(Dalam kategori Valuekolis, dengan label Anak Matahari, saya memosting beberapa cerita antara saya dan anak saya. Kenyataannya saya belum beristri, namun cerita yang saya tabung ini suatu saat akan bermanfaat bagi saya dan bayi saya sesungguhnya. Untuk kesempatan perdana, saya menulis percakapan antara saya dan anak saya. Hal demikian terjadi ketika dalam perjalanan menuju Karimunjawa, tepat di lantai atas kapal Ekspres Santika.)
Bukan angin yang
mendadak mengingatkanku kepadamu, Nak. Namun tiupan kencang yang Bapak rasakan
dari atas kapal ini, menjulur-julur rambut Bapak yang lima centi, menerbangkan jaket yang baru Bapak beli, memang semakin menguatkan ikatakan antara aku dan
kamu. Namun lagi-lagi bukan angin yang mendadak mengingatkanku kepadamu, Nak.
Bukan! Sebab segala tentang anak, kamu, sangat melekat di pikiran Bapak,
menyusup di tengah sepi, mengendarai imajinasi Bapak, tanpa bantuan angin.
Durasi dua jam, dengan terpaan angin laut, Bapak sedang
menuju Karimunjawa. Durasi yang cukup
untuk berbagi cerita denganmu.
Semula Bapak ingin bercerita tentang 15 Ekor Kucing dan Seremoni Makan Malam di Pelabuhan. 15 ekor kucing yang
lahir dari ibu yang sama, namun mempunyai kecenderungan makan malam berbeda.
Namun
cerita seperti itu tidak cocok untuk siang harimu yang terlalu sengat. Di tengah
terik matahari ini, Bapak melihatmu meloncat-loncat, begitu semangat. Layaknya anak yang
sedang menerka arah jatuhnya layang-layang. Dan siang ini, kamu memang sedang menangkap 'layang-layang' yang ada di pikiranmu. Mempertanyakan beberapa hal, yang janggal, setelah kamu lihat keadaan di sekitar.
Mula-mula, ketika kamu melihat seorang laki-laki gemuk
meminum sebotol air mineral yang ia selipkan di tas kecilnya—Ia meminumnya
hampir setiap mengecilnya sebatang rokok dari tangannya—kamu bertanya:
"Apa minuman terbaik untukku, Bapak?" tanyamu.
Barangkali kamu
bingung, sebab di samping kananmu terdapat lelaki gemuk dengan air mineralnya,
sementara di sisi kiri dan depanmu, ada anak kecil yang menenteng sekotak teh,
dan sepasang kekasih yang menikmati segelas kopi.
Antara air putih, teh, dan kopi, Bapak sendiri menyukai air putih. Namun Bapak tidak akan
menjawab, “Minumlah air putih.” Tidak sesingkat itu, Nak Maka jawab Bapak atas
pertanyaan mana minuman terbaik itu? adalah
dengan sepenggal kalimat berikut:
"Nak, air putih menyederhanakanmu, kopi mendewasakanmu,
sementara teh melegakan setiap penatmu."
Untuk pertanyaan pertama ini, Bapak lihat kamu
manggut-manggut saja. Semoga ketika dewasa nanti, kamu bisa menyempurnakan
jawaban itu jauh lebih bijak. Sebab kebijakan selalu mengikuti zaman, sementara
Bapak kurang tahu bagaimana zamanmu kelak.
Nak, ini adalah hari menyenangkan. Kembali, karena
perjalanan ini adalah proses menyentuh kenyataan. Sehingga Bapakmu mempunyai
cerita, menabung pengalaman hidup, setidaknya akan menjadikan Bapakmu yang kaya akan kisah.
Mendengar tentang hari,
kamu menangkap satu 'layang-layang' lagi. Kamu meloncat, menerkam layang-layang
pikirmu, lalu bertanya:
"Apa yang dinamakan hari terbaik?" tanyamu.
Jawab Bapak, "Ketika impian datang yang membuatmu
bertemu seribu hari lebih panjang.”
Kenyataannya mimpi memang estafet, dari
nyawa satu ke nyawa berikutnya, berikutnya lagi, dan seterusnya. Sehingga ‘nyawa’
yang kemarin hari sudah setengah tenaga, tergantikan lagi dengan ‘nyawa’ baru,
mimpi penyebabnya. Di saat seperti inilah kamu menemukan hari-hari terbaik. Semoga
mimpimu tak pernah padam, pesan Bapak, klise, layaknya Bapak-bapak lainnya.
Sudut-sudut kapal ini dipenuhi alat penyelamat. Di
bagian atas, di samping tempatmu berdiri, ada sekoci kecil, bila kecelakaan
mendera, ia bisa menjadi alternatif penyelamatan penumpang. Di tangga sebelum
kita naik ke lantai dua, beberapa tabung dan pelampung bertengger di dinding
kapal. Hidup memang butuh senjata, penyelamat, pengusir celaka di tengah
celaka. Kamu pun bertanya, ini layang-layang ketiga yang kamu tangkap, Bapak
mendengar pertanyaanmu.
"Apakah Bapak punya pedang, benda tajam, yang bisa
menyelamatkan Bapak?" tanyamu.
Bapak tidak pandai memainkan benda tajam. Bapak bukan
anggota Kung Fu, juga bukan ahli bela diri. Namun jawab Bapak, "Pedang?
Nak, kadang ada yang lebih tajam dari benda tersebut. Mulut namanya. Ia mampu
melibas lawan, namun juga mampu membunuh pemiliknya sendiri. Oleh karenanya,
jika harus menyelamatkan hidup, Bapak terlebih dahulu menyelamatkan mulut
Bapak. Sebaliknya, jika Bapak harus menyerang lawan, mulut Bapak juga yang akan
menjadi senjatanya.”
Jawaban Bapak terlalu panjang. Aku lihat kamu memainkan
lidah saja. Kedua matamu sayu. Bingung? Mungkin saja. Sebagai penghibur, Bapak
bercerita sebentar tentang Richard Parker. Sesungguhnya ia bukanlah manusia.
Namun adalah nama dari Harimau milik Pi Patel. Saat kapal Pi mengalami musibah di tengah laut, Pi menjalani 227
hari di atas sekoci kecil dengan Richard Parker. Ia harimau yang tidak tahu
arti setia. Meninggalkan Pi begitu saja di saat keduanya sudah menemukan daratan.
“Harimau?” tanyamu kaget. Iya, Harimau, Nak. Binatang
yang terkenal kuat, pemangsa hebat. Lanjutmu, “Lalu lebih hebat mana antara
Kera dan Harimau, Bapak?”
Pertanyaanmu sedikit menyimpang dari cerita Bapak. Namun
tugas Bapak untuk menjadi penjawab yang baik. Maka inilah kalimat Bapak
untukmu, Nak, tentang pemangsa, tentang orang-orang kuat.
"Nak, daripada Harimau atau Kera, Bapak lebih memilih Burung. Dia memang bukan pemangsa. Namun sebagaimana
Kera dan Harimau, Burung tetap mempunyai kebiasaan berebut makanan. Namun
lihatlah, sekali pun berebut, Burung tetap menunjukkan keanggunannya. Cara
mereka mematuk, mengepakkan sayap, mengebiri lawannya.”
Jika
harus bertarung dalam hidup ini, Bapak anjurkan, tetaplah menjaga keanggunan.
Anggun berarti bertarung dengan cara yang elegan, pesan Bapak.
"Lalu bagaimana cara diam yangg baik? Apakah diam
yang baik itu seperti lelaki gemuk yang dari tadi menghisap rokok tanpa
sepotong kalimat ini?" tanyamu, melirik lelaki di samping kananmu.
Sepertinya kamu tidak terganggu dengan gaya diamnya, melainkan asap rokok dan
abu yang mengenai bajumu, baju warna biru, dengan gambar teleskop, bertuliskan,
“Lihatlah dunia lebih luas.”
Jawabku untuk ‘layang-layang’ kelima yang kamu terbangkan
ini:
"Nak, diamlah seperti danau. Bicaralah seperti matahari.
Lalu trsenyumlah seperti subuh."
Lalu laju kapal semakin pelan. Lelaki gemuk di sampingmu
membuang putung rokok, menginjaknya. Beberapa langkah penumpang terdengar,
bunyi bata sepatu membentur baja. Kapal menepi, Karimunjawa sudah dekat,
orang-orang bersiap turun. Bapak pun melangkah. Langkah yang pelan, Bapak
selalu tertinggal.
Tanyamu mengenai cara melangkah.
“Bagaimana aku harus berjalan di dunia ini?”
Jawab Bapak sambil membopong tas ransel, setengah
membungkuk, sekaligus penutup komunikasi kita.
"Nak, berjalanlah paling depan. Lakukan hal demikian
jika memang kamu mempunyai arah yg bermanfaat untuk lainnya. Lalu berjalanlah
paling belakang jika memang jejak mereka yang di depan mampu mendewasakan
pengetahuanmu."
Angin sudah tidak lagi segersang beberapa menit lalu,
Nak. Angin semakin pelan, langkah kami tertambat di pelabuhan. Seperti
kata Bapak sebelumnya, bukan angin kencang yang mendadak mengingatkan Bapak
denganmu. Maka entah itu pelan atau kencang, Bapak dan kamu adalah senyawa,
saling mengingatkan.
Aku adalah Bapak yang terus kamu ingatkan untuk rajin memperjuangkan
hidup. Meraih pengetahuan, menjelajah yang belum diketahui. Katamu, “Supaya
kelak nanti aku peroleh cerita banyak darimu.”
Dan aku sulit membahasakanmu, Nak. Apakah kamu anak paling
beruntung sebab mempunyai Bapak sepertiku, atau sebaliknya. Bapak hari ini
memang bukan Bapak terbaik. Namun sejauh engkau dilahirkan, Bapak akan menjadi
penjawab terbaik, penangkap layang-layang yang senantiasa terbang dari
pikiranmu.
Bila ada kesempatan, bertanyalah.
Terbangkan layang-layangmu lagi, Bapak akan menangkapnya.
Karimunjawa, Jumat 29
Maret 2013
Di akun Twitter @naqib_najah, saya mentwit beberapa kutipan pertanyaan antara Bapak dan anak. Beberapa di antaranya sebagaimana berikut:
- "Kapan aku blh makan dg tangan
kiri?" tanyanya. Jwbku, "Nak, tngn kiri digunakan ketika tangan kanan
tdk sebaik citra yg orang katakan."
-
"Apa mainan terbaik?" tnyany.
Jwbku, "Nak, tidak ada mainan terbaik melebihi putaran dunia ini sndiri.
Mainkanlah, hingga kamu benar2 suka."
-
"Lalu dg apa aku hrs
menulis?" tanyanya. Jwbku, "Nak, otak adalah pena, hati kertasnya.
Otak menulis hatimu menyimpan. Hapus dg pengethuan."
-
"Di mana aku hrs menulis?"
tnyanya. Jwbku, "Nak, Bapak dan Ibu sdh mewariskan hati. Tulis yg kamu
pikirkan di dalamnya.Bacalah setiap hari."
-
"Apakah aku boleh bermain?"
tanyanya. Jawabku, "Nak,bermainlh. Selagi angin msh mnjadi penyulut
knanganmu, selagi air menjadi cermin hdpmu."