Senin, 20 Mei 2013

Di mana Alamat Rumah Kita?

Share & Comment
Merdunya kicau burung bukan karena kualitas suaranya. Melainkan bagaimana ia menemukan kenyamanan, aman, sehingga ia bisa mengeluarkan suara terbaiknya.

Saya pernah menulis tentang cara rumah menerapi kita untuk semakin membumi. Tulisan tersebut saya posting beberapa minggu lalu. Lewat judul Menyentuh Bumi di Rumah Sendiri, saya diingatkan banyak hal gara-gara rumah. Termasuk adalah kepandaian dia mengingatkan siapa diri kita, ke mana kita harus melangkah, dan cara rumah memanusiakan penghuninya.
Bagi Otto Rehhagel, Kaiserslautern memang bukan kota kelahirannya. Ia lahir di Essen. Namun Kaiserslautern, kota yang biasa juga disebut dengan K Town adalah pelabuhan yang nyaman. Kaiserslautern memberinya kenyamanan. Di kota dengan populasi 99.469 ini ia menemukan ‘rumah’, sebelum kemudian ia menjadi manusia sebenarnya.
“Otto datanglah ke sini. Di sini kamu akan menjadi pelatih. Lebih dari itu, kamu akan menjadi manusia lagi,” demikian seru Juergen Friedrich. Sahabat yang sekaligus menjabat komisaris klub sepak bola setempat ini menelepon Rehhagel pasca episode jahatnya majikan kaya yang ditunjukkan manajemen Bayern Munchen. Raksasa Jerman telah memecat Rehhagel dari kursi kepelatihan. Lalu Friedrich datang meminta Rehhagel untuk melatih Kaiserlautern yang sedang pesakitan. Klub ini terkena degradasi ke divisi II Liga Jerman pada musim 1996/1997.
Dengan segala kesederhanaannya, Kaiserslautern benar-benar sebuah rumah bagi Rehhagel. Di tengah segala pertanyaan, kenapa ia memilih melatih klub pesakitan yang sedang terdegradasi padahal sebelumnya ia meneken kontrak dengan klub raksasa, Rehhagel punya prinsip sendiri yang mampu menjawab semua pertanyaan itu.
Di matanya, “Munchen terlalu banyak otoritas. 70.000 penonton di stadion mempunyai komando di sakunya. Satu-satunya yang tidak punya komando hanya wasit.” Sementara, “Saya suka tantangan. Kaiserslautern penuh dengan tantangan. Saya melihat Kaiserslautern mempunyai prospek.”
Perjalanan Otto Rehhagel menjadi contoh satu dari sekian siklus hidup manusia, kita mengalir kepada ceruk pemberi kenyamanan dalam hidup ini, bukan ceruk kemegahan.
Mungkin karena traumanya menukangi klub raksasa bak juragan kaya yang semena-mena, Rehhaghel pun mengeluarkan statement setengah wasiat kepada para pemain untuk berkarir di dalam klub yang memberinya kenyamanan, bukan klub yang memberinya kemegahan. Dalam konteks kali ini, kenyamanan nomor satu baru kemudian kemegahan. Prestasi yang datang tanpa adanya kenyamanan, perlahan-lahan menjadi tumor ganas yang suatu saat menghancurkan karir pelakunya.

Kenyamanan mampu melahirkan komunikasi batin dalam diri seseorang. Komunikasi intim antara dirinya dengan hidupnya sendiri. Ruang-ruang tafakkur untuk melejitkan level hidup yang sedang kita alami, lahir setelah muncul rasa nyaman. Rehhagel hanya pencari kenyamanan, bukan pecundang yang sembunyi di balik zona aman (comfort zone). Sebab rasa nyaman menjadi pupuk awal suburnya prestasi yang kita bisa kita raih.
“Baru jika ia merasa aman seperti dalam keluarga, ia akan menunjukkan prestasi luar biasa,” tegas Rehhagel, menceritakan perjalanan karir Miroslav Kadlec, salah satu pemainnya di Kaiserslautern yang menurutnya melejit pasca menemukan ‘rumah’ dalam hidupnya.
Menemukan ‘rumah’ di setiap bumi baru yang kita pijaki adalah harga mati. Kalau tidak percaya, Diego Forlan bisa menjawabnya. Forlan salah satu pembeli kemegahan tanpa memikirkan kenyamanan. Ia pun terserang 'Tumor' yang lahir akibat kemegahan rasa nyaman.
Perjalanan karir Forlan seperti alir sungai menuju lautan besar. Dari klub sederhana menuju klub besar. Mengawali karir senior pada tahun 1997 di Independiente, Forlan sempat mencicipi indahnya lautan luas ketika direkrut Manchester United. Namun rumah sejatinya bukan di daratan Negeri Ratu Eliebeth, melainkan Negeri Matador dengan Villareal dan Atletico Madrid yang memberinya kembang karir dalam jagat sepak bolanya. Kembang karir yang lantas kembali layu pasca kedatangannya di Inter Milan. Klub asal kota mode ini tidak memberinya sepetak lahan di mana ia bisa membangun ‘rumah’-nya sendiri. Perasaan tidak dimanusiakan pun muncul.
“Pesan itu jelas. Saya sama sekali tidak diterima di sana,” aku pemain Uruguay yang mengharumkan nama negaranya walau sekadar menjadi negara terbaik keempat di ajang Piala Dunia 2010, mewakili catatan ‘tumor ganas’, dampak hilangnya ‘rumah’ dalam karir Forlan.
***
Dalam hitungan 24 jam, aksi penjajahan tidak pernah berhenti. Perjuangan kita hanya berkutat bagaimana menjadi manusia merdeka; memerdekakan apa yang ada di kepala kita, memerdekakan perasaan yang ada di dalam hati kita, memerdekakan ucapan yang kita tahan cukup lama. Setiap hari, perjuangan kita hanya untuk itu.
Ada penjajah kecil yang mengancam kita bahkan sejak pukul delapan pagi. Otto Rehhagel telah menemukan penjajah-penjajah kecil (namun mengelompok sehingga menjadi besar) dari ulah otoriter yang dilayangkan manajemen klub Bayern Munchen, juga para fans. Diego Forlan menemukan penjajah dalam bentuk perlakuan acuh Ivan Cordoba yang berdiri selaku manajer tim La Beneamata. Mungkin penjajah dalam hidup Anda dalam bentuk kutukan jam kantor yang menggerogoti jatah produktivitas Anda secara pribadi. Mungkin penjajah kecil dalam hidup Anda dalam bentuk sahabat yang tidak bisa melihat temannya melejit secara karir. Mungkin penjajah kecil Anda adalah keluarga Anda sendiri yang terus menghalangi Anda untuk bereksplorasi di bidang seni, dan penjajah-penjajah lainnya. Yang pasti Anda adalah Rehhagel dan Forlan-forlan berikutnya.
Ada lingkungan persahabatan, ada juga lingkungan kerja, ada lagi lingkungan kampus yang menyita waktu-waktu kita setiap hari. Jika ditanya, di antara lingkungan tersebut, mana yang lebih memunculkan banyaknya penjajahan, beranikah kita menjauhinya? Tidakkah prestasi yang dibeli tanpa kenyamanan tidak bedanya Tumor ganas dengan bahaya laten yang justru menggerogoti hidup kita sendiri?
Di antara dua orang yang pernah terjajah tersebut (Otto Rehhagel dan Diego Forlan) kisah move on Rehhagel patut kita jejaki. Ia pencari ‘rumah’ yang akhirnya sukses menemukan tempat idamannya. Pencari ‘rumah’ yang akhirnya menjadi manusia seutuhnya. Dari ‘rumah’ ini, ia menjadi burung yang mampu mengeluarkan kicau terbaiknya.
Selamat mencari ‘rumah’….
Yogyakarta, 20 Mei 2013
Wartawan senior Kompas, Sindhunata menulis tentang Otto Rehhagel dengan sudut pandang yang berbeda. Sindhunata mengkaitkan Rehhagel dengan “Sense of Crisis” pada salah satu artikel dalam buku Air Mata Bola.
Tags:

Written by

Penulis buku, tinggal di Yogyakarta. Twitter: @Naqib_Najah

  • Punya Materi Bagus Tapi Tidak Ada Waktu Menulis!

    Banyak dosen yang tidak mempunyai waktu untuk menulis, padahal, mereka punya materi yang sangat bermanfaat.

  • Saya menulis buku biografi!

    Saat ini buku sudah dilirik sebagai media dokumentasi hidup yang sangat positif. Anda butuh penulisan biografi?

  • Berapa Biaya Hidup di Jogja? (Feature Radio)

    Ini dia pertumbuhan biaya hidup di kota pelajar ini. Pengin tahu lebih lanjut?

  • Jogja Kian Macet! (Esai Foto)

    Januari 2014 lalu saya beserta tim membuat esai foto menyoroti pembangunan hotel dan tingkat kemacetan....

  • Pengin Bikin Iklan Produk dalam Bentuk Video? Murah Kok!

    Iklan dengan bentuk video ternyata terkesan beda. Banyak orang melakukan hal ini, tapi... berapa sih biayanya?

 

Paraqibma Video Project


Layaknya anak-anak seusianya, Akila sering menemukan masalah saat proses belajar. Mulai dari susah diminta mengerjakan PR, hingga kejenuhan dengan sistem belajar.

Apa yang terjadi pada Akila selanjutnya? Simak video iklan berikut: Quamon, mini project by Paraqibma.

Artikel Bisnis


Dizipoint menjadi jembatan antara pebisnis dan pasar online. Selain plaza online, Dizipoint juga menyediakan artikel-artikel bisnis bagi pengunjung.

Saya menulis artikel-artikel bisnis untuk plaza online tersebut. Silakan login di sini untuk membaca artikelnya.

New Aquarich (Coming Soon)

Copyright © New Paraqibma | Designed by Templateism.com