Rabu, 03 April 2013

‘Manusia-manusia Pedang’: Jarak Kesempatan dan Kontroversi

Share & Comment
Di hari pertama saya mewawancarai beliau, ‘pedang’ itu sudah tampak berkilau. Saya menyebutnya manusia pedang. Namun cukup kilatannya yang menyilaukan (lalu mengganggu) pandangan orang lain, bukan pedang yang menghunus (lalu melukai) siapa yang ada di sekitarnya.
Sebagai seorang dosen yang menghabiskan studi Strata 2 dan 3-nya di Universitas Wollongong, Australia, ia memang cukup tajam di mata saya. Saya menyebutnya demikian, sebab melihat kilatan impian yang ada di kepalanya, lalu tersirat lewat semangat dari kedua matanya, kemudian diakhiri dengan kelugasan gaya bicaranya—apa yang terselip di kepalanya datang begitu cepat, membuatnya menindih satu kata dengan kata lainnya saat sedang berbicara.
Mengenai orang-orang hebat dan ‘tajam’layaknya pedang, prediksi saya pun muncul. Secara pribadi saya membaca, ia tentu orang-orang yang pernah dianggap pengkhianat oleh lingkungan lamanya. Bukan Karena sikap negatifnya, melainkan tingginya mimpi (kilatan pedang) yang kadang menyilaukan sekitar.
Kenyataannya benar. Dua jam mewawancarai, ‘manusia pedang’ yang saya bilang luar biasa ini, bercerita tentang respon rekan-rekannya selama mengajar di universitas tertua di Yogyakarta. Bagaimana ia sering disebut egois, mementingkan impian sendiri, mengabaikan kepentingan sosial.
Apa dasar mereka untuk men-judge ‘manusia pedang’ demikian?
“Kepergian saya ke Malaysia untuk mengajar di IIUM dianggap kurang mengindahkan (baca: setia) dengan kampus tempat saya mengajar,” tegasnya.
Saya sendiri sangat menyukai jenis manusia seperti ini. ‘Manusia-manusia pedang’ yang kadang tidak bermaksud menghunus atau melukai orang sekitarnya. Namun kilatan yang cukup tajam dari dua sisinya, memang mengharuskan penglihatan orang-orang sekitar untuk bersabar sebentar. Atas dasar kesukaan saya terhadap ‘manusia-manusia pedang’, saya pun menaruh hati kepada Jose Mourinho. Ia benar-benar pedang, sebut saya.
Cerita tentang manusia pedang, akhirnya saya dapati juga dalam diri Howell Raines, wartawan andalan yang bekerja di surat kabar andalan juga, The New York Times.
Bergabung sejak tahun 1978, Raines telah memberi kesan yang cukup positif dalam dunia koresponden nasional. Di mata Sulzberger, pemilik Times, Raines benar-benar ‘manusia pedang’ yang mampu mengguncangkan halaman editorial. Di masa pemerintahan Clinton, halaman tersebut tampil cukup membosankan. Sementara Raines, si manusia pedang, datang dengan kilatannya, menggebrak masyarakat negeri Paman Sam. 1)
Namun apa yang terjadi selanjutnya pada hubungan Howell Raines dan Sulzberger?
Keduanya akhirnya berpisah. Sulzberger yang dulu menganggap Raines sebagai tangan kanannya, partner terbaik dalam mengubah Times menjadi pelaku bisnis multimedia nasional, tidak ubahnya sosok penuh ego, selfish, yang memasukkan impian pribadinya di dalam dunia sosial. Nila setitik pun memasuki episode menghancurkan susu sebelangga. Kebaikan dan kehebatan Raines itu pun tercoreng di mata Sulzberger berkat ulah selfish-nya.
Raines sempat mengkampanyekan dirinya sebagai “agen perubahan” untuk mendapatkan promosi jabatan pada tahun 2001, ternyata membuat blunder untuk perusahaannya sendiri. 18 bulan pasca menduduki posisi Editor Eksekutif, ia menerbitkan artikel yang tak ubahnya tusukan untuk Times. Dalam tulisannya itu, ia mengkritik Jayson Blair, wartawan Times, yang melakukan kebohongan kurang lebih pada 36 cerita.
Maka berakhir sudah hubungan dua sejoli Raines dan Sulzberger. Entah benar-benar berniat menusuk, atau ia memang manusia pedang yang terlalu berbahaya untuk sekitarnya. Namun ada beberapa luka yang lahir bukan karena tusukan, melainkan kurang kehati-hatian orang sekitar dalam mendekati senjata tersebut.
Tentang Raines, dosen luar biasa yang saya wawancarai, dan manusia-manusia pedang lainnya, saya menjadi mudah curiga tentang arti peluang. Bagaimana kita memanfaatkan sebuah kesempatan? Bagaimana kita memandang sebuah kemampuan?
Membaca peluang berarti menakar kemampuan. Jika kita mampu, dan pintu terbuka di depan mata, kenapa kita tidak memasukinya? Raines melihat kompetensinya di bidang jurnalistik. Ia pun melihat pintu menuju Editor Eksekutif, ia juga melihat pintu untuk menggebrak kolom editorial. Sebagaimana dosen yang saya wawancarai, ia melihat kemampuannya (di era 95-an, masih jarang dosen lulusan luar negeri dengan gelar Doktor di kampus tersebut), ia pun melihat pintu terbuka menuju Malaysia untuk mengajar di negeri tetangga. Maka pada moment-moment seperti ini, ‘manusia-manusia pedang’ menunjukkan kilaunya. Kembali, hanya sebuah kilau, yang kadang lebih menusuk mata ketimbang tusukan sebenarnya.
Pada tanggal 24 Maret 2013 kemarin, Sebastian Vettel telah menunjukkan diri sebagai ‘manusia pedang’. Di mata Red Bull, mungkin juga di mata Vettel sendiri, reputasi pembalap Jerman ini lebih cemerlang daripada rekan setimnya, Mark Webber. Ia masih muda, sementara Webber sudah berkepala tiga. Vettel pun melihat adanya kompetensi, kemampuan, Tuhan memberkatinya hal itu, melebihi Webber.
Pada 24 Maret itu, ketika putaran kedua Formula 1 bergulir di Malaysia, Vettel menyempurnakan reputasi individualnya. Ia mendekati rekan setimnya sendiri sejak lap ke-44. Hingga klimaksnya, dua lap berselang ia melakukan maneuver tajam, Vettel menyalip Webber, tanpa mengindahkan instruksi tim yang menginginkannya bermain aman.
Vettel seperti karyawan perusahaan yang ditugaskan bernegoisasi dengan salah satu klien. Ia harus memenangi tender tersebut. Vettel, karyawan perusahaan, tidak lain adalah sosok yang potensial. Ia diutus sebab kompetensinya.
Di saat bernegoisasi, ia melihat peluang untuk mengembangkan karirnya sendiri. Ia memanfaatkannya, namun juga tidak mengabaikan tugas perusahaan. Di saat ia pulang, ia mengantungi dua hal: kesuksesan untuk citra pribadinya, dan kesuksesan perusahaan dalam memenangkan tender. Apakah Vettel tidak bisa dikatakan sosok yang menuntaskan tanggung jawabnya?
Vettel, walau pun memperoleh kecaman, tetap mengharumkan reputasi Red Bull (perusahaannya) untuk menjaga posisi di tempat terdepan. Di sisi lain, ia juga mengamankan citra pribadinya dengan meraih kemenangan perdana di ajang Formula One 2013 ini.
Manusia-manusia pedang mempunyai kilatan yang cukup tajam. Hanya kilatan, yang kadang justru lebih ‘mengganggu’, ‘menakuti’ orang sekitarnya ketimbang ketajaman sayatan pedangnya. Kita menganggapnya manusia-manusia yang didatangi kesempatan, sebab mereka mampu. Namun melihat efek domino yang ditibulkan ‘manusia-manusia pedang’, boleh saya mengakhiri bertanya, “Sejauh apa batas antara godaan dan peluang di tengah datangnya sebuah kesempatan?”
Menggiring bola seperti Arjen Robben dari sisi sayap hingga sampai di depan gawang, lalu berakhir dengan gol yang menguntungkan tim, tidaklah pernah salah. Robben melihat peluang mencetak gol dengan aksi driblingnya.   
Dosen yang saya wawancarai, dengan kepergiannya ke Malaysia, toh juga menjembatani antara kampus lamanya dengan dunia internasional. Raines dengan kecerdikannya mampu membawa Times meraih penghargaan tujuh Pulitzer. Vettel dengan skill balapnya mampu mempersembahkan 3 gelar beruntun dari tahun 2010, 2011, dan 2012.
Manusia-manusia pedang tidak pernah salah. Hanya saja, jika manusia-manusia pedang itu ulang tahun, kita perlu menghadiahinya jam weker yang senantiasa memberi alarm, hidup dalam paket kolektif, sukses dalam paket kolektif, jauh tidak menimbulkan kontroversi.
Yogyakarta, 3 April 2013
Penyuka ‘manusia pedang’   
 1) Cerita Raines saya ambil dari buku Strategi Sukses para CEO Dunia terbitan KAIFA, 2007. Beredar dalam versi internasional dengan judul Strategy Power Plays: How the World's Most Strategic Minds Reach the Top of Their Game.
 
Tags: ,

Written by

Penulis buku, tinggal di Yogyakarta. Twitter: @Naqib_Najah

  • Punya Materi Bagus Tapi Tidak Ada Waktu Menulis!

    Banyak dosen yang tidak mempunyai waktu untuk menulis, padahal, mereka punya materi yang sangat bermanfaat.

  • Saya menulis buku biografi!

    Saat ini buku sudah dilirik sebagai media dokumentasi hidup yang sangat positif. Anda butuh penulisan biografi?

  • Berapa Biaya Hidup di Jogja? (Feature Radio)

    Ini dia pertumbuhan biaya hidup di kota pelajar ini. Pengin tahu lebih lanjut?

  • Jogja Kian Macet! (Esai Foto)

    Januari 2014 lalu saya beserta tim membuat esai foto menyoroti pembangunan hotel dan tingkat kemacetan....

  • Pengin Bikin Iklan Produk dalam Bentuk Video? Murah Kok!

    Iklan dengan bentuk video ternyata terkesan beda. Banyak orang melakukan hal ini, tapi... berapa sih biayanya?

 

Paraqibma Video Project


Layaknya anak-anak seusianya, Akila sering menemukan masalah saat proses belajar. Mulai dari susah diminta mengerjakan PR, hingga kejenuhan dengan sistem belajar.

Apa yang terjadi pada Akila selanjutnya? Simak video iklan berikut: Quamon, mini project by Paraqibma.

Artikel Bisnis


Dizipoint menjadi jembatan antara pebisnis dan pasar online. Selain plaza online, Dizipoint juga menyediakan artikel-artikel bisnis bagi pengunjung.

Saya menulis artikel-artikel bisnis untuk plaza online tersebut. Silakan login di sini untuk membaca artikelnya.

New Aquarich (Coming Soon)

Copyright © New Paraqibma | Designed by Templateism.com