Di hari
pertama saya mewawancarai beliau, ‘pedang’ itu sudah tampak berkilau. Saya menyebutnya
manusia pedang. Namun cukup kilatannya yang menyilaukan (lalu mengganggu)
pandangan orang lain, bukan pedang yang menghunus (lalu melukai) siapa yang ada
di sekitarnya.
Sebagai
seorang dosen yang menghabiskan studi Strata 2 dan 3-nya di Universitas Wollongong, Australia, ia memang cukup tajam di mata saya. Saya menyebutnya
demikian, sebab melihat kilatan impian yang ada di kepalanya, lalu tersirat
lewat semangat dari kedua matanya, kemudian diakhiri dengan kelugasan gaya
bicaranya—apa yang terselip di kepalanya datang begitu cepat, membuatnya menindih
satu kata dengan kata lainnya saat sedang berbicara.
Mengenai
orang-orang hebat dan ‘tajam’—layaknya
pedang, prediksi saya pun muncul. Secara pribadi saya membaca, ia tentu
orang-orang yang pernah dianggap pengkhianat oleh lingkungan lamanya. Bukan Karena
sikap negatifnya, melainkan tingginya mimpi (kilatan pedang) yang kadang menyilaukan sekitar.
Kenyataannya
benar. Dua jam mewawancarai, ‘manusia pedang’ yang saya bilang luar biasa ini,
bercerita tentang respon rekan-rekannya selama mengajar di universitas tertua
di Yogyakarta. Bagaimana ia sering disebut egois, mementingkan impian sendiri,
mengabaikan kepentingan sosial.
Apa dasar
mereka untuk men-judge ‘manusia
pedang’ demikian?
“Kepergian
saya ke Malaysia untuk mengajar di IIUM dianggap kurang mengindahkan (baca: setia) dengan kampus tempat saya mengajar,”
tegasnya.
Saya sendiri
sangat menyukai jenis manusia seperti ini. ‘Manusia-manusia
pedang’ yang kadang tidak bermaksud menghunus atau melukai orang sekitarnya.
Namun kilatan yang cukup tajam dari dua sisinya, memang mengharuskan
penglihatan orang-orang sekitar untuk bersabar sebentar. Atas dasar
kesukaan saya terhadap ‘manusia-manusia pedang’, saya pun menaruh hati kepada
Jose Mourinho. Ia benar-benar pedang,
sebut saya.
Cerita tentang
manusia pedang, akhirnya saya dapati juga dalam diri Howell Raines, wartawan
andalan yang bekerja di surat kabar andalan juga, The New York Times.
Bergabung
sejak tahun 1978, Raines telah memberi kesan yang cukup positif dalam dunia
koresponden nasional. Di mata Sulzberger, pemilik Times, Raines benar-benar ‘manusia pedang’ yang mampu mengguncangkan
halaman editorial. Di masa pemerintahan Clinton, halaman tersebut tampil cukup
membosankan. Sementara Raines, si manusia pedang, datang dengan kilatannya,
menggebrak masyarakat negeri Paman Sam. 1)
Namun apa yang
terjadi selanjutnya pada hubungan Howell Raines dan Sulzberger?
Keduanya
akhirnya berpisah. Sulzberger yang dulu menganggap Raines sebagai tangan
kanannya, partner terbaik dalam mengubah Times
menjadi pelaku bisnis multimedia nasional, tidak ubahnya sosok penuh ego,
selfish, yang memasukkan impian pribadinya di dalam dunia sosial. Nila setitik pun memasuki episode
menghancurkan susu sebelangga. Kebaikan dan kehebatan Raines itu pun tercoreng
di mata Sulzberger berkat ulah selfish-nya.
Raines sempat
mengkampanyekan dirinya sebagai “agen perubahan” untuk mendapatkan promosi
jabatan pada tahun 2001, ternyata membuat blunder untuk perusahaannya sendiri.
18 bulan pasca menduduki posisi Editor Eksekutif, ia menerbitkan artikel yang
tak ubahnya tusukan untuk Times.
Dalam tulisannya itu, ia mengkritik Jayson Blair, wartawan Times, yang melakukan kebohongan kurang lebih pada 36 cerita.
Maka berakhir
sudah hubungan dua sejoli Raines dan Sulzberger. Entah benar-benar berniat
menusuk, atau ia memang manusia pedang yang terlalu berbahaya untuk sekitarnya. Namun ada
beberapa luka yang lahir bukan karena tusukan, melainkan kurang kehati-hatian
orang sekitar dalam mendekati senjata tersebut.
Tentang
Raines, dosen luar biasa yang saya wawancarai, dan manusia-manusia pedang
lainnya, saya menjadi mudah curiga
tentang arti peluang. Bagaimana kita
memanfaatkan sebuah kesempatan? Bagaimana kita memandang sebuah kemampuan?
Membaca peluang berarti menakar kemampuan. Jika kita mampu, dan pintu terbuka di depan mata, kenapa kita
tidak memasukinya? Raines melihat kompetensinya di bidang jurnalistik. Ia pun
melihat pintu menuju Editor Eksekutif, ia juga melihat pintu untuk menggebrak
kolom editorial. Sebagaimana dosen yang saya wawancarai, ia melihat
kemampuannya (di era 95-an, masih jarang dosen lulusan luar negeri dengan gelar
Doktor di kampus tersebut), ia pun melihat pintu terbuka menuju Malaysia untuk
mengajar di negeri tetangga. Maka pada moment-moment seperti ini, ‘manusia-manusia
pedang’ menunjukkan kilaunya. Kembali, hanya sebuah kilau, yang kadang lebih menusuk
mata ketimbang tusukan sebenarnya.
Pada tanggal
24 Maret 2013 kemarin, Sebastian Vettel telah menunjukkan diri sebagai ‘manusia
pedang’. Di mata Red Bull, mungkin juga di mata Vettel sendiri, reputasi pembalap
Jerman ini lebih cemerlang daripada rekan setimnya, Mark Webber. Ia masih muda,
sementara Webber sudah berkepala tiga. Vettel pun melihat adanya kompetensi,
kemampuan, Tuhan memberkatinya hal itu, melebihi Webber.
Pada 24 Maret
itu, ketika putaran kedua Formula 1 bergulir di Malaysia, Vettel menyempurnakan
reputasi individualnya. Ia mendekati rekan setimnya sendiri sejak lap ke-44. Hingga
klimaksnya, dua lap berselang ia melakukan maneuver tajam, Vettel menyalip
Webber, tanpa mengindahkan instruksi tim yang menginginkannya bermain aman.
Vettel seperti karyawan perusahaan yang ditugaskan
bernegoisasi dengan salah satu klien. Ia harus
memenangi tender tersebut. Vettel, karyawan perusahaan, tidak lain adalah sosok
yang potensial. Ia diutus sebab kompetensinya.
Di saat
bernegoisasi, ia melihat peluang untuk mengembangkan karirnya sendiri. Ia
memanfaatkannya, namun juga tidak mengabaikan tugas perusahaan. Di saat ia
pulang, ia mengantungi dua hal: kesuksesan untuk citra pribadinya, dan
kesuksesan perusahaan dalam memenangkan tender. Apakah Vettel tidak bisa
dikatakan sosok yang menuntaskan tanggung jawabnya?
Vettel, walau
pun memperoleh kecaman, tetap mengharumkan reputasi Red Bull (perusahaannya)
untuk menjaga posisi di tempat terdepan. Di sisi lain, ia juga mengamankan citra pribadinya dengan
meraih kemenangan perdana di ajang Formula One 2013 ini.
Manusia-manusia
pedang mempunyai kilatan yang cukup tajam. Hanya
kilatan, yang kadang justru lebih ‘mengganggu’, ‘menakuti’ orang sekitarnya ketimbang
ketajaman sayatan pedangnya. Kita menganggapnya manusia-manusia yang
didatangi kesempatan, sebab mereka mampu. Namun melihat efek domino yang
ditibulkan ‘manusia-manusia pedang’, boleh saya mengakhiri bertanya, “Sejauh
apa batas antara godaan dan peluang di tengah datangnya sebuah kesempatan?”
Menggiring bola
seperti Arjen Robben dari sisi sayap hingga sampai di depan gawang, lalu
berakhir dengan gol yang menguntungkan tim, tidaklah pernah salah. Robben
melihat peluang mencetak gol dengan aksi driblingnya.
Dosen yang
saya wawancarai, dengan kepergiannya ke Malaysia, toh juga menjembatani antara
kampus lamanya dengan dunia internasional. Raines dengan kecerdikannya mampu
membawa Times meraih penghargaan tujuh
Pulitzer. Vettel dengan skill balapnya mampu mempersembahkan 3 gelar beruntun
dari tahun 2010, 2011, dan 2012.
Manusia-manusia pedang tidak pernah
salah. Hanya saja, jika manusia-manusia pedang itu ulang tahun, kita perlu
menghadiahinya jam weker yang senantiasa memberi alarm, hidup dalam paket kolektif,
sukses dalam paket kolektif, jauh tidak menimbulkan kontroversi.
Yogyakarta, 3
April 2013
Penyuka ‘manusia
pedang’
1) Cerita Raines saya ambil dari buku Strategi Sukses para CEO Dunia terbitan KAIFA, 2007. Beredar dalam versi internasional dengan judul Strategy Power Plays: How the World's Most Strategic Minds Reach the Top of Their Game.