Jumat, 03 Februari 2012

Tarian Separow dan Tangga Kehidupan

Share & Comment
Kita hanya manusia yang dijalankan, namun juga individu yang diberi hak untuk berkehendak.  

Mari merapat, buatlah lingkaran, kemudian bicarakan apa yang kita impikan. Sebab saat ini saya sedang butuh teman, untuk berbagi segala hal, untuk menceritakan setiap yang pernah saya lalui kemudian katakan “salah” bila memang kenyataannya demikian.

Tiga bulan ini adalah episode kilmaks, di mana impian tentang Jakarta, skenario, dan meningkatnya level kesejahteraan menjadi ancaman dalam hidup saya. Menghantui, menghakimi, menghadirkan titik dilematis yang membuat kepala saya benar-benar capek.

Saya hanya merasa beruntung, ketika Tuhan memberi kesempatan untuk datang ke ISI (Institute Seni Indonesia) Yogyakarta, kemudian nonton pagelaran seni tari "Sepatu Menari, Sakura Yang Abadi", dan di sinilah ajaran hidup itu datang. 

Di antara sekian tarian yang disuguhkan, saya lebih tertarik untuk menunggu Tarian Separow. Bukan karena teman saya, Defiana Dewi yang tampil dalam tarian tersebut, tapi memang saya sudah tercengang terlebih dahulu ketika melihat sinopsis dari tarian tersebut. Tertulis, “Banyak hal yang ingin kita raih dalam hidup ini, tapi hanya separuh yang bisa kita dapat.”


Kalimat tersebut adalah titik penyadaran, supaya kita menurunkan titik egoisme, dalam hal bermimpi sekalipun. Ini bukan dalam rangka mundur dalam meraih cita-cita, atau mengurangi sebagian impian, dan lebih memilih realistis, bukan! Saya tidak mau mengingat kata “realistis” apabila impian sudah ditanam. Lantas kenapa harus merespon sinopsis tarian tersebut?

Ada masanya di mana manusia harus tunduk dengan filter alam, kemudian menikmati bagian sedikit dari sekian bagian yang hendak kita raih. Ada masanya di mana kita harus menemukan kenikmatan dari kalimat “itu saja” kemudian hati kita lebih tenang. 


Tarian Separow memulai pengajarannya kepada saya, ketika gerakan pertamanya: satu orang berada di depan, menatap dengan garang, dan kurang lebih 4 orang lainnya berkerumun di belakang, dilanjutkan dengan gerakan energik, melambangkan bagaimana manusia terbiasa menemukan antusiasme, etos yang tinggi di awal tahapannya dalam meraih mimpi.

Inilah sebuah tangga awal, ketika semangat menggebu-gebu muncul sebagai modal untuk meraih harapan. Tapi kemudian harus jatuh dan memulai kontemplasinya di saat rintangan kita dapat, dan sedikit merasakan keputus asaan. Seperti yang disimbolkan Separow lewat koreografinya 3 menit kemudian, yang mulai lemas, sedikit mendekur, bertafakkur.

Fase ini cukup saya nikmati. Tarian terlihat begitu lambat tapi sangat mengusik emosi batin. Benar-benar sebuah simbol keputus asaan di saat etos yang terjalin di awal-awal kita meraih mimpi, terhalang oleh rintangan.

Saya hanya bisa berharap. Sekaligus berusaha. Saya yang bermimpi tentang kebahagiaan dan kebanggan orang-orang sekitar, tentu akan menyerah juga apabila Tuhan berkata lain. Toh, Tuhan sendiri adalah Maha Fleksibel. Dia Yang Maha Kuasa akan mengikuti kemana hati kita pergi.

Di saat titik kesadaran ini datang, etos kembali lahir, ktia bertempur lagi, bergerak… bergerak… bergerak meraih yang telah diimpikan. Ya, Separow di fase tarian ketiganya membentuk gerakan yang jauh lebih acak-acakan ketimbang gerakan pertama. Seperti ada pertempuran, untuk saling menyikut. Tidak bedanya manusia, di mana rasa ingin saling menjatuhkan kadang muncul di tengah semangat kita meraih masa depan.

Hingga Separow ditutup dengan koreografi menunduk, letih, ada raut ketidak percayaan akan apa yang mereka lihat.

Sebuah penutup yang kontemplatif. Akhir dari setiap usaha yang kita lakukan adalah episode di mana kita meraih apa yang diimpikan, walau tidak semuanya, tapi sedikit itu kadang lebih asyik untuk dinikmati.

Dan hingga hari ini, saya tidak akan menurunkan, mengurangi, atau membuang mimpi yang saya tanam. Tanpa peduli, separuh atau kesleuruhan yang saya raih. Toh, lewat Tarian Separow saya sudah diajarkan, untuk tidak kecewa dengan kata “sedikit”.

Yogyakarta, September 2011

Ketika saya ingin memisahkan kepala menjadi bagian tubuh tersendiri,
dan lebih menghendaki hati sebagai elemen dominan kehidupan.

Thanks to defiana dewi atas suguhan tariannya.
       


<photo id="2" />
Tags:

Written by

Penulis buku, tinggal di Yogyakarta. Twitter: @Naqib_Najah

  • Punya Materi Bagus Tapi Tidak Ada Waktu Menulis!

    Banyak dosen yang tidak mempunyai waktu untuk menulis, padahal, mereka punya materi yang sangat bermanfaat.

  • Saya menulis buku biografi!

    Saat ini buku sudah dilirik sebagai media dokumentasi hidup yang sangat positif. Anda butuh penulisan biografi?

  • Berapa Biaya Hidup di Jogja? (Feature Radio)

    Ini dia pertumbuhan biaya hidup di kota pelajar ini. Pengin tahu lebih lanjut?

  • Jogja Kian Macet! (Esai Foto)

    Januari 2014 lalu saya beserta tim membuat esai foto menyoroti pembangunan hotel dan tingkat kemacetan....

  • Pengin Bikin Iklan Produk dalam Bentuk Video? Murah Kok!

    Iklan dengan bentuk video ternyata terkesan beda. Banyak orang melakukan hal ini, tapi... berapa sih biayanya?

 

Paraqibma Video Project


Layaknya anak-anak seusianya, Akila sering menemukan masalah saat proses belajar. Mulai dari susah diminta mengerjakan PR, hingga kejenuhan dengan sistem belajar.

Apa yang terjadi pada Akila selanjutnya? Simak video iklan berikut: Quamon, mini project by Paraqibma.

Artikel Bisnis


Dizipoint menjadi jembatan antara pebisnis dan pasar online. Selain plaza online, Dizipoint juga menyediakan artikel-artikel bisnis bagi pengunjung.

Saya menulis artikel-artikel bisnis untuk plaza online tersebut. Silakan login di sini untuk membaca artikelnya.

New Aquarich (Coming Soon)

Copyright © New Paraqibma | Designed by Templateism.com