(Kategori Anak Matahari akan mengisahkan ritual imajinatif antara saya dan
anak saya. Kadang saya bercerita tentang nilai hidup, kadang ia yang
mengajarkan saya lewat pertanyaan-pertanyaan cerdasnya. Barangkali ini cara
saya belajar menjadi great father untuk
matahari-matahari kecilku. Episode pertama, saya menulis tentang halte dan arti
sebuah sepi.)
Sebenarnya hari ini tidak ada
maksud menuju halte. Hari sudah malam, ke mana lagi tujuan kecuali kamar tidur
dengan lampu temaram. ‘Anak Matahari’ bangun dari tidurnya yang kurang begitu
lelap. Saya lupa menaruh selimut, ia bangun, meminta saya membeli susu murni.
Ia menginginkannya karena melihat
saya meminumnya begitu nikmat kemarin hari, mungkin. Maka pada jam 10 malam,
saya turun ke lantai bawah, membuka gerbang depan, menuju mini market. ‘Anak
Matahari’ mengikuti dari belakang, pinta saya, “Nak, berjalanlah di depan.
Bapak ingin mengamatimu dari belakang.”
Sepulangnya, ia masih jalan di
depan saya. Dengan kantung keresek berisi susu murni yang mengayun-ayun dari
lengannya. Tidak seimbang, namun ia berusaha tetap membawanya. Anak Matahari
menuntun Pembawa Air 1). Langkahnya sedikit bengkok, bagian kakinya mirip huruf
O—namun bukan berarti terkena polio, itu adalah karakter kaki saya.
Sepuluh meter dari mini market, di
antara toko jilbab yang setiap Sabtu malam selalu penuh dengan remaja kota, ia
terhenti. Langkah kedua kakinya selesai pada bangunan segitiga dengan kaca-kaca
menjulang di bagian tengahnya: halte.
Di depan pintu Halte, saya
menemaninya duduk. Bungkus snack yang tercecar, jejak bata sepatu orang yang
masih basah, menandakan Halte ini baru saja tutup operasi. Mungkin setengah 15
menit lalu.
“Ini Halte…. Tempat orang biasa
menunggu bus, kan?” tanyanya. Kadang untuk membedakan mana pertanyaan dan
pernyataan yang keluar dari Anak Matahari memang sedikit sulit. Ia bertanya
dengan nada memberi tahu, ia memberi tahu dengan nada polos, seperti kurang
tahu.
Halte tidak bedanya pelabuhan, Nak.
Seperti stasiun, juga tempat pemberhentian lainnya. “Di tempat ini, akan banyak
orang menurunkan tujuannya sebelum kemudian berlanjut ke tujuan berikutnya,”
buka saya. Dari tempat satu ke tempat lain, dari mimpi satu menuju mimpi
selanjutnya.
“Namun di tempat ini juga, ada
beberapa orang yang mengeluarkan umpatnya, menyesali, betapa ia telat memeluk
tujuannya.” Maka jika sudah demikian, halte dan daun pintunya, tidak lain
adalah saksi kekecewaan dan tabungan tujuan yang ada dalam hati seseorang.
Sambil saya buka susu murni dalam
kemasan kotak, saya menceritakan sore hari yang simbah air mata, ketika seorang
perempuan sampai di sebuah halte dan ia merogoh peta tujuannya. Ia adalah
perempuan yang mempunyai hati yang tulus, putih, sekalipun tidak ada jaminan
putih akan selamanya putih. Namun Bapak melihat perempuan tersebut selalu
berusaha mengambil putih hatinya pasca sebelanga keburukan tumpah di palung
nuraninya.
Sore itu, tepat beberapa detik
pasca turun dari bus, ia benar-benar sibuk merogoh tas punggungnya. Ia sengaja
menepi, melewati daun pintu ini, lalu duduk di atas trotoar, memilih tempat
paling pojok, jarak antara toko satu dan toko berikutnya.
Kali pertama, ia membuka rasleting
lapisan luar dari tas punggungnya. Di lapisan paling luar itu ia biasanya
meletakkan kertas, make up dan perabotan ringan lainnya (barangkali ia hanya
menyimpan parfum dan lotion anti
kulit kering saja, perempuan ‘putih’ yang sangat sederhana). Namun untuk sore
itu, ia gagal mendapati kertasnya. Sebuah alamat, sebuah sketsa rumah, sebuah
tujuan, sebuah akhir dari penantian, ia tulis semua di dalamnya.
Selesai menemui rasa kecewa dari
tas punggungnya, ia kemudian lanjut memanggul perabotan tersebut. Air mineral
ia teguk, sapu tangan ia usap, dahinya basah keringat—mungkin juga hatinya.
Di halte ini, ia kembali menunggu.
Ia akan menaiki bus jurusan Jl. Amarta. Pukul lima sore lebih sepuluh menit,
bus tersebut akan tiba. Namun sebelum ia memberangkatkan tujuannya di atas bus
tersebut, ia menyempatkan diri untuk mengelum sebentar.
Betapa
meruginya saya. Kertas berisi seribu tujuan-seribu target-seribu impian, hilang
begitu saja. Lalu saya harus melanjutkan perjalanan hanya dengan terkaan. Menerka,
“Ya, ini adalah tujuan saya. Ya, ini adalah orang yang saya cari. Ya, ini
adalah tempat yangs aya tuju.” Semuanya terkaan.
Halte bus ini, tentu menampung
kulum itu. Jika suatu saat di hari pembalasan ada benda mati yang mempunyai
banyak tabungan cerita untuk Tuhannya, Nak, barangkali Halte-lah salah satunya.
Perempuan yang kaya akan harapan,
mimpi, tujuan. Impian, harapan, tujuan, yang membentu cerita sendiri, menimang
hidupnya yang sendiri. Namun ia tidak lagi sendiri, sebab halte mulai penuh
dengan calon penumpang, bus arah Jl. Amarta sudah ada di hadapan.
Ia duduk di bangku paling pojok,
tepat sebelah pintu penurunan.
Halte Jl.
Amarta
Jaraknya tidak terlalu jauh. Hanya setengah
jam dari Halte sebelumnya, Nak. Perempuan itu turun, kedua matanya masih belum
lelah menelaah bangunan, jalan, rumah, dan orang yang ia lihat. Hingga baru
lima menit, ia memutuskan menaiki halte lagi. Putusnya, “Saya harus turun di
halte selanjutnya. Halte ini tidak membawa saya pada tujuan sebenarnya.”
Setengah meneguk rindu, seperti banyak
orang ketika duduk di bangku dekat jendela tranportasi, ia menikmati perjalanan
menuju Halte Jl. Sunaryono, halte ketiga, harapnya, “Semoga saya sampai pada
tujuannya.”
Halte Jl.
Sunaryono
Ia mulai merasakan sepi sebuah
perjalanan. Kenyatannya jalan-jalan memang sedang ramainya. Ini suasana
Maghrib, ia tiba di Halte ketiganya saat Adzan berkumandang, orang-orang lalu
lalang memenuhi tujuannya. Namun ia, terpuruk oleh perasaan sepi. Maghrib
memang demikian, Nak, selalu mampu menarik ulu hati seseorang untuk mengingat
rasa sepi. Akan tetapi ia perempuan kuat, maka ia tidak mengeluarkan tissue
untuk mengusap air matanya. Ia hanya mengerdip-kedipkan mata berulangkali. Menelan
ulang, memaksakan air matanya masuk ke dalam.
Pada bangunan menjulang, sebuah
rumah yang mirip gereja, ia mengarahkan matanya begitu cermat. Lampion temaram
di bagian terasnya, membuatnya setengah yakin, “Saya pernah membuat sketsa
mirip dengan bangunan ini. Apakah ini rumah tujuan saya?”
Mula-mula keyakinannya begitu menggunung.
Namun melihat bagian depan rumah yang terlalu didominasi warna merah, ia
akhirnya berkesimpulan, ,”Sepertinya tidak. Dulu, di dalam sketsaku, aku
menggabarkan rumah yang aku tuju tidak terlalu penuh dengan warna itu. Aku
bahkan memenuhi warna hitam dan ungu saja. Bukan merah.”
Jika tidak yakin, Nak, kenapa harus
melanjutkan. Seperti perempuan ini, ia pun tidak lanjut mengetuk rumah tersebut.
Sebaliknya, ia justru kembali ke halte bus, menaikinya, dan sampai pada halte
keempatnya: Halte Jl. Pramoedya.
Halte Jl.
Pramoedya
Ia menyempatkan diri menuliskan
sketsa rumah sekaligus tujuannya. Ia membuka rasleting lapisan luar tas
punggungnya. Mengambil secarik kertas, lalu berusaha menarik ingatannya,
tentang rumah, tentang tujuan, tentang rindu yang harapnya… juga berbalas
rindu.
Tak lama berselang, sesaat setelah
ia menapakkan kaki di Halte Jl. Pramoedya, ia membuang kertas hasil coretannya.
Ia menganggap coretan tersebut tidak sesuai dengan tujuannya, tidak sesuai
dengan apa yang ada di pikirannya sebelumnya.
Lalu, Nak, ia hanya bisa berjalan. Berjalan
saja! Menyusuri bangunan kota satu persatu, sembari menghitung rindu. Harapnya,
“Rindu yang berbalas rindu.” Sepi menyusup, kota yang lalu lalang. Ia melihat
sebuah halte, putusnya, “Aku harus menaiki bus satu lagi.” Harapnya, “Siapa
tahu di halte selanjutnya, tujuan itu kutemui.”
Halte Jl. Trihardjosumaryono
Halte lagi-lagi menabung kisah sepi.
Ia guru terhebat jika kamu ingin mendengar cerita-cerita rasa sepi pada diri
seseorang. Perempuan yang sudah menaiki kesekian halte ini, terpaksa mengambil
mengerdip-kerdipkan matanya. Untuk kesekian kali, ia memaksakan air matanya
masuk ke dalam. Ia tidak mau menangis, walau sebenarnya sudah menangis.
Di halte ini, ia kembali gagal
menemui tujuannya. Pasca ia lihat bangunan kota, rumah-rumah sekitar Jl. Trihardjosumaryono, tidak satu pun
yang sesuai dengan tujuannya. Namun ia berseloroh, dengan kertas pun, ia tetap
akan meraih kecewa. Hal tersbeut ia dapati jika apa yang terlihat di kenyataan
tak sesuai dengan yang dituliskan.
“Tapi kertas bisa mengarahkanku
untuk mencari,” tutupnya.
Maka kembali ia membuka rasleting
lapisan luar tas punggungnya. Ia tidak ingin menggambar sebuah sketsa atau
mengingat alamat, tujuan, dan lain sebagainya.
Di kertas itu, di tengah aroma
rindu yang begitu ia peluk, tulisnya, “Sepi itu ketika seseorang gagal
menemukan tujuannya.”
Bata-bata sepatu menderu lumayan
kencang. Entah bus ke berapa yang berhenti di halte tempat ia duduk termenung
tanpa kenal tahu, “Apa esok halte akan menyampaikanku pada tujuan yang aku
tuju?”
***
Susu murni yang semula Anak
Matahari pegang begitu erat jatuh dari cengkeramannya. Ia tertidur, entah
dengan sepi atau bagaimana. Namun ia hari ini, telah menemukan tujuannya: membei
susu murni pasca tidur kurang lelap sebab selimut yang tidak aku rebahkan.
Yogyakarta, 7 April 2013
1) Saya lahir pada bulan Februari, berzodiak Aquarius, berlambang Pembawa Air.