Semuanya sah kita lakukan. Asal tidak amnesia, ada perbuatan yang dikatakan kurang tepat, walau pun sebenarnya tidak salah.
Termasuk di antara hak terpenting yang boleh kita ambil tanpa peduli omongan orang adalah mencoba-coba sesuatu kemudian meyakini, inilah hal paling benar yang harus saya jalani. Kita menjadi Tuhan akan diri kita sendiri, kemudian takdir orang lain untuk menghakimi,—fungsi terpenting di balik penciptaan dua indera: mata dan telinga, tak lain adalah untuk mengkultuskan. Selalu ada hakim (tanpa kita undang) yang siap mengibarkan bendera, “Anda offside dalam menjalani hidup ini.”
Suatu waktu, kita adalah individu yang mudah untuk mencoba, berani meyakini, dan berusaha mati-matian untuk menonaktifkan omongan orang. Kalau pun terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, kita akan berdalih, “Ini pilihanku. Celaka ya aku sendiri yang ngerasain. Bukan urusanmu!”
Kita menyebutnya ‘percobaan’. Kata yang sering menjadi legitimasi, kita boleh melakukan apa pun, sepanjang itu adalah urusan hidup kita, untuk perbaikan masa depan, untuk sesuatu yang dinamakan perubahan, dan tidak mengganggu rumput orang lain. Sebuah start awal untuk kemudian meyakini, ini adalah jalan yang benar.
Seperti yang sahabat saya alami….
Setiap malam, setiap kita bertemu untuk urusan ngopi, kita tidak punya topik lain kecuali, “Apa yang akan terjadi esok hari?” Topik utama yang berulang-ulang kita bicarakan, yang selalu berakhir dengan desahan panjang, pertanda kita sedikit khawatir, tapi juga yakin.
Dengan keadaannya yang akan menerma nasib sebagai mahasiswa semester tua (saya katakan ini sebagai doa terburuk, tentu harapan terbaik adalah, dia bisa lekas wisuda sebelum keponakan lulus SMA), dia terbiasa bicara merendah. Menerima cemooh dengan hanya manggut-manggut, membalas ejekan dengan senyum, yang penting, dia masih punya keyakinan, “Saya akan bernasib berbeda dengan kalian.” Kata ‘kalian’nya lebih ditujukan untuk rekan sejawat di kampusnya, bukan saya.
Setiap kali dia berbicara seperti itu, saya selalu menyisipkan ekspresi mengangkat jempol untuknya. Sumpah, saya sangat menyukai keyakinannya, percobaannya. Seperti kesukaan saya pada episode ngopi kemarin hari. Di tengah-tengah obrolan membahas kemungkinan Beasiswa S2 bagi salah satu teman, dia bicara, “Saya masih menunggu munculnya mutiara dalam diri saya. Saya dalam tahap percobaan ini.”
Saat ini, dia memang tipe orang yang sedang dalam masa percobaannya, untuk lebih memainkan otak daripada bertindak banyak tapi tergolong usaha yang bodoh, tidak effisien. Termasuk usaha kerasnya adalah, tidak mau melakukan hal-hal yang sudah banyak dijalani orang-orang.
Maka dengan dua hal di atas, menahbiskan hidupnya saat ini sebagai tahapan percobaan sangatlah tepat.
Saya bilang, ini adalah percobaan paling absurd, men. Tidak ada titik temu, ketika kita menghendaki perubahan tapi nyatanya nol persen dalam tindakan. Kembali, konsep… konsep… konsep… yang dia andalkan, tapi saya masih setuju, dan menyukainya. “Ini pilihan. Ini masa percobaanmu. Semoga menemukan sensainya,” doa saya.
Hingga hari ini, saya masih mencari-cari, ilustrasi apa yang bisa membenarkan masa percobaannya ini, masa percobaan untuk menjadi bintang walau tanpa tindakan yang berlebih. Saya menemukan laba-laba. Lantas membandingkannya dengan semut.
Dan idealnya, kita tidak mengganggu masa percobaan seseorang, kalau pun ingin berkomentar, ada masa yang dinamakan sesi evaluasi. Yakni setelah hal tersebut selesai dijalani. Selamat menikmati, sobat… Saya akan menunggu, mana yang lebih menguntungkan? Laba-laba yang mudah menemukan mangsa dengan jarring-jaringnya, atau semut yang eksplosif mencari nafkahnya.
Sebab faktanya, semua sah untuk kita jalani. Dengan tetap mengantongi kartu yang suatu saat mengingatkan, apabila kita berbuat tidak tepat.
Yogyakarta, 15 November 2011.