Tidak ada hukuman terberat, kami hanya butuh menguatkan tulang. Kami para pelari, semoga menjaga tongkat estafet hingga finish.
Saya menyukai hidup ini, merasa nyaman atas segala bentuk komunikasi yang Tuhan terapkan. Seperti kenyamanan saya untuk mengingat, lima tahun belakangan adalah episode melelahkan, kami diciptakan untuk berlari, lantas mengemis di mana pohon menjulang di situlah kami rindu berteduh.
Semuanya bermula begitu saja, tanpa perencanaan, kecuali Tuhan sendiri yang sengaja menginginkan kami berada dalam bilik tertentu,—ruang yang sangat menarik, ada perintah mencari ‘manisnya madu’ tapi justru ketika kami begitu alergi dengan sengatan lebah.
Tapi inilah hidup, seperti John Smith yang harus menerima takdirnya untuk lari dari kejaran Mogadorians, menyelamatkan dirinya juga sisa dari sembilan warisan Lorien, justru ketika dia pernah mengatakan, “Ini adalah bagian yang paling aku benci, lari. Tapi ini satu-satunya hal yang nyata dalam hidupku. Sisanya merupakan kebohongan.” (I Am Number Four Movie)
Tidak ada pilihan lagi, Ibu sudah meninggal, tapi estafet masih harus dilanjutkan. Dan ini adalah cerita tentang pelari ketiga, adik saya,
Oktaviana Fajar Arista, yang hari ini mengeluh, “Bapak lagi sakit, Mas. Kalo sampean denger suara nafasnya, mesti nggak tega.”
Pelari ketiga ini memang lebih menemukan rintangannya ketimbang 3 pelari lainnya—kami 4 bersaudara, saya pelari kedua. Adik saya harus menunggu toko ‘bumbu dapur’, satu-satunya warisan keluarga di pasar tradisional kampung halaman, justru ketika dia masih seusia anak kelas 3 SMP. Pada tahap itulah, pin saya sematkan di dadanya, “Pelari penuh ironi.”
Tentu menjadi ironi yang sangat sempurna, ketika dia yang semasa SD suka saya banggakan, ikut pramuka ke sana kemari, rajin, peraih ranking, pengharum nama keluarga, ternyata harus mengalami defleksi juga, setelah sebelumnya mbak saya gugur melanjutkan tumpukan cita-citanya hanya karena kasus Ibu sakit, tidak ada yang menunggu toko warisan, justru ketika sebulan dia diterima di SMA favorit di Lamongan.
Sekali pin sudah disematkan, maka pada hari itu juga, adik saya harus memenuhi kepalanya dengan 4 komponen rumit sebagai berikut: memutar keuangan, mencatat hutang, bersabar meladeni pelanggan, mengasah kekuatan berhitung—atau kalau tidak, pelanggan orang-orang desa itu akan mengeluarkan pidato paginya, “Cepetan mbak, iki loh belanjaanku.”
Adalah tradisi keluarga kami, untuk tidak berhitung menggunakan kalkulator, Ibu sudah mengajarkan, mbak saya pun bisa mengerjakannya: mengkalkulasikan jumlah belanjaan pelanggan cukup dengan kecepatan otak, dan sekarang tinggal adik saya, kenyataannya dia pun bisa melakukan itu. Syukurlah!
SMS dari pelari ketiga itu, tentang kondisi bapak yang lagi sakit, sebenarnya saya tanggapi dengan biasa-biasa saja. Dalam artian, itu hanya sebentuk siklus, hidup ya pasti menemui kondisi badan kurang fit. Itu wajar. Tapi kalimat, “Kalo sampean denger suara nafasnya, mesti nggak tega” ini membuat kepala saya mulai membentuk imajinasinya.
Berikut efek visual yang saya bangun dari kalimat itu: adik di rumah sendirian, menunggui Bapak di ruang Shalat, memerhatikan dengkur nafasnya yang katanya sangat berat itu, dan di tangannya tergenggam hape yang suatu waktu siap sms saya apabila Bapak sudah membaik.
Ruang Shalat itu, memang ruang favorit bagi Bapak saya. Mungkin karena di ruang itu juga, dulu Ibu pernah tidur malam dengan jantung yang katanya sesak, darah tinggi memuncak, kencing manis bergejolak, sebelum paginya dibawa ke rumah sakit dan usailah riwayat hidupnya di ruang ICU.
Sms tersebut masuk, pada hari-hari ketika saya sedang merajut hubungan dengan seorang perempuan, Rabbit Ungu saya memanggilnya, dia perempuan kaya pemikiran, selalu mengumpulkan keeping-keping pertanyaan sebelum kemudian dia rangkai kepingan-kepingan itu membentuk singgasana Tuhan. Saya menyukainya sebab saya menemukan Tuhan di dalamnya.
Semakin saya menyukainya, semakin saya bisa mengerti keadaan adik saya. Keduanya sama-sama perempuan. Ketika Rabbit Ungu pernah bilang capek sebab aktivitas sibuknya saja saya bisa merasakan kepenatannya, maka ketika adik saya Sms seperti itu, saya bisa tau bagaimana kekhawatirannya menjaga Bapak. Bapak yang gendut, yang jarang sakit, tapi sekali sakit selalu membuat kami lebih khawatir ketimbang Ibu yang menjalani hari-harinya dengan kondisi stroke.
Mendadak ingat nasihat Ibu. Ya, sore terakhir sebelum dipindahkannya ke ruang ICU, setelah Ibu memeluk Bapak sambil berucap maaf, Ibu mengeluarkan nasihat “Jaga Rista… Jaga Rista… Rista, Mas… Rista!”
Nasihat yang ditutup dengan adegan dramatis: Ibu koma setelah mengeluarkan kalimat itu.
Awal-awal kematian Ibu, Bapak masih suka berpikir, kenapa harus Rista (adik pelari ketiga ini) yang dititipkan. Bukannya masih ada Aal sebagai anak bungsu yang jauh lebih harus dikhawatirkan? Tapi semuanya terbongkar, ketika tahu tingkat kesulitan rintangan yang dialami pelari ketiga ini: putus sekolah sejak SMP kelas 3, menahan malu ketika teman-teman sebayanya ikut Mamanya belanja ke pasar, ke toko warisan kami, merasakan bangkrut gara-gara hutang, hidup di rumah sendirian (setelah Ibu meninggal, mbak dan adik bungsu berdomisili di Kupang, disusul Bapak yang tinggal di rumah Ibu baru.)
Hem, itulah pelari ketiga, menerima rintangan terlalu dini, membuatnya dewasa sebelum waktunya. Hingga berbagai tekanan tersebut, mengubah karakternya menjadi lebih tertutup, dan pesimistis terhadap pertolongan orang-orang sekitar, termasuk saudara sendiri.
Kembali saya ingat, hari-hari ini saya sedang menjalin hubungan dengan Rabbit Ungu, saya sedang dalam proses menikmati hidup dengan menjaga kebahagiaannya, memerhatikannya. Dan selalu berniat ingin mengajaknya ke sebuah tempat di mana dia tidak pernah membayangkan sebelumnya.Pada level seperti ini, saya jadi ingat adik Rista juga. Saya belum menjadi Mas yang menjaga kebahagiannya. Sejauh ini, saya hanya sekali membelikannya hadiah, yakni kaos Jogja setelah menerima honor Cerpen dari Suara Pembaruan.Saya hanya bisa mendengarnya berkeluh saat saya pulang, tapi itu belum cukup membahagiakannya.
Maka untuk pelari ketiga, pelari yang lebih berkeringat ketimbang pelari lainnya, saya hanya bisa mengatakan, “Suatu saat, Tuhan akan menempatkanmu pada posisi kehidupan yang nyenyak. Tanpa keringat berlebih, kebahagiaan melimpah.”
Dan saya yakin, hal itu tinggal menunggu waktu saja. Ketika bersembumbunyi justru membuat kita tertikam kosong, maka berlari adalah hal yang paling nyata. Dan mencari manis madu itu asyik, Adik, walau sebenarnya kita masih alergi sengatan lebah.
Yogyakarta, 30 Januari 2012
Ketika kami berusaha lari dari masa lalu jahat berbentuk Mogadorians laknat. Sayang Mas Cakep untuk Adik Ndut.
<photo id="2" />