Dr. Gabriel Possenti Sindhunata atau yang biasa akrab dikenal Sinhunata saja, membuka buku Air Mata Bola dengan artikel Di
Ambang Tanah Terjanji. Ia mengulas geliat sepak bola
Inggris, dari ekspektasi masyarakat Negeri Elizabeth, sisi negatif pemain The Three Lion, hingga fenomena Paul
John Gascoigne.
Khusus untuk
Paul Gascoigne, ia memberi beberapa paragraf yang cukup menarik. Sindhunata
membeberkan bagaimana cercaaan masyarakat Inggris akan pemain yang biasa
dipanggil Gazza ini. Kutip saya dari artikel tersebut, “Siapakah yang
menggambarkan Gazza dengan T-shirt yang robek, dengan gelas bir di angan, dan
menyebutnya bagaikan babi yang bercucuran keringat?”
Para fans
Inggris menyebut Gazza tidak layak sebagai pemain. Badannya kelewat tambun,
ditambah sikap tidak disiplin yang sering ia praktikkan di luar lapangan. Lebih
parah lagi, publik Inggris menyebutnya pelawak. Tulis Sindhunata, “Venables
(pelatih Inggris era 1994-1996) telah mengangkat pelawak menjadi maestro untuk
menjadi dirigen bagi orkestranya.”
Gazza boleh
saja dicerca. Bodi dan gaya hidupnya memang layak mendapatkan hal tersebut. Namun
apakah cercaan perihal buruknya fisik dan skill selamanya melekat dalam dirinya?
Kemenangan
4-1 atas Belanda membawa pujian untuknya. Pundi-pundi karirnya tidak lagi
dipenuhi cercaan. Pasca kemenangan itu, dua kesadaran muncul di benak
masyarakat Inggris: pertama, boleh
Gazza berbadan tambun dan terkesan seenaknya sendiri, namun kedua ia mempunyai insting mematikan
untuk membaca permainan dan memberi umpan kepada para rekan.
***
Jika kita
membuka istilah soft skill dan hard skill, lalu mengkaitkannya dengan
deskripsi yang diberikan Wikipedia, maka soft skill adalah istilah sosiologis yang mempunyai kaitan dengan kecerdasanemosional. Soft skill erat
hubungannya degan EQ (Emotional
Inteligence Quotient). Soft skill
yang tinggi menentukan hubungan Anda dalam dunia sosial: bagaimana cara
berinteraksi Anda, bagaimana cara Anda menempatkan diri, bagaimana keramahan,
dan lain-lainnya.
Sementara hard skill adalah kemampuan teknis yang Anda miliki. Jika Anda
seoarang dokter, kemampuan membedah pasien adalah hard skill Anda, jika Anda
lulusan Sastra Indonesia, kemampuan edit EYD atau merombak konten dan
mengkritisi karya adalah hard skill Anda,
begitu seterusnya.
Saya sering tertawa sendiri ketika
menonton sepak bola. Sama-sama menonton sajian kulit bundar dari layar monitor
14 inc. kadang teman-teman saya heran kenapa saya mendadak tertawa padahal
tidak ada aksi blunder, penonton memasuki lapangan, wasit salah memberi kartu,
atau kejadian janggal lainnya.
Sepak bola bagi saya seperti mata
pelajaran. Umpan panjang Riccardo Montolivo mengajari saya bagaimana berbuat
sedikit namun efektif. Olahan bola Lionel Messi mengajari saya arti kesantunan
di tengah prestasi yang menjulang. Dribling
dan selebrasi Cristiano Ronaldo mengajari saya bagaimana mendaki ‘puncak’
dengan segala kegigihannya. Sementara senyum Mario Balotelli mengajari saya
untuk touching people di tengah
keangkuhan—angkuh dan sikap touching
people memang beda, namun Balotelli bisa memeragakannya bersamaan.
Belakangan, mata pelajaran yang sering
saya baca dari ‘guru kulit bundar’ adalah soft
skill. Soft skill inilah yang
sering memantik otak saya untuk tertawa spontan. Soft skill Filippo Inzaghi untuk mencari tempat (walau seringnya
malah kejatuhan peluit wasit karena terlihat offside) membuat saya tertawa di tengah aktivitas menonton bola. Soft skill Andrea Pirlo yang bermain nggeremet namun bermata elang (sehingga
tahu di mana harus memberi umpan kepada strikernya) membuat saya
terpingkal-pingkal. Soft skill Mario
Gomez yang pintar mengelabuhi lawan lewat pergerakan tanpa bola (sehingga
membuatnya sering disebut ‘beruntung’ saat mencetak gol) membuat saya sering
menahan senyum.
Soft
skill memang
berkaitan dengan kadar emosional dalam diri kita: attitude, behavior. Namun
dalam dunia sepak bola, kita bisa membuat transisi pengertian.
Sepak bola sebagaimana olah raga
lainnya, memang sebuah bidang pekerjaan yang menuntut pelakunya dalam hal physical skill. Namun ketika sepak bola
adalah jenis olah raga tim, maka soft
skill di sini mempunyai andil yang tidak kalah besarnya.
Transisi pengertian soft skill dalam sepak bola bisa kita
terjemahkan dalam hal kemampuan bekerja sama, kontrol emosi di tengah
pertandingan, visi bermain, membaca permainan, insting mengumpan, insting
mencetak gol, insting mencari tempat, insting melakukan pergerakan tanpa bola
yang mampu menyulitkan lawan, dan seterusnya.
Paul John Gascoigne sebagaimana
yang ditulis Sindhunata, memaparkan betapa dahsyatnya soft skill melebihi hard skill yang ia punya. Badan tambun melebur sementara jika melihat
kemampuan organisasi dan visi permainan Gazza.
Pada tahun 1992, Ron Shelton menulis
dan menyutradari film dengan judul White
Men Can’t Jump. Film tersebut rilis pada 27 Maret, dengan bintang satu
orang dari kalangan putih, Woody Harrelson (nantinya berdiri sebagai pemilik soft skill), dan satu orang lagi dari
kalangan kulit hitam, Wesley Snipes (dalam artikel ini kita sebut pemilik hard skill).
White
Men Can’t Jump bercerita
tentang pebasket jalanan. Di mana olah raga menjadi komoditas mencari uang;
mereka bertanding untuk taruhan. Si hitam Sidney Deane, diperankan Wesley
Snipes, disebut-sebut sebagai pebasket daerah pesisir itu. Ia hidup memang dari
basket, dan telah memenangkan banyak sekali pertandingan.
Basket jalanan, di daerah pesisir,
hanya dimainkan oleh dua orang. Cara meraih kemenangan adalah siapa yang lebih
dulu mencapai angka yang sudah ditentukan, 10 sampai 15 poin. Karena berbagai hal,
si hitam Sidney akhirnya berpartner dengan si putih Billy Hoyle, diperankan
Woody Harrelson.
Ketika Sidney berpartner dengan Billy,
nuansa soft skill dan hard skill tervisualisasikan dengan
baik. Si hitam Sidney yang jago membawa bola, berkebalikan dengan si putih Billy
yang tidak sepiawai itu untuk memainkan bola. Dalam laga final, Sindney bahkan
mengejeknya seabagi orang putih yang tidak bisa melompat—untuk mencetak angka
lewat slam dunk.
Apakah Billy yang tidak bisa melakukan
slam dunk lantas berhak mendapatkan
cercaan?
Silakan baca alur cerita film tersebutdi Wikipedia, maka Anda akan mendapati kalimat menarik, Sidney and Billy do win the grand prize of $5,000, largely due to
Billy's ability to disrupt his opponents' concentration.
Kemenangan yang mereka raih, tidak
lain karena kemampuan Billy untuk mengganggu konsentrasi lawan. Ia bukan pembawa
bola terbaik, ia bukan pelaku slam dunk, namun Billy adalah pengoper terbaik
dan pembaca ritme yang andal dalam sebuah pertandingan.
Sembari saya membuka video youtube perihal gol-gol Filippo Inzaghi,
sembari itu saya mengingat komentar banyak orang, tentang raihan yang diperoleh
karena keberuntungan, tentang prestasi yang didapat tanpa amunisi skill fisik
yang mumpuni.
Saya masih tertawa dengan video-video
itu, begitu pun, saya masih tertawa ketika membaca ulang cemooh publik Inggris
yang mengatakan Gazza terlalu tambun bagai pelawak yang berdiri sebagai dirigen orkestra.
Seperti juga tawa saya ketika tahu Billy tidak mampu melakukan slam dunk.
Sambil tertawa, saya bertanya, “Apa
hidup harus melulu hard skill?”
Bukannya 80 persen hidup kita jalani hanya dengan insting?
Yogyakarta, 15 April 2013
Karena keinginan menambah hard skill, saya juga berdoa bisa kuliah
TI tahun ini. Semoga keinginan yang berbalas kenyataan.