Senin, 25 Maret 2013

Jangan Melihat Dapur Penerbitan, Atau....

Share & Comment
Dapur diam-diam mengambil alih fungsi utama sebuah rumah. Ruang seukuran 3 X 3 untuk rumah senilai 600 jutaan ini, memainkan peran sebagai parameter kebersihan. Dapur adalah proses produksi, di mana tersedia kebersihan di ruang dapur, maka jaminan bersih di ruang-ruang lainnya pun mengikuti.

Dapur yang menjadi parameter, dapur yang ada masanya harus dilupakan untuk sementara. Meng-amnesiakan dapur, menjadi pilihan terbaik atau jika tidak, sulit bagi kita mencecap kenikmatan di depan mata. 

Warung seukuran persegi empat yang berdiri dengan tenda merah di depan toko besi sudah sering menjadi langganan banyak orang. Setiap pukul delapan malam, saya, mungkin termasuk orang yang sering memenuhi gelaran lantai tikarnya. Menunya sederhana, sambalnya pas di lidah, harganya bersahabat-merakyat.

Sepiring nasi putih, lalapan timun, gubis dan kemangi yang tersaji bersih, membuat saya melihatnya sebagai sajian yang tidak perlu menggali banyak pertanyaan. Namun keasyikan tersebut, tentang sambal bawang yang berdurasi efek empat jam pasca makan, sampai pada episode perpisahannya.

Cara terbaik untuk menyingkirkan bau dapur: makan keluar, tegas PhyllisDiller, artis dan juga komedian Amerika. Saya pun keluar dan tidak lagi pengunjung setia warung tersebut. Warung tanpa dapur, namun dua bak air yang begitu keruh untuk difungsikan mencuci piring dan cara pembuangan sisa makanan pelanggan, sudah cukup mewakili fungsi sebuah dapur. 'Dapur' itu merusak cita rasa makanan.

Peristiwa resign dari penikmat warung tempe penyet, memunculkan pertanyaan bagi saya, “Seberapa penting seseorang harus menelisik sebuah dapur? Seberapa penting orang harus memegang teleskop untuk melihat apa yang sedang dinikmatinya?”
***

M. Aan Mansyur, pada tanggal 7 Maret kemarin, memosting tulisan perihal jendela. Ia menggambarkan bagaimana Matteo Pericoli, seniman dan arsitek asal Milan, Italia, begitu tergila-gila dengan jendela. Aan menggambarkan tren masyarakat yang sulit memfungsikan jendela rumah sebagaimana mestinya, sebaliknya, mereka justru terpaku dengan jendela yang penuh dengan intrik: televisi. 

Aan yang pecinta buku, membenci game online, pada tulisannya berjudul Matteo Pericoli,Defenestraphobia, dan Televisi, mungkin ingin mengajak, kalau pun sudah tidak bisa lagi memfungsikan jendela rumah sebagaimana mestinya, ada baiknya mencari jendela yang lebih sarat makna dan manfaat: buku.

Henry Ward Beecher yang lahir yang hidup di era 1813 hingga 1887 meluncurkan quote, “Buku adalah jendela.” Di era Henry Ward Beecher, kehadiran buku mungkin benar-benar sebagai jembatan antara pikiran manusia dan dunia yang lebih luas. Mungkin? Mungkin saja! Namun bagaimana dengan saat ini?

Saya tidak perlu membahasnya. Namun adegan Anda mengunjungi Gramedia, menyisir satu demi satu rak genre buku, lalu pulang dan mengunci kamar untuk menikmati tiap lembar buku yang Anda beli, selalu dianggap sebagai adegan yang full edukasi. Persepsi buku sebagai jendela dunia belum berubah.

Jika boleh dikaitkan, bolehlah saya melakukan juktaposisi: antara adegan menikmati makanan di warung tempe penyet dan adegan menyusuri halaman-halaman buku. Bolehkah kita beradegan seperti penikmat makanan yang mempertanyakan, “Bagaimana proses pembuatannya?" Lalu mempertanyakan simbol jendela dunia pada buku yang sudah melekat berabad ini. Masih relevankan pasca kita melihat dapurnya?

Jogja adalah kota pendidikan. Berpindidikan! Namun butuh satu tag line lagi untuk kota ini, yakni, kota industri penerbitan. Seolah produksi gudeg dan bakpia, buku diproduksi banyak industri, baik dengan skala rumahan (berkaryawan satu orang yang merangkap pendiri sekaligus editor, layouter, dan desainer), hingga yang masuk skala kantoran. Sayangnya, label ini menyimpan satu kata kurang mengenakkan berikutnya: kota dengan industri penerbitan ‘lumayan berani’ (kalau tidak mau disebut nakal).

Menulis sudah bukan lagi proses kreatif, melainkan komoditas pemenuhan dompet dan pundi-pundi. Selagi dalih berselancar di internet masih sah, selagi itu juga fleksibelitas rumah dan agen-agen naskah tetap terjaga. Felksibel dalam mengerjakan berbagai macam genre, fleksibel dalam menerima order tanpa melihat bidang yang dikuasai, fleksibel dalam memberikan fatwa tanpa menelisik sejauh mana kompetensi.

Ketika buku adalah jendela, ketika itu juga buku seolah kitab suci; menjadi sumber refrensi, rujukan, anutan. Dalam beberapa buku agama, ketika penulis hanya bermodal skill pengolahan outline dan gaya bahasa (tanpa backround agama yang mumpuni), proses pembuatan dan penaruhan dalih pun cukup berpegang pada apa yang ia lihat di internet saja. 

Maka sangat disayangkan, predikat "sebagai refrensi" itu ternyata diolah pembuatnya dengan cara yang sangat sederhana. Ekspektasi dan kepercayaan pembaca yang mendalam tidak sedalam proses kreatifnya.
***

Seberapa penting seseorang harus menelisik sebuah dapur? Seberapa penting orang harus memegang teleskop untuk melihat apa yang sedang dinikmatinya?


Dapur tetaplah sebuah dapur. Sebagaimana jendela tetaplah sebuah jendela. Dapur sebagai parameter, sementara jendela adalah hasil ciptaan yang menguntungkan Anda. Maka buku (yang Anda sebut sebagai jendela) tetaplah lembaran-lembaran halaman yang memberi Anda nilai saat membacanya, walau tanpa harus melihat sisi ‘dapur’nya.

Toh, sebagaimana jendela, kita tidak pernah tahu, ada jendela pesanan Anda yang dibuat dari kayu curian. Ada jendela yang di tengah proses pembuatannya direndam di tengah kali yang penuh akan tinja. Ada jendela, di tengah proses memahatnya sempat berlumur darah—lantaran kecelakan kerja pembuatnya. Namun jendela tetap jendela, bukan? Anda menganggapnya sebagai cara Anda melihat keindahan luar rumah, Anda menganggapnya lubang pertama antara kekosongan dan keceriaan di luar sana.  

Maka jika saya tidak tahu dapur (bak pencuci piring) warung tempe penyet, barangkali saya tetap mencicip keindahannya. Lalu kepada Anda, saya doakan untuk tidak pernah menilik dapur perbukuan atau Anda gagal mencecap buku yang Anda baca. 

Amnesia dapur kadang lebih baik demi menikmati hidangan yang kita baca. 

Yogyakarta, 25 Maret 2013


Saya memposting tulisan ini pada tema Koper Karir, yang membincangkan catatan saya mengenai dunia kerja saya, dunia tulis-menulis. Sebagian kenakalan tersbeut saya dropdown di artikel Dahaga Pengantar Jalan Setengah Sesat. Tidak semua industry buku buruk, kebanyakannya malah baik. Namun nila setitik bisa merusak susu sebelangga.




Tags:

Written by

Penulis buku, tinggal di Yogyakarta. Twitter: @Naqib_Najah

  • Punya Materi Bagus Tapi Tidak Ada Waktu Menulis!

    Banyak dosen yang tidak mempunyai waktu untuk menulis, padahal, mereka punya materi yang sangat bermanfaat.

  • Saya menulis buku biografi!

    Saat ini buku sudah dilirik sebagai media dokumentasi hidup yang sangat positif. Anda butuh penulisan biografi?

  • Berapa Biaya Hidup di Jogja? (Feature Radio)

    Ini dia pertumbuhan biaya hidup di kota pelajar ini. Pengin tahu lebih lanjut?

  • Jogja Kian Macet! (Esai Foto)

    Januari 2014 lalu saya beserta tim membuat esai foto menyoroti pembangunan hotel dan tingkat kemacetan....

  • Pengin Bikin Iklan Produk dalam Bentuk Video? Murah Kok!

    Iklan dengan bentuk video ternyata terkesan beda. Banyak orang melakukan hal ini, tapi... berapa sih biayanya?

 

Paraqibma Video Project


Layaknya anak-anak seusianya, Akila sering menemukan masalah saat proses belajar. Mulai dari susah diminta mengerjakan PR, hingga kejenuhan dengan sistem belajar.

Apa yang terjadi pada Akila selanjutnya? Simak video iklan berikut: Quamon, mini project by Paraqibma.

Artikel Bisnis


Dizipoint menjadi jembatan antara pebisnis dan pasar online. Selain plaza online, Dizipoint juga menyediakan artikel-artikel bisnis bagi pengunjung.

Saya menulis artikel-artikel bisnis untuk plaza online tersebut. Silakan login di sini untuk membaca artikelnya.

New Aquarich (Coming Soon)

Copyright © New Paraqibma | Designed by Templateism.com