Bapak satu ini memang tampak kurang ceria
bulan ini. Dari awal Maret hingga 10 April, saya tidak mendengar gurauan candanya,
pun, saya tidak melihat aksi konyolnya saat bercengkerama dengan ketiga
anaknya.
Saya sedikit tahu penyebabnya. Pertama
mungkin karena banyaknya impian yang harus ia raih—sebenarnya, impian adalah
hal yang sangat menyegarkan hari-hari seseorang. Itu sudah menjadi tabiat
alamiah. Namun seiring berjalannya waktu, impian menjadi parasit, kanebo,
penyerap energi setiap hari. Bapak ini sedang terhisap impiannya sendiri. Semakin
hari semakin tenggelam ke dalam harapannya, kebahagiaannya pun terenggut.
Di hari ulang tahun anak keduanya, di
hadapan kue ulang tahun dan nyanyian happy
birthday to you, pikiran saya justru tertarik pada episode beberapa bulan
lalu. Ketika saya disodori sebuah buku—ini buku yang menandai debutnya di dunia
penerbitan. Buku komputer, diterbitkan Elexmedia Komputindo, kisaran tahun 2005.
Sambil menyodorkan buku itu, ia bertutur
tentang awal perjalan rumah tangganya. Ia yang pemimpi, membawa
impian-impiannya di tengah nahkoda rumah tangganya. Benih-benih impian yang
doanya, mampu berkembang seiring bertambahnya anggota keluarga, seiring tumbuhnya
usia anak-anaknya. Ia merintis
karirnya di dunia penulisan di periode awal menjalani masa berumahtangga, pasca resign
dari perusahan software development
yang beroperasi di Jakarta.
Setelah membuka halaman pertama buku itu,
terbaca sebuah teks persembahan. Ia menulis nama adik-adiknya—hebat, ia juga
menuliskan nama istri dari adiknya. Jarang-jarang
seseorang mengingat dan memberi lembar spesial untuk saudara ipar, pikir
saya. Namun bukan kalimat persembahan itu yang membuat saya tercengang,
melainkan sebaris ucapan untuk istri tercinta, dengan teks lengkap: “Satu
persatu jalan mulai terbuka.”
Visualisasi di kepala saya mulai
terbangun. Ia berada di samping istrinya, menenangkan batinnya yang sedang
gelisah; nahkoda rumah tangga, sekali pun tenang antar personil, tetap butuh
kekuatan (bahan bakar barangkali) untuk tetap menjaganya dalam laju yang tepat.
Hubert Gerold Brown atau yang biasa dikenal Rap Brown, tokoh pergerakan Islam yang mempunyai
toko klontong di Atlanta, menjual kembang gula untuk anak-anak di sekitarnya
mengatakan, “Sekolah pertama bagi seorang Muslim adalah rumah tangganya. Classroom is within the household, begitu
ia membahasakan. Di sekolahan itu (rumah tangga) ia adalah murid untuk dirinya
sendiri. Lalu membagikan pengetahuannya untuk keluarga, orang terdekat di
lingkungannya.
Ketika Bapak
satu ini bertutur, “Satu persatu jalan mulai terbuka,” saya berpikir ia sedang
membagikan ilmu kesabaran, ikhlas menunggu akan datangnya pencapaian kepada
istrinya.
Ada
rintik-rintik hujan dengan petir yang menjulur-julur namun justru membuat kita
menemukan kenyamanan di balik rumah. Ada masa-masa sulit di kehidupan luar yang
menjulur-julur perasaan kita namun kembali, rumah (dengan anak, istri, dan
segala cerita di dalamnya) membuat kita merasa tenang dan tetap aman dalam
menjalani kehidupan.
Biarlah petir di
luar sana menggelegar, menakuti kita. Lalu di rumah ini, (dengan anak, istri
dan segala cerita di dalamnya) mendamaikan hidup dan memberanikan kita kembali
menyusun apa yang harus di raih esok hari.
Bapak ini, sedang
menikmati gelegar hidup dan juluran petir dengan mendekam, memeluk, merasakan
kehangatan keluarganya. Di nahkoda rumah tangganya, ia akan melaju meraih
impiannya. Lalu petir sekadar petir, sementara mimpi harus tetap dijalani.
Nyanyian happy birthday masih sorak ramai
dikumandangkan. Aqila, putri keduanya, siap memotong kue yang ada di
hadapannya. Lalu bisik saya:
“Pada tahap
entah kapan saya akan menjadi murid untuk diri saya sendiri, dengan rumah
tangga sebagai ruang kelasnya. Saya belajar tentang segala hal, lalu saya
membagikannya untuk keluarga, istri dan juga anak saya. Barangkali saya akan
bercerita tentang ‘mata pelajaran’ saya jelang tidur, lalu saya meminta
pendapat kepada istri saya. Barangkali saya akan bertutur, Satu persatu jalan mulai terbuka di saat nahkoda rumah tangga
sedang dihadapkan karang besar nan tajam. Barangkali saya akan bercerita kepada
anak saya, bagaimana hidup harus dimenangkan. Barangkali saya akan berkata,
kita adalah satu tim dengan masing-masing tangan siap menggenggam tongkat estafet dari orang tuanya.
Saya selaku Bapak, mungkin pelari pertama, lalu estafet akan saya berikan
kepada istri saya. Pada masa-masa berikutnya, tentu anak-anak akan menjadi
pelari hebat dengan harapan, akan menaruh tongkat dengan finish pada waktu yang
tepat.”
Saya mengambil
kue, memakannya, sepenuh doa.
Yogyakarta, 10 April 2013
Bayangan anak-anak seperti meladeni saya
untuk semakin dewasa.