Apa yang dituturkan Michael Jordan memang benar. Kita
memiliki persaingan setiap hari. Standar yang sudah diterapkan, dengan
sendirinya membawa seseorang kepada persaingan ketat. Tujuannya jelas, yakni meraih
level yang diinginkan.
Legenda NBA ini ingin menegaskan, hidup adalah kompetisi.
Setidaknya karir Jordan sebagai seorang atlet basket turut menjadi saksi, hidup
adalah proses menggugurkan satu persatu lawan, fase menyisihkan pesaing demi
meraih tempat impian.
Ucapan Jordan tentang hidup dan sebuah kompetisi, digambarkan
juga oleh Vidhu Vinod Chopra. Ia
yang mengubah novel Five Point
Someone menjadi film
menarik berjudul Three Idiots, menitik beratkan arti kompetisi di dalam hidup
ini. Kita sedang berada dalam track panjang, dalam sebuah persaingan sengit,
dengan misi yang tersimpan kuat di masing-masing pelakunya.
Misi-misi itu,
mengilustrasikan kita layaknya tentara-tentara pembela negara. Kepala kita (concept)
sebagai jenderal, sementara tangan dan kaki kita sebagai prajuritnya (skill).
Jenderal yang handal mempunyai strategi canggih yang bisa melumpukan pertahanan
lawan. Begitu pun, jenderal yang handal mampu membawa armada pasukannya (seluruh
komponen tubuh kita) ke puncak kemerdekaan. Kita mengibarkan bendera, merayakan
kemenangan, mengakhiri kompetisi dengan manis.
Apakah benar hidup harus
dijalani dengan sebuah kompetisi? Lagi-lagi Jordan dan Vidhu Chopra tidak
salah. Jika ingin meraih hasil lebih tinggi, berkompetisilah. Dengan kompetisi
seseorang tahu berada di level mana dirinya saat ini.
Victor Kiam menuturkan, “Kompetisi akan menggigit Anda jika
Anda terus berjalan, jika Anda
diam, mereka akan menelan Anda.”
Orang-orang yang sadar kompetisi akan memacu dirinya
sekeras mungkin. Mau tidak mau, lari (fighting)
adalah cara yang tepat jika tidak mau tertelan oleh hidup itu sendiri. Karena
keterangan tersebut, tumbuhlah kita sebagai individu penuh ambisi. Kerja keras
yang kita lakukan hari ini, diperuntukkan supaya menghindari kekalahan, supaya
meraih kemenangan, supaya tidak tersisihkan dengan menyandang status pecundang.
Saya pemuja sebuah kompetisi. Entah sejak kapan, saya
masuk ke dalam lingkaran orang-orang yang mudah tergerus arus kompetisi. Terlepas
kalah atau menang, hidup menjadi menarik jika saya merasa terbawa ke dalam
sebuah persaingan.
Sejauh ini saya tidak pernah menggungat hal tersebut.
Pikir saya, ya begitulah cara terbaik untuk menjalani hidup. Sekalipun
kompetisi adalah hal yang sangat berat bagi setiap individu, itu adalah jalan
terbaik, karena memastikan nilai survival of the fittest di setiap lini, aku Andrew Carnegie.
Jika selama ini ada
kalimat, “Berat menjalani hidup,” bisa jadi koteks kalimatnya mengarah kepada kompetisi.
Kenyataannya, hidup memang berjalan cukup ketat. Persaingan bergulir tiada
henti. Sungguh jalan yang berat, sebagaimana tutur Marquis de Sade, “All is unceasing and rigorous competition in
nature.”
Namun cerita berubah setelah mengenal istilah “samudera
biru”. Istilah ini lahir dari pasangan dosen dan murid, W. Chan Kim dan Renee
Mauborgne. Di dalam bukunya berjudul “Blue Ocean Strategy”, keduanya seolah
ingin memukul balik. Jika selama ini hidup adalah kompetisi, maka Blue Ocean
ingin menegaskan, ada hal yang salah di balik cara berpikir seperti ini.
Apakah hidup harus dijalani dengan berkompetisi? Iya, jawabannya. Namun tidak dengan cara memukul lawan dan terlalu fokus dengan battle.
Segala konsep hidup memang mempunyai bahaya laten
masing-masing. Karena pengkiblatan yang sangat kuat terhadap seorang tokoh,
lahirlah bahaya laten bernama fanatisme. Karena terlalu fokus pada satu
informasi saja, lahirlah bahaya laten bernama anti saran dan kritik. Begitu
pun, kompetisi mempunyai bahaya laten terhadap pelakunya sendiri.
Terlalu fokus pada kompetisi justru mengaburkan seseorang
dari pencapaian sebenarnya. Saya membayangkan diri saya berada dalam sebuah
peperangan. Karena terlalu fokus pada battle,
saya akhirnya lebih melihat kedengkian lawan dan perlahan-lahan abai dengan
tujuan sebuah peperangan, yakni menjajah daerah baru dan meraih sebuah kemenangan.
Konsep “samudera biru” adalah lawan daripada “samudera
merah”. Di zona kedua, siklus berjalan sebagaimana yang terjadi pada banyak
orang. Ketatnya persaingan mengharuskan mereka berkompetisi setengah mati. Sementara
“samudera biru” lebih menekankan pada sebuah loncatan. Kita dituntun untuk
mencari celah, bukan battle.
Secara psikologis, persaingan membawa dampak yang berbeda
terhadap pelakunya. Saya merasakan betul hal ini. Kata kompetisi yang selalu saya tanamkan di dalam kepala, mempunyai
akibat—salah satunya—pada kekacauan kondisi psikis. Kondisi batin saya seperti
ruang ganti Manchester City di akhir-akhir masa jabatan Roberto Mancini. Gerah!
Persaingan adalah sebuah kegagahan, semua orang sibuk
dalam kompetisi, hingga batas mereka tidak mempunyai kasih sayang.
Karena arus kompetisi, kadang kita kehilangan kasih sayang untuk diri sendiri.
Jatuhnya, tubuh kita adalah komoditas, kita ‘menjual’nya sedemikian rupa demi
meraih goal.
Pada halaman-halaman awal buku Blue Ocean, satu kesalahan
mendasar adalah kuatnya kata ‘strategi’ dengan nuansa militer. Kata strategi menjadi salah satu komponen di
dalam sebuah kompetisi. Kompetisi berjalan karena adanya unsur satu ini.
Fenomena yang terjadi, kata strategi selalu dikaitkan dengan bertempur dan
berebut.
Sebaliknya, kita jarang mengkaitkan kata strategi dengan celah (opportunity) dan
inovasi. Sekali lagi, begitu mudahnya saya mengingat lawan (competitor), namun
begitu minimnya saya memikirkan kemungkinan.
Paragraf-paragraf yang tertulis di halaman awal buku Blue
Ocean Strategy memang begitu menohok. “Samudera Biru” mengaruskan saya pada
gelobang yang menetralisir racun-racun kompetisi dalam kepala saya. Saya akui, racun-racun
itu belum sepenuhnya hangus, namun selagi menempatkan diri dalam birunya
samudera biru, saya akan sampai pada fase paling menyenangkan untuk
berstrategi.
Pada bulan Juni 2011 lalu, Sony Pictures Classics telah merilis film
Footnote. Scene-scene awal film ini, cukup menggambarkan bahaya laten sebuah
kompetisi. Karena ambisi tidak mau kalah, seorang ayah bernama Eliezer Shkolnik
tidak bisa turut menikmati prestasi
putranya yang meraih sukses di bidang keilmuwan.
Dalam beberapa hari, film itu terus menghantui pikiran
saya. Diam-diam ada kekhawatiran di kemudian hari, saya akan menjadi Eliezer
Shkolnik baru. Saya takut salah menempatkan kata kompetisi, sehingga putra
kesayangan pun menjadi korban sebuah persaingan. Sebelum semua itu membesar,
bolehlah saya berlarut-larut dalam samudera biru. Supaya racun kompetisi tidak membawa saya pada persaingan berdarah-darah, melainkan lebih melihat semangat berproses dan berjuang segigih yang saya bisa.
Yogyakarta, 20 November 2013