, keduanya tangannya mulai membentuk gesture.
Semangat bicaranya naik bukan
karena ia mendapat kesempatan nonton perhelatan MotoGP di sirkuit Sepang, Malaysia.
Ia adalah manusia setengah-setengah
lantaran Sepang yang sudah di depan mata, namun tidak bisa ia masuki. Sebagai
pencinta ajang balap, ia tentu sangat ingin duduk di tribun penonton, walau cuma
untuk membayangkan Valentino Rossi melakukan overtaking di salah satu tikungan yang ada.
Cerita Sepang itu menjadi
penyesalan luar biasa hingga kini. Rasa sesal yang bercampur bahagia sebab ‘syukur-sukur’
sudah diberi kesempatan melihat Sepang dari luar. Namun justru karena episode
setengah-setengah itu, ia masih diburu jutaan penasaran.
Di zaman saya masih ingusan, supaya
saya tidak terjebak dalam hidup setengah-setengah, ibu saya selalu menjauhkan
saya dari bapak-bapak penjual mainan. Di desa saya, ketika bulan Agustus tiba, Balai
Desa akan diubah menjadi pasar malam. Supaya saya tidak merengek, ibu saya
mengajak saya ke tempat itu. Sayangnya, kenikmatan itu tidak menemui klimaksnya
lantaran ibu saya yang tidak membelikan mainan. Sebaliknya, kedua mata saya
yang kadung melihat miniatur Kamen Rider, memaksa saya bermain dengan Kamen
Rider hanya sebatas alam mimpi.
Episode hidup setengah-setengah
membuat waktu seseorang berkelindan antara kalimat, “Ah, andai saja….’
***
Hari selasa, 7 Agustus 2012 silam,
situs online National Geographic memposting hasil penelitian yang cukup
menarik. Di antara peraih medali emas,
perak, dan perunggu, ternyata orang-orang yang paling mudah tersiksa adalah
pemenang kedua. Sementara peraih perunggu dikatakan sebagai pemenang paling
bahagia.
Hidup dalam versi peraih medali perak adalah episode hidup
setengah-setengah. Sekalipun secara kasta ia lebih tinggi ketimbang pemenang
ketiga, namun bayang-bayang kekalahan lebih menjadi trauma ketimbang kenangan
mengangkat piala.
“Peraih medali perak menyiksa diri
sendiri dengan perkatan. ‘Ah, andai saja…’, atau dengan ‘Kenapa saya tadi tidak…,”
tulis National Geographic mengutip pendapat dari salah satu peneliti Victoria
Medvec, Scott Madey, dan Thomas Gilovich.
Di dalam sepak bola, hal paling
berkesan adalah hasil pertandingan terakhir. Jika medali ini dikaitkan dengan
ajang satu ini, maka pemenang medali perak akan terbayang-bayang dengan
kekalahan mereka di partai final. Kondisi terbalik terjadi pada pemenang medali
perunggu. Sekalipun hanya sebagai pemenang ketiga, namun di akhir kompetisi
mereka mendapat momen manis dengan mengalahkan tim lawan.
“Kadang dalam olahraga beregu,
penjelasannya sangat mudah: peraih medali emas dan perak diputuskan dalam laga
final, membuat si peraih perak pulang dengan kenangan kekalahan. Sedangkan
peraih perunggu bertanding di laga yang berbeda dan pulang dengan kenangan
kegemilangan,” lanjut hasil penelitian tersebut.
***
Gejala “Ah, andai saja” sudah
menjangkiti keseharian kita. Seiring berjalannya waktu, kita akan (atau
barangkali sudah) masuk dalam tahapan hidup yang dinamakan”nasib di ambang
pintu”. Jarak antara kesuksesan dan kegagalan begitu tipis. Mau bahagia tapi kok masih teringat hal-hal yang
menyakitkan, mau sakit tapi kok ingat
kalau kita berada dalam kenikmatan. Ya sudahlah, andai saja.
Supaya nasib tidak lagi di ambang
pintu, memang ada baiknya kita membuat pergeseran sedikit. Kalau pun tidak bisa
bergeser secara fisik, barangkali kita bisa menghindari hidup setengah-setengah
secara kognitif.
Yogyakarta, 17 Oktober 2013