Dapur diam-diam
mengambil alih fungsi utama sebuah rumah. Ruang seukuran 3 X 3 untuk rumah
senilai 600 jutaan ini, memainkan peran sebagai parameter kebersihan. Dapur
adalah proses produksi, di mana tersedia kebersihan di ruang dapur, maka
jaminan bersih di ruang-ruang lainnya pun mengikuti.
Dapur yang menjadi
parameter, dapur yang ada masanya harus dilupakan untuk sementara.
Meng-amnesiakan dapur, menjadi pilihan terbaik atau jika tidak, sulit bagi kita
mencecap kenikmatan di depan mata.
Warung seukuran
persegi empat yang berdiri dengan tenda merah di depan toko besi sudah sering
menjadi langganan banyak orang. Setiap pukul delapan malam, saya, mungkin
termasuk orang yang sering memenuhi gelaran lantai tikarnya. Menunya sederhana,
sambalnya pas di lidah, harganya bersahabat-merakyat.
Sepiring nasi
putih, lalapan timun, gubis dan kemangi yang tersaji bersih, membuat saya
melihatnya sebagai sajian yang tidak perlu menggali banyak pertanyaan. Namun
keasyikan tersebut, tentang sambal bawang yang berdurasi efek empat jam pasca
makan, sampai pada episode perpisahannya.
Cara terbaik untuk menyingkirkan bau dapur: makan keluar, tegas PhyllisDiller, artis dan juga komedian Amerika. Saya pun keluar dan tidak lagi
pengunjung setia warung tersebut. Warung tanpa dapur, namun dua bak air yang
begitu keruh untuk difungsikan mencuci piring dan cara pembuangan sisa makanan
pelanggan, sudah cukup mewakili fungsi sebuah dapur. 'Dapur' itu merusak cita rasa makanan.
Peristiwa resign
dari penikmat warung tempe penyet, memunculkan pertanyaan bagi saya, “Seberapa
penting seseorang harus menelisik sebuah dapur? Seberapa penting orang harus
memegang teleskop untuk melihat apa yang sedang dinikmatinya?”
***
M. Aan Mansyur,
pada tanggal 7 Maret kemarin, memosting tulisan perihal jendela. Ia
menggambarkan bagaimana Matteo Pericoli, seniman dan arsitek asal Milan,
Italia, begitu tergila-gila dengan jendela. Aan menggambarkan tren masyarakat
yang sulit memfungsikan jendela rumah sebagaimana mestinya, sebaliknya, mereka
justru terpaku dengan jendela yang penuh dengan intrik: televisi.
Aan yang
pecinta buku, membenci game online, pada tulisannya berjudul Matteo Pericoli,Defenestraphobia, dan Televisi, mungkin ingin mengajak, kalau pun sudah tidak
bisa lagi memfungsikan jendela rumah sebagaimana mestinya, ada baiknya mencari
jendela yang lebih sarat makna dan manfaat: buku.
Henry Ward Beecher
yang lahir yang hidup di era 1813 hingga 1887 meluncurkan quote, “Buku adalah
jendela.” Di era Henry Ward Beecher, kehadiran buku mungkin benar-benar sebagai
jembatan antara pikiran manusia dan dunia yang lebih luas. Mungkin? Mungkin
saja! Namun bagaimana dengan saat ini?
Saya tidak perlu
membahasnya. Namun adegan Anda mengunjungi Gramedia, menyisir satu
demi satu rak genre buku, lalu pulang dan mengunci kamar untuk menikmati tiap
lembar buku yang Anda beli, selalu dianggap sebagai adegan yang full edukasi. Persepsi buku sebagai jendela dunia belum berubah.
Jika boleh
dikaitkan, bolehlah saya melakukan juktaposisi: antara adegan menikmati makanan
di warung tempe penyet dan adegan menyusuri halaman-halaman buku. Bolehkah kita
beradegan seperti penikmat makanan yang mempertanyakan, “Bagaimana proses
pembuatannya?" Lalu mempertanyakan simbol jendela dunia pada buku yang sudah melekat berabad ini. Masih relevankan pasca kita melihat dapurnya?
Jogja adalah kota
pendidikan. Berpindidikan! Namun butuh satu tag line lagi untuk kota ini,
yakni, kota industri penerbitan. Seolah produksi gudeg dan bakpia, buku
diproduksi banyak industri, baik dengan skala rumahan
(berkaryawan satu orang yang merangkap pendiri sekaligus editor, layouter, dan
desainer), hingga yang masuk skala kantoran. Sayangnya, label ini menyimpan
satu kata kurang mengenakkan berikutnya: kota dengan industri penerbitan ‘lumayan berani’
(kalau tidak mau disebut nakal).
Menulis sudah bukan
lagi proses kreatif, melainkan komoditas pemenuhan dompet dan pundi-pundi.
Selagi dalih berselancar di internet masih sah, selagi itu juga fleksibelitas
rumah dan agen-agen naskah tetap terjaga. Felksibel dalam mengerjakan berbagai
macam genre, fleksibel dalam menerima order tanpa melihat bidang yang dikuasai,
fleksibel dalam memberikan fatwa tanpa menelisik sejauh mana kompetensi.
Ketika buku adalah
jendela, ketika itu juga buku seolah kitab suci; menjadi sumber refrensi,
rujukan, anutan. Dalam beberapa buku agama, ketika penulis hanya bermodal skill
pengolahan outline dan gaya bahasa (tanpa backround agama yang mumpuni), proses
pembuatan dan penaruhan dalih pun cukup berpegang pada apa yang ia lihat di
internet saja.
Maka sangat disayangkan, predikat "sebagai refrensi" itu ternyata diolah pembuatnya dengan cara yang sangat sederhana. Ekspektasi dan kepercayaan pembaca yang mendalam tidak sedalam proses kreatifnya.
***
Seberapa penting seseorang
harus menelisik sebuah dapur? Seberapa penting orang harus memegang teleskop
untuk melihat apa yang sedang dinikmatinya?
Dapur tetaplah
sebuah dapur. Sebagaimana jendela tetaplah sebuah jendela. Dapur sebagai
parameter, sementara jendela adalah hasil ciptaan yang menguntungkan Anda. Maka buku
(yang Anda sebut sebagai jendela) tetaplah lembaran-lembaran halaman yang
memberi Anda nilai saat membacanya, walau tanpa harus melihat sisi ‘dapur’nya.
Toh, sebagaimana
jendela, kita tidak pernah tahu, ada jendela pesanan Anda yang dibuat dari kayu
curian. Ada jendela yang di tengah proses pembuatannya direndam di tengah kali
yang penuh akan tinja. Ada jendela, di tengah proses memahatnya sempat berlumur
darah—lantaran kecelakan kerja pembuatnya. Namun jendela tetap jendela, bukan?
Anda menganggapnya sebagai cara Anda melihat keindahan luar rumah, Anda
menganggapnya lubang pertama antara kekosongan dan keceriaan di luar sana.
Maka jika saya
tidak tahu dapur (bak pencuci piring) warung tempe penyet, barangkali saya
tetap mencicip keindahannya. Lalu kepada Anda, saya doakan untuk tidak pernah
menilik dapur perbukuan atau Anda gagal mencecap buku yang Anda baca.
Amnesia dapur kadang lebih baik demi menikmati hidangan yang kita baca.
Yogyakarta, 25
Maret 2013
Saya memposting tulisan ini pada tema Koper Karir, yang membincangkan
catatan saya mengenai dunia kerja saya, dunia tulis-menulis. Sebagian kenakalan
tersbeut saya dropdown di artikel Dahaga Pengantar Jalan Setengah Sesat. Tidak
semua industry buku buruk, kebanyakannya malah baik. Namun nila setitik bisa
merusak susu sebelangga.