Ada hal-hal kecil
yang justru dipilih ketimbang hal-hal besar yang tanpa hak kepemilikan. Dengan
dalih kenyamanan, kita akan memilih menghuni rumah kecil yang jauh dari kemewahan
(asal itu rumah sendiri) dibanding tinggal di perumahan megah namun status
masih kontrakan. Yang kecil namun milik sendiri lebih memberi kenyamanan
daripada yang besar namun masih hak milik seseorang, itu prinsipnya.
Kenyamanan terbeli
lewat sebuah kebebasan. Mungkin karena dalih ini juga, pilihan rumah kecil namun
milik sendiri menjadi prioritas dibanding ngontrak di perumahan besar namun
lagi-lagi, masih status ‘kontrak’. Kemegahan yang kita rasakan, ternyata tidak
diikuti perasaan bebas untuk menghuninya. Bayangan pembayaran tiap bulan, serta
rasa was-was akan dimarahi pemiliknya jika kita memasang pigura dengan asal
memaku di tembok saja, tetap menjadi hantu-hantu kecil yang menghalangi
kenyamanan hidup.
Saya sebenarnya
sedang menghuni rumah kecil dua minggu ini. Bukan rumah dalam arti sebenarnya. Melainkan
analogi kondisi saya yang lagi-lagi memutuskan resign dari kantor lama. Sebelumnya saya bekerja di Geniofam,
software development yang sekaligus merangkap agensi naskah. Khusus untuk
agensi naskah ini saya ditugasi menginvestasikan perjuangan untuk mengembalikan
Geniofam (selaku agnesi naskah) kepada raihan yang lebih baik, seperti dua
tahun sebelumnya.
Namun ternyata, saya
tidak bisa mengemban tanggung jawab itu. Saya sering ‘gatal’ dengan sendirinya
lantaran niat besar saya untuk memulai usaha sendiri. Mengingat usia yang sudah
menginjak 25 tahun dan asupan ide yang semakin hari seperti bola salju saja.
Ketika saya resign, saya teringat kalimat lama saya.
Dulu saya sering memaksakan diri saya untuk ngantor karena berbagai macam
alasan. Pertama, dengan ngantor saya punya kehidupan sosial yang lebih banyak.
Di hadapan Arisetya Yogaswara, suatu sore, saya pernah bertutur, “Saya sedih,
Mas, kalau saya meninggal kelak. Jika saya tidak ngantor, lantas lingkungan
masif saya di Jogja ini di mana lagi? Saya tidak punya teman kuliah. Teman
nongkrong pun cuma satu-dua. Yang menziarahi saya nanti siapa?”
Alasan pertama
tersebut memang cukup masuk akal. Dengan ngantor, saya memperoleh lingkungan
sosial yang tentu, akan berdampak positif bagi khazanah otak saya. Bertemu
dengan banyak orang, baik dilanjutkan dengan ngobrol atau cukup melihat habit sehari-hari mereka, itu sudah
membuat saya mampu meng-upgrade hidup
saya.
Dengan ngantor,
seseorang juga sedang menjalankan prinsip bersatu
kita teguh bercerai kita runtuh. JIka hidup ini adalah lautan lepas, maka
ngantor membuat kita berada di sebuah kapal. Kalau pun ada badai dan gelombang
besar, setidaknya kita mempunyai teman dan awak-awak kapal yang siap berunding
untuk mencari jalan keluar. Hal-hal demikian yang tidak kita dapatkan ketika
menjadi freelancer.
Saya memegang teguh
prinsip di atas. Saya berusaha untuk ngantor selamanya. Namun kenyataannya,
prinsip tersebut menemukan kekeroposannya seiring bertambahnya usia. Di tahun
ini, lagi-lagi saya begitu terpanggil untuk merintis usaha sendiri, sekecil apa
pun itu.
Pilihan untuk
merintis usaha sendiri ini, membuat saya teringat rumah kecil yang jauh dari
kemewahan. Ya, saya saat ini menjadi penulis lepas, juga berusaha mendirikan
agensi naskah sendiri. Benih-benih kemandirian ini saya tabur di Aquarich,
agensi naskah saya. Bila membandingkan kemewahan, maka Aquarich baru seukuran gubuk,
berbeda dengan Geniofam yang sudah mengawali karir agensi-nya sejak 2008. Namanya
pun sudah cukup dekat dengan lini penerbitan Gramedia, Elexmedia Komputindo.
Akan tetapi,
lagi-lagi menghuni rumah sendiri jauh lebih membuat kita hidup ketimbang
berteduh di rumah orang—walau dengan konsekuensi kehilangan kemewahan.
Karena kondisi saya
saat ini, saya jadi begitu terbayang-bayang sosok Andre Villas-Boas. Pelatih asal
Portugal ini benar-benar menjiwai hidup saya selama beberapa minggu belakangan.
Sebelum ia menjabat sebagai pelatih, ia menghabiskan waktu lima tahun lebih sebagai
asisten pelatih Jose Mourinho. Dari masa si Mou menangani FC Porto (2002-2004),
Chelsea (2004-2007), hingga saat Mou hijrah ke Negeri Pizza bersama Inter Milan
(2008-2010).
Villas-Boas pada
periode keasistenannya, seperti menghuni rumah yang megah. Kenikmatan pun
sering ia raih. Sebut saja kenikmatan dalam bentuk sajian trofi Liga Champions
saat Porto dan Jose Mourinho meraihnya di tahun 2003/2004, trofi Liga Inggris, Serie
A, dan lagi-lagi Liga Champion saat Inter Milan mengalahkan Bayern Munchen di
final 2009/2010.
Namun apakah
Villas-Boas bisa sepenuhnya menikmati sajian itu? Barangkali ia akan lebih
bangga membawa klub kecil Academica masuk ke semifinal Taça de Portugal 2009/2010
daripada mengangkat trofi Champion namun sebagai asisten pelatih. Sebab di
Academica inilah, ia seperti menghuni rumah sendiri, walau dengan konsekuensi
kehilangan kemegahan klub besar.
Jika hidup adalah
mengarungi lautan, biarlah saya menghuni sekoci kecil. Saya mengarungi lautan
dengan kendali yang sepenuhnya ada di tangan saya. Ketika badai menerjang atau
gelombang pasang, saya akan menguji akal saya seberapa cerdik saya bisa
melewatinya. Lalu setiap petualangan menjadi pengalaman berharga yang luar
biasa. Pengalaman, yang mungkin tidak saya peroleh ketika saya menghuni kapal
besar.
Yogyakarta, 14 Mei
2013
Saya membesarkan
Aquarich bersama sahabat senior saya, Mutaroh Akmal. Ke depannya, semoga ini
sarana untuk berkreasi lebih baik.