Minggu, 07 April 2013

Menghitung Sepi Halte Perempuan ‘Putih’

Share & Comment
(Kategori Anak Matahari akan mengisahkan ritual imajinatif antara saya dan anak saya. Kadang saya bercerita tentang nilai hidup, kadang ia yang mengajarkan saya lewat pertanyaan-pertanyaan cerdasnya. Barangkali ini cara saya belajar menjadi great father untuk matahari-matahari kecilku. Episode pertama, saya menulis tentang halte dan arti sebuah sepi.)
Sebenarnya hari ini tidak ada maksud menuju halte. Hari sudah malam, ke mana lagi tujuan kecuali kamar tidur dengan lampu temaram. ‘Anak Matahari’ bangun dari tidurnya yang kurang begitu lelap. Saya lupa menaruh selimut, ia bangun, meminta saya membeli susu murni.
Ia menginginkannya karena melihat saya meminumnya begitu nikmat kemarin hari, mungkin. Maka pada jam 10 malam, saya turun ke lantai bawah, membuka gerbang depan, menuju mini market. ‘Anak Matahari’ mengikuti dari belakang, pinta saya, “Nak, berjalanlah di depan. Bapak ingin mengamatimu dari belakang.”
Sepulangnya, ia masih jalan di depan saya. Dengan kantung keresek berisi susu murni yang mengayun-ayun dari lengannya. Tidak seimbang, namun ia berusaha tetap membawanya. Anak Matahari menuntun Pembawa Air 1). Langkahnya sedikit bengkok, bagian kakinya mirip huruf O—namun bukan berarti terkena polio, itu adalah karakter kaki saya.
Sepuluh meter dari mini market, di antara toko jilbab yang setiap Sabtu malam selalu penuh dengan remaja kota, ia terhenti. Langkah kedua kakinya selesai pada bangunan segitiga dengan kaca-kaca menjulang di bagian tengahnya: halte.
Di depan pintu Halte, saya menemaninya duduk. Bungkus snack yang tercecar, jejak bata sepatu orang yang masih basah, menandakan Halte ini baru saja tutup operasi. Mungkin setengah 15 menit lalu.
“Ini Halte…. Tempat orang biasa menunggu bus, kan?” tanyanya. Kadang untuk membedakan mana pertanyaan dan pernyataan yang keluar dari Anak Matahari memang sedikit sulit. Ia bertanya dengan nada memberi tahu, ia memberi tahu dengan nada polos, seperti kurang tahu.
Halte tidak bedanya pelabuhan, Nak. Seperti stasiun, juga tempat pemberhentian lainnya. “Di tempat ini, akan banyak orang menurunkan tujuannya sebelum kemudian berlanjut ke tujuan berikutnya,” buka saya. Dari tempat satu ke tempat lain, dari mimpi satu menuju mimpi selanjutnya.
“Namun di tempat ini juga, ada beberapa orang yang mengeluarkan umpatnya, menyesali, betapa ia telat memeluk tujuannya.” Maka jika sudah demikian, halte dan daun pintunya, tidak lain adalah saksi kekecewaan dan tabungan tujuan yang ada dalam hati seseorang.
Sambil saya buka susu murni dalam kemasan kotak, saya menceritakan sore hari yang simbah air mata, ketika seorang perempuan sampai di sebuah halte dan ia merogoh peta tujuannya. Ia adalah perempuan yang mempunyai hati yang tulus, putih, sekalipun tidak ada jaminan putih akan selamanya putih. Namun Bapak melihat perempuan tersebut selalu berusaha mengambil putih hatinya pasca sebelanga keburukan tumpah di palung nuraninya.
Sore itu, tepat beberapa detik pasca turun dari bus, ia benar-benar sibuk merogoh tas punggungnya. Ia sengaja menepi, melewati daun pintu ini, lalu duduk di atas trotoar, memilih tempat paling pojok, jarak antara toko satu dan toko berikutnya.
Kali pertama, ia membuka rasleting lapisan luar dari tas punggungnya. Di lapisan paling luar itu ia biasanya meletakkan kertas, make up dan perabotan ringan lainnya (barangkali ia hanya menyimpan parfum dan lotion anti kulit kering saja, perempuan ‘putih’ yang sangat sederhana). Namun untuk sore itu, ia gagal mendapati kertasnya. Sebuah alamat, sebuah sketsa rumah, sebuah tujuan, sebuah akhir dari penantian, ia tulis semua di dalamnya.  
Selesai menemui rasa kecewa dari tas punggungnya, ia kemudian lanjut memanggul perabotan tersebut. Air mineral ia teguk, sapu tangan ia usap, dahinya basah keringat—mungkin juga hatinya.
Di halte ini, ia kembali menunggu. Ia akan menaiki bus jurusan Jl. Amarta. Pukul lima sore lebih sepuluh menit, bus tersebut akan tiba. Namun sebelum ia memberangkatkan tujuannya di atas bus tersebut, ia menyempatkan diri untuk mengelum sebentar.
Betapa meruginya saya. Kertas berisi seribu tujuan-seribu target-seribu impian, hilang begitu saja. Lalu saya harus melanjutkan perjalanan hanya dengan terkaan. Menerka, “Ya, ini adalah tujuan saya. Ya, ini adalah orang yang saya cari. Ya, ini adalah tempat yangs aya tuju.” Semuanya terkaan.   
Halte bus ini, tentu menampung kulum itu. Jika suatu saat di hari pembalasan ada benda mati yang mempunyai banyak tabungan cerita untuk Tuhannya, Nak, barangkali Halte-lah salah satunya.
Perempuan yang kaya akan harapan, mimpi, tujuan. Impian, harapan, tujuan, yang membentu cerita sendiri, menimang hidupnya yang sendiri. Namun ia tidak lagi sendiri, sebab halte mulai penuh dengan calon penumpang, bus arah Jl. Amarta sudah ada di hadapan.
Ia duduk di bangku paling pojok, tepat sebelah pintu penurunan.
Halte Jl. Amarta
Jaraknya tidak terlalu jauh. Hanya setengah jam dari Halte sebelumnya, Nak. Perempuan itu turun, kedua matanya masih belum lelah menelaah bangunan, jalan, rumah, dan orang yang ia lihat. Hingga baru lima menit, ia memutuskan menaiki halte lagi. Putusnya, “Saya harus turun di halte selanjutnya. Halte ini tidak membawa saya pada tujuan sebenarnya.”
Setengah meneguk rindu, seperti banyak orang ketika duduk di bangku dekat jendela tranportasi, ia menikmati perjalanan menuju Halte Jl. Sunaryono, halte ketiga, harapnya, “Semoga saya sampai pada tujuannya.”
Halte Jl. Sunaryono
Ia mulai merasakan sepi sebuah perjalanan. Kenyatannya jalan-jalan memang sedang ramainya. Ini suasana Maghrib, ia tiba di Halte ketiganya saat Adzan berkumandang, orang-orang lalu lalang memenuhi tujuannya. Namun ia, terpuruk oleh perasaan sepi. Maghrib memang demikian, Nak, selalu mampu menarik ulu hati seseorang untuk mengingat rasa sepi. Akan tetapi ia perempuan kuat, maka ia tidak mengeluarkan tissue untuk mengusap air matanya. Ia hanya mengerdip-kedipkan mata berulangkali. Menelan ulang, memaksakan air matanya masuk ke dalam.
Pada bangunan menjulang, sebuah rumah yang mirip gereja, ia mengarahkan matanya begitu cermat. Lampion temaram di bagian terasnya, membuatnya setengah yakin, “Saya pernah membuat sketsa mirip dengan bangunan ini. Apakah ini rumah tujuan saya?”
Mula-mula keyakinannya begitu menggunung. Namun melihat bagian depan rumah yang terlalu didominasi warna merah, ia akhirnya berkesimpulan, ,”Sepertinya tidak. Dulu, di dalam sketsaku, aku menggabarkan rumah yang aku tuju tidak terlalu penuh dengan warna itu. Aku bahkan memenuhi warna hitam dan ungu saja. Bukan merah.”
Jika tidak yakin, Nak, kenapa harus melanjutkan. Seperti perempuan ini, ia pun tidak lanjut mengetuk rumah tersebut. Sebaliknya, ia justru kembali ke halte bus, menaikinya, dan sampai pada halte keempatnya: Halte Jl. Pramoedya.
Halte Jl. Pramoedya
Ia menyempatkan diri menuliskan sketsa rumah sekaligus tujuannya. Ia membuka rasleting lapisan luar tas punggungnya. Mengambil secarik kertas, lalu berusaha menarik ingatannya, tentang rumah, tentang tujuan, tentang rindu yang harapnya… juga berbalas rindu.
Tak lama berselang, sesaat setelah ia menapakkan kaki di Halte Jl. Pramoedya, ia membuang kertas hasil coretannya. Ia menganggap coretan tersebut tidak sesuai dengan tujuannya, tidak sesuai dengan apa yang ada di pikirannya sebelumnya.
Lalu, Nak, ia hanya bisa berjalan. Berjalan saja! Menyusuri bangunan kota satu persatu, sembari menghitung rindu. Harapnya, “Rindu yang berbalas rindu.” Sepi menyusup, kota yang lalu lalang. Ia melihat sebuah halte, putusnya, “Aku harus menaiki bus satu lagi.” Harapnya, “Siapa tahu di halte selanjutnya, tujuan itu kutemui.”
Halte Jl. Trihardjosumaryono
Halte lagi-lagi menabung kisah sepi. Ia guru terhebat jika kamu ingin mendengar cerita-cerita rasa sepi pada diri seseorang. Perempuan yang sudah menaiki kesekian halte ini, terpaksa mengambil mengerdip-kerdipkan matanya. Untuk kesekian kali, ia memaksakan air matanya masuk ke dalam. Ia tidak mau menangis, walau sebenarnya sudah menangis.
Di halte ini, ia kembali gagal menemui tujuannya. Pasca ia lihat bangunan kota, rumah-rumah sekitar Jl. Trihardjosumaryono, tidak satu pun yang sesuai dengan tujuannya. Namun ia berseloroh, dengan kertas pun, ia tetap akan meraih kecewa. Hal tersbeut ia dapati jika apa yang terlihat di kenyataan tak sesuai dengan yang dituliskan.
“Tapi kertas bisa mengarahkanku untuk mencari,” tutupnya.
Maka kembali ia membuka rasleting lapisan luar tas punggungnya. Ia tidak ingin menggambar sebuah sketsa atau mengingat alamat, tujuan, dan lain sebagainya.
Di kertas itu, di tengah aroma rindu yang begitu ia peluk, tulisnya, “Sepi itu ketika seseorang gagal menemukan tujuannya.”
Bata-bata sepatu menderu lumayan kencang. Entah bus ke berapa yang berhenti di halte tempat ia duduk termenung tanpa kenal tahu, “Apa esok halte akan menyampaikanku pada tujuan yang aku tuju?”
***
Susu murni yang semula Anak Matahari pegang begitu erat jatuh dari cengkeramannya. Ia tertidur, entah dengan sepi atau bagaimana. Namun ia hari ini, telah menemukan tujuannya: membei susu murni pasca tidur kurang lelap sebab selimut yang tidak aku rebahkan.
Yogyakarta, 7 April 2013
1) Saya lahir pada bulan Februari, berzodiak Aquarius, berlambang Pembawa Air.



Tags: ,

Written by

Penulis buku, tinggal di Yogyakarta. Twitter: @Naqib_Najah

  • Punya Materi Bagus Tapi Tidak Ada Waktu Menulis!

    Banyak dosen yang tidak mempunyai waktu untuk menulis, padahal, mereka punya materi yang sangat bermanfaat.

  • Saya menulis buku biografi!

    Saat ini buku sudah dilirik sebagai media dokumentasi hidup yang sangat positif. Anda butuh penulisan biografi?

  • Berapa Biaya Hidup di Jogja? (Feature Radio)

    Ini dia pertumbuhan biaya hidup di kota pelajar ini. Pengin tahu lebih lanjut?

  • Jogja Kian Macet! (Esai Foto)

    Januari 2014 lalu saya beserta tim membuat esai foto menyoroti pembangunan hotel dan tingkat kemacetan....

  • Pengin Bikin Iklan Produk dalam Bentuk Video? Murah Kok!

    Iklan dengan bentuk video ternyata terkesan beda. Banyak orang melakukan hal ini, tapi... berapa sih biayanya?

 

Paraqibma Video Project


Layaknya anak-anak seusianya, Akila sering menemukan masalah saat proses belajar. Mulai dari susah diminta mengerjakan PR, hingga kejenuhan dengan sistem belajar.

Apa yang terjadi pada Akila selanjutnya? Simak video iklan berikut: Quamon, mini project by Paraqibma.

Artikel Bisnis


Dizipoint menjadi jembatan antara pebisnis dan pasar online. Selain plaza online, Dizipoint juga menyediakan artikel-artikel bisnis bagi pengunjung.

Saya menulis artikel-artikel bisnis untuk plaza online tersebut. Silakan login di sini untuk membaca artikelnya.

New Aquarich (Coming Soon)

Copyright © New Paraqibma | Designed by Templateism.com