If I were asked to name the chief benefit of the house, I
should say: the house shelters day-dreaming, the house protects the dreamer,
the house allows one to dream in peace.
Manis
sekali Gaston Bachelard dalam
menggambarkan makna rumah bagi hidupnya. Ia yang lahir di Bar-sur-Aube dan meninggal di Paris, 16 Oktober 1962, mengambil tri fungsi dari sebuah rumah. Rumah sebagai penampung
segala lamunan. Rumah sebagai pelindung atas segala mimpi yang ia tanam. Rumah yang sekaligus pemberi ketenangan, rasa damai di tengah badai hidup
yang sulit terbaca.
Pada
ruangan 4 x 4 meter, saya menemani teman saya ngobrol perihal rumah. Topik
rumah ia lempar seiring keinginan kekasihnya untuk kembali ke kampung halaman,
“Ia ingin tinggal di rumah, di Bukittinggi. Di rumahnya nanti, ia ingin menghabiskan hidupnya dengan mengurus ayah dan ibunya. Kebetulan, kesehatan mereka kurang membaik,” jelas sahabat
saya.
Sahabat saya bercerita tentang kegusaran hatinya lantaran niat
pulang kampung kekasih pujaannya—Ia sudah tidak menghendaki tinggal di Jogja,
Bukittinggi menjadi pelabuhan masa depannya. Saya tidak memberi nasihat apa-apa.
Sulit berbagi solusi di tengah kompleksitas problem yang sahabat saya
ceritakan. Namun diam-diam, saya mengulum, “Dengan tinggal di rumah, seseorang
mampu membumi. Sementara kita yang di perantauan, terlalu jauh melangit.”
Barangkali kekasihnya itu ingin membumi, pasca melangit 4 tahun lebih sepanjang perantauannya di Jogja.
Saya sering menyentuh realita kemudian
berpikir tentang hidup yang sebenarnya justru sewaktu saya sedang ada di rumah.
Ketika saya pulang kampung, di saat kali pertama mengetuk pintu, maka di saat
itu juga, rumah memberi saya visualisasi hidup yang cukup banyak. Tentang
perekonomian, tentang keringat yang harus diperas tanpa kenal waktu, tentang
kerasnya hidup yang kadang tanpa sempat memberi ampun, tentang menjadi
sederhana namun benar-benar hal yang nyata.
Rumah
adalah tempat di mana kaki-kaki bisa meninggalkannya, namun tidak dengan hati
kita, tulis Oliver Wendell Holmes. Kaki yang melangkah di Jogja, namun hati saya masih tinggal di rumah. Di setiap langkah pertama memasuki ruang depan, sambil mencium debu
meja yang jarang dibersihkan—rumah saya hanya ditempati adik ketiga, saya menyebutnya pelari ketiga, saya pernah juga pernah menuliskan kisah hidupnya di judul Pelari Ketiga: Adik yang Basah Keringat. Ia bekerja
dari pukul 6 pagi hingga siang menjaga toko warisan keluarga di pasar
tradisional. Ia membersihkan rumah jika tidak capek saja—saya menciuimi
cerita-cerita dari ibu saya.
Ah, ibu saya tidak pernah bercerita.
Namun ia dengan segala semangatnya untuk sembuh dari penyakit yang menderanya,
adalah cerita sendiri bagi saya. Cerita membumi, bukan melangit.
Kisaran pukul 4 sore dan 5 pagi, adalah dua moment yang paling saya suka ketika tinggal di rumah.
Pukul empat sore, Ibu saya biasanya
menyempatkan membaca Alquran. Kakinya yang tidak bisa bergerak, tangan kirinya
yang lumpuh, membuat saya semakin tenggelam ketika melihatnya membopong Alquran
dengan sekeras usaha. Ia akan duduk di ruang tengah, di atas kasur yang selalu
lekat dengan aroma keringatnya, lalu alunan Alquran terdengar. Fasih! Ibu saya
cukup fasih membacanya.
Di saat itu juga, rumah dengan lakon
Ibu Pembaca Quran, memberi saya arti kedamaian seorang hamba saat mampu
beribadah di tengah keterbatasannya. Sebenarnya, niat ibu saya di setiap sore
adalah datang ke musala, mengikuti pengajian ibu-ibu, bercengkerama dengan
perempuan-peremuan seusianya. Sempat ia memaksakan diri berangkat
tertatih-tatih (dengan Bapak yang memegangi pundaknya), namun seiring waktu, stroke, kadar gula, dan asam urat benar-benar menghukumnya untuk tinggal di
rumah saja.
Sore hari, pasca ia membaca Alquran,
saya lanjut memutarkan televisi. Saya duduk di sampingnya, bersandar di bahunya
yang makin hari makin tidak empuk. Ah, tidak masalah. Toh, yang saya cari
adalah aroma keringatnya. Sebab saya selalu suka aroma keringat ibu. Aroma
keringat bercampur racikan dedaunan yang ditumbuk lalu dioleskan di atas
tubuhnya.
Sore hari di rumah, ajaran hidup datang seiring bunyi burung-burung Kroak (saya tidak tahu nama sebenarnya. Namun sebelum Maghrib tiba, di belakang rumah selalu ramai dengan suara burung. Manuk Kroak, demikian orang sekitar menyebut).
Pada pukul 5 pagi, rumah berganti
episode. Rumah pagi hari, dengan bunyi tongkat ibu menuju kamar mandi, memberi
saya ketukan hidup. Ketukan-ketukan yang berarti kesadaran akan kenyataan.
Bangun, hidup tidak sekadar mimpi.
Saya pun bangun, cuci muka, salat
Shubuh, menyapu lantai, membuang sampah dapur, lalu menemaninya terapi jalan
pagi hari. Inilah realita… saya melihatnya tidak mempunyai perkembangan perihal
kesehatan, padahal dalam kondisi bermimpi, saya selalu bertemu dengannya dalam
keadaan yang cukup riang: memasakkan saya menu kesukaan, membeli jajanan pasar
pasca kesibukannya di toko warisan keluarga, dan tentunya, berangkat mengaji di
musala tanpa perlu tertatih-tatih.
Saya masih suka membaca ‘novel’,
tentang rumah saya sendiri. Novel yang barangkali, lebih banyak menyajikan
bab-bab pahit ketimbang manisnya. Novel yang membuat saya dan adik saya bercengkerama dengan Ibu hanya dalam hitungan 15 tahun. Novel yang bagi Mbak saya, haram sekali untuk
dibaca ulang: pada bulan Februari 2012, telepon datang darinya. Ia memarahi
saya karena menulis cerita perihal ibu dan masa-masa pahit keluarga saya. Namun
bagi saya, novel memang demikian. Kita harus mencintainya secara utuh, bab
pahit, dan juga manisnya. Seperti hidup!
Ketika sahabat karib saya sedang
suntuk-suntuknya: kuliah tidak juga menemukan happy ending-nya, ingin memulai bisnis namun belum ada modal usaha,
sementara omelan kedua orang tua terus menghujami seiring datangnya telepon
dari keluarganya, maka saya memintanya untuk pulang sejenak. Barangkali ia di
Jogja terlalu hidup melangit dan butuh kembali menyentuh bumi. Dan rumahlah
tempatnya.
Kenyataannya, sekembalinya dari
kampung halaman, ia mampu menemukan fokus hidup. Rumah dengan segala
kesederhanaannya mampu mengembalikannya pada kehidupan-kehidupan membumi.
Karena rumah dengan segala
episode yang ada di keluarga saya, nasihat Mbak saya tidak pernah berubah. Di
setiap kesempatan telepon, yang keluar dari mulutnya adalah ajaran untuk mengenali diri sendiri, “Kamu bukan
siapa-siapa, Dek. Bukan anak siapa-siapa. Jika orang jatuh dan masih ada keluarga
yang datang menyambut, maka tidak denganmu.”
Ia mengajak saya membumi, untuk tahu
siapa diri sendiri, apa yang harus diraih, berkat sebuah rumah.
Lalu ketika saya harus meninggalkan
rumah, menaiki bus menuju Yogyakarta, saya hanya bisa mengingat pesan Tad
Williams, “Jangan membuat rumah bergantung pada
tempat. Buatlah
rumah Anda
di kepala Anda sendiri. Anda
akan menemukan apa yang Anda butuhkan - kenangan, teman yang bisa Anda percaya, cinta
dari sebuah pelajaran, dan hal-hal lain seperti itu. Bila sudah demikian, kita akan
menikmati sebuah perjalanan.”
Yogyakarta,
18 April 2013
Pukul 01:41 WIB, pasca bangun dan
mencium aroma ibu. Saya mencarinya, ingin saya katakan, “Anakmu telah berbuat
besar hari ini. Itu didikanmu!!!” Keringat ibu... merindu sekali.