Jika Anda menonton film Touchback yang rilis 13 April 2012 lalu,
Anda akan menikmati kehidupan kedua yang dimiliki Scott Murphy. Ia hidup
sebagai super star, atlet football yang meraih kejayaannya di usia 20 tahun. Episode
ini boleh kita tandai dengan kehidupan pertamanya. Namun cedera kaki yang ia terima dalam sebuah
pertandingan, membuat kehidupannya berbanding terbalik. Inilah kehidupan kedua.
Kakinya yang cacat, membuatnya menjalani
rumah tangga dengan bertani, dua anaknya hidup tanpa sentuhan kasih sayang yang
utuh, begitu pun, kadar rasa cintanya kepada isterinya sedikit terenggut sebab
kesibukannya memikirkan hutang bank, dan hasil panennya.
Kehidupan kedua bagi Scott Murphy adalah
kerja keras. Banting tulang untuk mengembalikan kebahagiaan sebagaimana
sebelumnya, selagi masih ada kesempatan, selagi masih ada kemampuan.
***
Semoga sore itu adalah sore yang berkah. Saya
duduk di sampingnya bukan di atas kursi yang nyaman. Melainkan bangku kecil
dengan atap terpal yang untungnya, sore itu tidak diguyur hujan. Kami duduk di
angkringan sederhana. Saya mengambil sate kerang, dua tahu susur dan segelas teh
hangat tanpa gula. Sementara beliau, berdasarkan seleranya, meminta mendoan
namun dengan catatan, yang masih hangat dan baru saja diangkat dari
penggorengan. Es teh ia pesan sebagai pelancar aktivitas ngemilnya.
Di usianya yang ke-58, ia melempar cerita
perihal aktivitas yang ia geluti akhir-akhir ini. Ia bercerita tentang
Pelatihan Tindakan Kelas (PTK) yang sedang gencar-gencarnya beliau galakkan. Berbekal
background-nya sebagai mantan
wartawan Kedaulatan Rakyat, beliau memberanikan diri sebagai trainer di bidang
tersebut, sekaligus memberikan latihan menulis bagi guru-guru yang ingin
meningkatkan karir.
Tegasnya, “Saya lagi senang-senangnya
berjuang di bidang ini, Dek!” Sapaaan dek
memang kaprah beiau lempar untuk lawan bicaranya.
Pikir saya, tidak akan ada yang istimewa
dengan topik seperti ini. Cerita perihal pelatihan akan bermula dari aktivitas
menyebar undangan, meyakinkan peserta atas materi yang dibuat, dan berakhir
dengan pertemuan: sesi latihannya.
Namun senior satu ini mampu memberi bumbu
yang istimewa di tengah ceritanya. Saya yang semula berniat mendengarkannya
biasa-biasa saja, akhirnya menjadi simpati luar biasa. Ia menjumlahkan angka 58 dengan 400 lembaran dibagi 230 sekolahan
dibagi lagi 5 hari kerja. Angka-angka yang bagi saya, menandai semangatnya di
kehidupan kedua.
Angka 58 adalah usianya. Dua tahun lagi, ia sudah sepantasnya menjadi pria dewasa yang lepas dari
segala bentuk pekerjaan dan kaitannya dengan mata pencaharian: pensiun. Namun ia
bukan pegawai negeri. Ia hanya lelaki yang menyukai jurnalistik. Oleh
karenanya, segala pekerjaannya pun berputar perihal ketik-mengetik, mencari
berita (menjadi wartawan Kedaulatan Rakyat), membuat majalah (sempat mendirikan
majalah), dan segala hal yang berkaitan dengan pengetahuan menulis (pelatihan).
Maka tidak ada jaminan pensiun di hari tua untuknya.
Dari angka 58 itu, kemudian naik ke angka 400. Angka ini tidak lain adalah jumlah lembaran
undangan pelatihan PTK yang ada di tangannya. Jumlah undang yang sangat sedikit
jika melihat pangsa pasar PTK yang sedemikian luas. Namun berbuat sedikit dan tahu kondisi lapangan kadang lebih menarik ketimbang
niat berbuat banyak tapi buta akan apa yang terjadi di lapangan.
Dengan 400 lembar undangan yang ada di tangan,
ia akan pergi menjelajah sekolah-sekolah yang ada di Gunung Kidul. Seperti
menyirami tanaman di pagi hari, Pelatihan PTK membuatnya menaruh harapan yang
cukup besar: ia ingin menjadi mangga
yang rindang dan meneduhkan orang-orang yang ada di sekitarnya walau pun sudah
tidak bisa berbuah.
“Tujuan saya, Dek, bukan membuat pelatihan
PTK di kota. Kalau di Jogja ini, sudah banyak orang pintar. Mereka ikut
pelatihan cuma sekadar cari sertivikasinya,” terangnya. Sanggah saya, “Bukannya
yang di desa pun ikut pelatihan juga ingin cari sertivikasi, Pak?”
Namun ia bisa menjelaskan lebih detail
lagi.
“Memang benar begitu, namun impact-nya tetap beda. Menabur
pengetahuan di orang-orang desa, jauh lebih bermnfaat daripada menabur
pengetahuan kepada orang-orang kota,” lanjutnya.
Saya jadi ingat kalimatnya beberapa bulan
silam, bagaimana ia yang sudah ada di usia senja, dengan pengetahuan perihal pendidikan
yang menumpuk di kepalanya, terpanggil untuk membuat satu hal yang bermanfaat
bagi khalayak banyak sebelum ia meninggal.
“Saya, Dek, di usia segini, belum
meninggalkan apa-apa. Harta juga tidak, buku juga cuma seberapa, murid juga
tidak punya. Terus apa amalan sebagai penenang hari akhirku besok?”
Atas dasar itu semua ia merelakan
bercapek-capek menjelajah 230 sekolahan di Gunung Kidul, dengan motor butut, Smash keluaran tahun 2003. Targetnya,
230 sekolahan tersebut tuntas dalam lima hari. Maka untuk menyelesaikannya, ia
harus menuntaskan 45 sekolahan setiap hari.
Ekspedisi 5 hari 230 sekolah itu akhirnya tuntas juga. Setelah menyeruput es tehnya, dengan bibir
yang masih belepotan minyak pasca menikmati tahu, ia memperlihatkan kedua
lengannya yang bentol-bentol. Karena iritasi
matahari, Dek, akunya. Maklum, ia berangkat pagi-pagi. Pada pukul delapan hingga
11 siang, ia memberanikan diri dengan kepala sekolah yang ia temuinya.
“Sebab wajah saya belum kusam, Dek. Tapi
kalau sudah di atas pukul satu siang, saya ngakunya sebagai kurir pengantar
undangan. Ya, masak pembicara pelatihan wajahnya kusam,” lanjutnya.
***
Theodore Roosevelt pernah bilang, “Far and away the best prize that life has to
offer is the chance to work hard at work worth doing.”
Kesempatan untuk
bekerja keras adalah sebaik-baiknya pemberian dalam hidup. Orang-orang yang ada
di kehidupan kedua sangat tahu arti kesempatan. Scott Murphy yang pernah
mengalami masa keayaan, tidak akan menyianyiakan waktunya kecuali untuk bekerja
keras. Harapnya, kebahagiaan itu kembali seperti semula.
Kehidupan kedua bagi
eks wartawan Kedaulatan Rakyat ini adalah membuat hidup semanfaat mungkin di
hari senjanya. Ia rela berkeringat sejauh itu, menempuh 45 sekolah setiap hari,
door to door menawarkan materi
pelatihan PTK-nya.
Jika Scott dan senior
saya ini sudah menemukan kehidupannya, apa Anda juga dalam taraf yang sama? Namun
sebenarnya kita tidak perlu menghitung di kehidupan ke berapa kita saat ini. Seperti
yang Sammy Hagar katakan, “Every year on your birthday, you get a chance to
start new.”
Yogyakarta, 12 April 2013