Merdunya kicau burung
bukan karena kualitas suaranya. Melainkan bagaimana ia menemukan kenyamanan,
aman, sehingga ia bisa mengeluarkan suara terbaiknya.
Saya
pernah menulis tentang cara rumah menerapi kita untuk semakin membumi. Tulisan
tersebut saya posting beberapa minggu lalu. Lewat judul Menyentuh Bumi di Rumah Sendiri, saya diingatkan banyak hal
gara-gara rumah. Termasuk adalah kepandaian dia mengingatkan siapa diri kita, ke
mana kita harus melangkah, dan cara rumah memanusiakan penghuninya.
Bagi
Otto Rehhagel, Kaiserslautern memang bukan kota kelahirannya. Ia lahir di Essen. Namun Kaiserslautern, kota yang biasa juga disebut dengan K Town adalah pelabuhan yang nyaman. Kaiserslautern memberinya
kenyamanan. Di kota dengan populasi 99.469 ini ia menemukan ‘rumah’, sebelum
kemudian ia menjadi manusia sebenarnya.
“Otto
datanglah ke sini. Di sini kamu akan menjadi pelatih. Lebih dari itu, kamu akan
menjadi manusia lagi,” demikian seru Juergen Friedrich. Sahabat yang sekaligus
menjabat komisaris klub sepak bola setempat ini menelepon Rehhagel pasca episode
jahatnya majikan kaya yang
ditunjukkan manajemen Bayern Munchen. Raksasa Jerman telah memecat Rehhagel
dari kursi kepelatihan. Lalu Friedrich datang meminta Rehhagel untuk melatih
Kaiserlautern yang sedang pesakitan. Klub ini terkena degradasi ke divisi II
Liga Jerman pada musim 1996/1997.
Dengan
segala kesederhanaannya, Kaiserslautern benar-benar sebuah rumah bagi Rehhagel.
Di tengah segala pertanyaan, kenapa ia memilih melatih klub pesakitan yang sedang
terdegradasi padahal sebelumnya ia meneken kontrak dengan klub raksasa,
Rehhagel punya prinsip sendiri yang mampu menjawab semua pertanyaan itu.
Di
matanya, “Munchen terlalu banyak otoritas. 70.000 penonton di stadion mempunyai
komando di sakunya. Satu-satunya yang tidak punya komando hanya wasit.”
Sementara, “Saya suka tantangan. Kaiserslautern penuh dengan tantangan. Saya
melihat Kaiserslautern mempunyai prospek.”
Perjalanan
Otto Rehhagel menjadi contoh satu dari sekian siklus hidup manusia, kita
mengalir kepada ceruk pemberi kenyamanan dalam hidup ini, bukan ceruk
kemegahan.
Mungkin karena traumanya menukangi klub raksasa bak
juragan kaya yang semena-mena, Rehhaghel pun mengeluarkan statement setengah
wasiat kepada para pemain untuk berkarir di dalam klub yang memberinya
kenyamanan, bukan klub yang memberinya kemegahan. Dalam konteks kali ini,
kenyamanan nomor satu baru kemudian kemegahan. Prestasi yang datang tanpa adanya
kenyamanan, perlahan-lahan menjadi tumor ganas yang suatu saat menghancurkan
karir pelakunya.
Kenyamanan mampu melahirkan komunikasi batin dalam
diri seseorang. Komunikasi intim antara dirinya dengan hidupnya
sendiri. Ruang-ruang tafakkur untuk
melejitkan level hidup yang sedang kita alami, lahir setelah muncul rasa nyaman. Rehhagel hanya pencari kenyamanan, bukan pecundang yang sembunyi di balik zona aman (comfort zone). Sebab rasa nyaman menjadi pupuk awal suburnya prestasi yang kita bisa kita raih.
“Baru jika ia merasa aman seperti dalam keluarga, ia
akan menunjukkan prestasi luar biasa,” tegas Rehhagel, menceritakan perjalanan karir
Miroslav Kadlec, salah satu pemainnya di Kaiserslautern yang menurutnya melejit
pasca menemukan ‘rumah’ dalam hidupnya.
Menemukan ‘rumah’ di setiap bumi baru
yang kita pijaki adalah harga mati. Kalau tidak percaya, Diego Forlan bisa
menjawabnya. Forlan salah satu pembeli kemegahan tanpa
memikirkan kenyamanan. Ia pun terserang 'Tumor' yang lahir akibat kemegahan rasa nyaman.
Perjalanan karir Forlan seperti alir sungai menuju
lautan besar. Dari klub sederhana menuju klub besar. Mengawali karir senior
pada tahun 1997 di Independiente, Forlan sempat mencicipi indahnya lautan luas
ketika direkrut Manchester United. Namun rumah sejatinya bukan di daratan
Negeri Ratu Eliebeth, melainkan Negeri Matador dengan Villareal dan Atletico
Madrid yang memberinya kembang karir dalam jagat sepak bolanya. Kembang karir
yang lantas kembali layu pasca kedatangannya di Inter Milan. Klub asal kota
mode ini tidak memberinya sepetak lahan di mana ia bisa membangun ‘rumah’-nya
sendiri. Perasaan tidak dimanusiakan pun muncul.
“Pesan
itu jelas. Saya sama sekali tidak diterima di sana,” aku pemain Uruguay yang
mengharumkan nama negaranya walau sekadar menjadi negara terbaik keempat di
ajang Piala Dunia 2010, mewakili catatan ‘tumor ganas’, dampak hilangnya ‘rumah’
dalam karir Forlan.
***
Dalam hitungan 24 jam, aksi penjajahan tidak pernah
berhenti. Perjuangan kita hanya berkutat bagaimana menjadi manusia merdeka;
memerdekakan apa yang ada di kepala kita, memerdekakan perasaan yang ada di
dalam hati kita, memerdekakan ucapan yang kita tahan cukup lama. Setiap hari,
perjuangan kita hanya untuk itu.
Ada penjajah kecil yang mengancam kita bahkan sejak pukul
delapan pagi. Otto Rehhagel telah menemukan penjajah-penjajah kecil (namun
mengelompok sehingga menjadi besar) dari ulah otoriter yang dilayangkan
manajemen klub Bayern Munchen, juga para fans. Diego Forlan menemukan penjajah
dalam bentuk perlakuan acuh Ivan Cordoba yang berdiri selaku manajer tim La Beneamata. Mungkin penjajah dalam hidup Anda dalam bentuk kutukan jam kantor yang
menggerogoti jatah produktivitas Anda secara pribadi. Mungkin penjajah kecil
dalam hidup Anda dalam bentuk sahabat yang tidak bisa melihat temannya melejit
secara karir. Mungkin penjajah kecil Anda adalah keluarga Anda sendiri yang
terus menghalangi Anda untuk bereksplorasi di bidang seni, dan
penjajah-penjajah lainnya. Yang pasti Anda adalah Rehhagel dan Forlan-forlan
berikutnya.
Ada lingkungan
persahabatan, ada juga lingkungan kerja, ada lagi lingkungan kampus yang
menyita waktu-waktu kita setiap hari. Jika ditanya, di antara lingkungan
tersebut, mana yang lebih memunculkan banyaknya penjajahan, beranikah kita
menjauhinya? Tidakkah prestasi yang dibeli tanpa kenyamanan tidak bedanya Tumor
ganas dengan bahaya laten yang justru menggerogoti hidup kita sendiri?
Di antara
dua orang yang pernah terjajah tersebut (Otto Rehhagel dan Diego Forlan) kisah move on Rehhagel patut kita jejaki. Ia pencari
‘rumah’ yang akhirnya sukses menemukan tempat idamannya. Pencari ‘rumah’ yang
akhirnya menjadi manusia seutuhnya. Dari ‘rumah’ ini, ia menjadi burung yang
mampu mengeluarkan kicau terbaiknya.
Selamat
mencari ‘rumah’….
Yogyakarta, 20 Mei 2013
Wartawan
senior Kompas, Sindhunata menulis tentang Otto Rehhagel dengan sudut pandang
yang berbeda. Sindhunata mengkaitkan Rehhagel dengan “Sense of Crisis” pada
salah satu artikel dalam buku Air
Mata Bola.