Jumat, 03 Februari 2012

Peri Pemetik Air Mata

Share & Comment
-dear Rabbit Ungu-

Karena tahu manusia akan mengenal kesedihan, maka sebelum menciptakan maut, Tuhan menciptakan lebih dulu peri-peri pemetik buah kesedihan.

Saya baru nyadar, ternyata Agus Noor—selain menjadi cerpenis—juga merangkap peneliti di balik lahirnya air mata dan kesedihan. Kenapa orang bisa menjatuhkan air mata saat sedih, kenapa kita bisa merasa sendu saat hati sedang rindu, kenapa mendadak pengin mengurung diri saat bermasalah dengan orang lain. Begitulah, dan kenapa-kenapaseterusnya.

Setidaknya itu yang saya baca dari Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia, lebih tepatnya lagi ketika membuka judul Empat Cerita Buat Cinta. Kenyatannya, di antara sekian dinamika rasa yang dikecap manusia (bahagia, sedih, galau, rindu, marah, sabar) hidup paling dominan yang kita terima adalah kegelisahan. Lingkaran 24 jam, 80 persennya kita bukukan ke dalam ketimpangan, memikirkan sesuatu, tentang seluk beluk hidup, lalu pecah dan gelisah ketika solusi tidak mampu menampungnya.

Wajar dan wajar… kita dihidupkan untuk berjuang, fase keringat mengucur menjadi lebih lama ketimbang saat-saat duduk menikmati senyum.

***

Saya baru saja bangun, jauh setelah adzan Maghrib terdengar. Ada tiga ingatan yang saya tangkap di saat itu: ingat bahwa saya sedang puasa dan belum berbuka, ingat saya belum menunaikan salat, serta ingat ini hari sendu bagi saya.

Ya, hari yang sendu. Sendu sebab sejak kemarin malam, kepala saya diingatkan dengan sebuah lingkaran. Di wilayah inilah, mereka yang masuk di dalamnya suka menghargai hidup dengan cara duduk, memikirkan beberapa hal, pikiran tertarik ke masa lalu, kemudian diakhiri dengan menangis. Perenung dan pelamun, kita menyebutnya. 

Mereka memang menangis, tapi mereka merasa nikmat, bahagia, seolah mampu menerjemahkan setiap tetes air mata yang dikeluarkan.

Saya sendiri tidak habis berpikir, bagaimana kesenduan bisa berubah menjadi kenikmatan? Bagaimana mereka bisa tercandu oleh tangis tersebut? Candu? Benar! Aktivitas merenung, lalu dilanjutkan melamun, lantas diakhiri menangis itu memang candu.

Seperti yang Ibuk saya alami. Saya memang diberi kesempatan hidup bersamanya hanya dalam kurun 18 tahun. Tapi saya sangat paham, Ibuk tipe orang yang menikmati kesedihan. Dia rajin mengabadikan setiap cerita. Suka duduk sendiri, menerawangkan pandang ke atas. Baru ketika saya dekati, dan saya bertanya, “Kenapa Buk?” Beliau selalu tersenyum sebelum menjawab, “Nggak ada apa-apa.”

Padahal kenyatannya, setelah saya tinggal, beliau akan mengusap pipinya. Air mana menetes, dadanya naik turun, sebab senggukan tangis.

“Kenapa Mama menangis?”
“Tidak, Sandra…. Mama tidak menangis.”
“Kenapa manusia bisa menangis, Mama?”
“Karena manusia diciptakan dari kesedihan.”

Dialog di atas bukan rekaman dialog saya dengan Ibuk,—saya memanggilnya “Ibuk” ya, bukan “Mama”—Melainkan adalah cuplikan cerpen Agus Noor. Dan memang benar, darimana manusia belajar bersedih? Tidak adakah cara yang lebih bahagia untuk menarik falsafah hidup selain dengan cara sesenggukan seperti itu?

Saya baru tahu jawabannya, ketika saya sendiri sadar, saya juga tergolong orang seperti itu. Saya adalah member di balik lingkaran penuh candu itu. Bersama Rara Sekar, perempuan yang baru saja saya sebut sebagai matahari, saya rajin menghuni lingkaran itu.

Rara Sekar… Rara Sekar… hidup dengan cara seperti itu menyimpan banyak risiko. Lingkaran itu kenyataannya mampu mendekatkan kita dengan diri kita sendiri, tapi kita juga harus tau, berlama-lama di lingkaran itu, samahalnya mengurung diri: kita menjadi sakit, wajah terlihat sendu, tanpa jelas permasalahan sebenarnya.

Ibuk, juga Rara, semestinya saya bacakan cerita Agus Noor ini. Cerita yang membenarkan, air mata dan kesenduan mempunyai imbas yang sangat berat. Begini... terdapat sekumpulan peri pemetik air mata yang selalu datang malam hari, membawa cawan, lalu mendatangi setiap kita yang sedang menangis. Peri-peri itu akan memetik air mata kita, menaruhnya dalam cawan, lalu membawanya pulang, menjadikannya sebagai sangkar.

Setiap kali air mata tersentuh tangan mereka, akan berubah menjadi Kristal. Tapi toh, sekalipun air mata sudah berubah menjadi kristal, tidak ada yang bisa menghapus kesedihan itu sendiri. Buktinya, setiap air mata yang mengkristal, selalu menggemuruhkan cerita sendunya setiap malam. Membentuk alunan tersendiri. Hingga ketika seorang pencuri walet mencoba masuk di sangkar itu, dia tersesat, tidak menemukan jalan pulang, kecuali dengan tempo yang cukup lama.

Ibu, begitu juga Rara… pencuri walet yang sulit menemukan tempat keluarnya itu, bukti, tidak setiap orang mampu berdiam dalam sangkar atau lingkaran sendu. Tidak setiap orang dapat menikmati tangis yang katamu nikmat itu.  

Ya, tangis memang nikmat. Saya mengakui itu. Bukannya saya juga anakmu, saya pernah menjadi individu yang sama seperti Ibuk. Saya penghuni lingkaran itu. Saya rajin menyakiti diri sendiri dengan menarik beberapa episode masa lalu, lalu dalam rangka mengambil falsafah hidup, malah jatuhnya menangis dan teriris-iris. Bukannya Rara juga sudah merasakan, dengan terus mendiami lingkaran itu, Rara merasa hidupnya adalah kematiannya.

"Hidup ini bagiku, seperti lorong gelap dan asing yang membutku ingin meninggalkan dunia sebelum meniggal dunia selamanya."

-Sajak Rara Sekar-

Saya hanya ingin brebagi kabar. Buk, begitu juga Rara… saya sudah keluar dari lingkaran itu. Saya lepas dari candu itu. Saya sekarang berusaha menikmati falsafah hidup dengan senyum. Sebab kenyataannya, falsafah tidak harus dipungut dari air mata. Dan saya berjanji, akan tetap mengunjungi lingkaran itu. Sekadar berkunjung, tidak untuk menikmati candu.   

Rara dan Ibu, dua-duanya rajin berbicara dengan diri sendiri. Keduanya adalah orang yang sangat mengenal siapa di balik diri mereka, lewat terapi air mata. Untuk Rara, saya ingin mengajak Rara untuk mengetuk pintu baru. Satu lingkaran yang tidak jauh dari lingkaran yang sekarang Rara diami. Kita, apabila ingin memasukinya, maka cukup dengan tersenyum, lalu mengatakan, “Aku datang bahagia!”

Sayang, Ibuk dalam kondisi saya yang masih belum mengenal lingkaran baru ini. Sehingga saya belum sempat mengajak beliau, untuk menikmati lingkaran baru ini. Lingkaran bahagia. Sehingga kita tidak lagi orang-orang yang didatangi peri pemetik air mata.


Yogyakarta, 23 Desember 2011

Bukan hanya Ibuk, saya atau Rara,
tapi belakangan, adik tergigih saya, juga masuk dalam lingkaran sendu. Owh, God!!!





<photo id="1" />
Tags:

Written by

Penulis buku, tinggal di Yogyakarta. Twitter: @Naqib_Najah

  • Punya Materi Bagus Tapi Tidak Ada Waktu Menulis!

    Banyak dosen yang tidak mempunyai waktu untuk menulis, padahal, mereka punya materi yang sangat bermanfaat.

  • Saya menulis buku biografi!

    Saat ini buku sudah dilirik sebagai media dokumentasi hidup yang sangat positif. Anda butuh penulisan biografi?

  • Berapa Biaya Hidup di Jogja? (Feature Radio)

    Ini dia pertumbuhan biaya hidup di kota pelajar ini. Pengin tahu lebih lanjut?

  • Jogja Kian Macet! (Esai Foto)

    Januari 2014 lalu saya beserta tim membuat esai foto menyoroti pembangunan hotel dan tingkat kemacetan....

  • Pengin Bikin Iklan Produk dalam Bentuk Video? Murah Kok!

    Iklan dengan bentuk video ternyata terkesan beda. Banyak orang melakukan hal ini, tapi... berapa sih biayanya?

 

Paraqibma Video Project


Layaknya anak-anak seusianya, Akila sering menemukan masalah saat proses belajar. Mulai dari susah diminta mengerjakan PR, hingga kejenuhan dengan sistem belajar.

Apa yang terjadi pada Akila selanjutnya? Simak video iklan berikut: Quamon, mini project by Paraqibma.

Artikel Bisnis


Dizipoint menjadi jembatan antara pebisnis dan pasar online. Selain plaza online, Dizipoint juga menyediakan artikel-artikel bisnis bagi pengunjung.

Saya menulis artikel-artikel bisnis untuk plaza online tersebut. Silakan login di sini untuk membaca artikelnya.

New Aquarich (Coming Soon)

Copyright © New Paraqibma | Designed by Templateism.com