Senin, 06 Februari 2012

Ini Pulau Canduku, Bagaimana Pulau Candumu?

Share & Comment
Ruang itu hanya sulit dilihat orang lain. Tapi tidak kemudian mensahkan mereka untuk memerintahkan kita meninggalkannya. Cukup, kalian hanya punya hak untuk mengatakan: “Aneh!”
Dalih toleransi itu ternyata masih sebatas ucapan bibir, belum terbukti ketika kita mempunyai hal-hal tertentu, semacam dunia tersendiri di mana kita asyik menikmati segala keunikan yang kita bikin. Kita bahagia, bicara sendiri, menemukan hal-hal wujud justru di balik sesuatu yang sublim. Pada taraf ini, orang lain akan mengatakan, “Anda fiktif. Kasihan!” Lalu ejekan muncul sebagai bentuk lanjutan kalimat tersebut.

Sam Goode tidak pernah meminta supaya jalan hidupnya terjadi sedemikian fiktif. Dia hanya mengingat, masa kecilnya dipenuhi dengan pemandangan sang ayah yang terus-terusan bergelut dengan hal-hal aneh: meteor, batu-batu ajaib, makhluk luar angkasa. Lalu Sam Goode mulai percaya, ayahnya adalah orang jenius yang dia kenal. Kepercayaan yang harus dibayar mahal, sebab ketika dewasa—taraf hidup di mana manusia semakin mengikis nilai-nilai fiktif dalam hidupnya—Sam yang menceritakan kejeniusan ayahnya tersebut justru dibalas dengan ejekan, “UFO!”

Sam Goode terpencil, dia dalam batas antara menyukai kejeniusan ayahnya atau hampir mengatakan, “Ayah saya gila!” itu pun kalau tega.

Sodara, saya penyuka fiktif, dalam konteks apa pun. Saya suka berlagak seperti Asa Butterfield dalam The Boy in The Striped Pyjamas yang mengepakkan tangannya, menyusuri hutan, lari dari rumah, lalu berbicara kepada teman-teman sublim yang tidak terlihat.

Setidaknya, selama 23 tahun ini, saya sulit membuang aktivitas rutin saya untuk berlaku seperti dalam sebuah film—ketika film kita namai sebagai karya fiktif maka di dalamnya terdapat nilai-nilai imajinatif yang justru membuat saya diam-diam juga melakukannya.


Saya penyuka fiktif, ternyata memendam satu penyesalan terbesar ketika tahu reptil prasejarah macam dinosaurus sudah tidak ditemukan saat saya lahir. Maka tugas saya adalah, memunculkan Dino-Dino imajinatif, di mana saya berangkat sekolah, maka dia ikut di belakang saya. Ketika saya kecapekan, saya memanggilnya tiga kali, lalu dia datang dan seolah-olah saya jalan sambil menungganginya. Sayang, Dino tidak pernah datang ketika saya sedang terpojok, dipalak, dibuat nangis oleh anak-anak lainnya. “Dino… Anda tidak kalah cemen dengan saya!!!”

Semakin saya dewasa, hobi tersebut masih juga belum hilang. Saya masih suka--seolah--diikuti orang-orang sublim ketika saya jalan gontai penuh masalah. Orang-orang sublim itu, jalan di belakang saya, menghibur. Sulit mengusirnya, tapi biarlah mereka di belakang saya, selagi tidak mencekik leher saya saja—mencekik? Seperti sulit mereka lakukan, sesuatu yang fiktif tidak mempunyai daya bukan?

Menyudahi aktivitas fiktif seperti ini sebenarnya sudah saya idam-idamkan sejak lama. Saya pengin bebas, setidaknya berjalan normal, lalu mulai beradaptasi dengan kehidupan yang sebenarnya. Seperti yang Kakak Perempuan saya katakan….

Ini adalah malam pertama di mana kami akhirnya beradu mulut—seingat saya, terakhir saya beradu mulut terjadi pada lebaran tahun 2009. Kakak Perempuan saya telepon, menyesali publikasi notes Facebook saya dengan judul, “Pelari Ketiga, Adik yang Basah Keringat”. Banyak alasan kenapa dia tidak menyutujui publikasi tulisan itu. Alasan yang tidak perlu diungkap, atau kami akan ricuh kembali.

Ngobrol dengan Kakak Perempuan saya ini memang mengasyikkan. Kami beda background, dia pembela pendapat pribadi yang amat gigih. Cara berpikirnya sistematis, berjalan di atas tumpukan rasio, lebih suka menutup fantasi-fantasi yang mendorong kita untuk senyum semenit tapi kecewa delapan hari. Dia menantang hidup justru dengan sikap acuhnya. Dia mengatakan, pahit itulah hidup. Manis hanya sensasi semenit. Mengecap-ngecapkan lidah untuk rasa manis yang sebentar bisa-bisa membuat kita menimpuk lidah dengan gigitan geraham.

Tentu itu berbeda dengan cara hidup saya. Setiap hari, saya bersahabat dengan angin, saya menyukai pergeseran awan, menikmati senja dengan kepulangan burung-burung ke arah barat. Saya hobi bicara sendiri, bukan tanpa teman, tapi lebih memperdengarkan cerita kepada angin, atau makhluk-makhluk sublim lainnya. Di sinilah, saya menganggap hidup itu manis… manis sekali! Saking manisnya, inilah yang terjadi.

Angin, senja, bentangan awan, julur daun, hujan, saya terlalu mabuk oleh mereka. Semacam candu, teman-teman saya itu menghibur saya terlalu jauh. Seperti keinginan untuk sekadar menepi sebentar di ujung pantai, tapi teman-teman saya itu membawa saya menuju pulau. Di sinilah saya lupa kehidupan. Saya bermain terlalu lama pada pulau tersebut. Lalu ketika ingat rumah saya berdiri di daratan sana, maka di situlah saya menjerit. Berekspresi spontan. Biasanya saya lakukan dengan mendadak senyum sendiri, memegang gagang kacamata—belahan antara bidang lensa kiri dan kanan, atau mendadak loncat dan bicara, “Ahai!!!” (Kalau kalian penikmat film Kera Sakti, aksi saya ini bisa dideskripsikan dengan gerakan meloncat ala Gokong sambil menaruh jari telunjuknya di ujung kepala).

Dan ahai saya telah lalai. Ahai… manis hidup membuat saya terus mendecap lidah, sembari menghitung, “Kapan saya tiba pada daratan sesungguhnya.” Ahai, saya belum bercerita: asyiknya memeluk kosong. 


Yogyakarta, 06 Februari 2011
Dear Rabbit Ungu, we have to keep imagination.

PS: you can visit http://paraqibma.blogspot.com to read my notes.


Tags:

Written by

Penulis buku, tinggal di Yogyakarta. Twitter: @Naqib_Najah

  • Punya Materi Bagus Tapi Tidak Ada Waktu Menulis!

    Banyak dosen yang tidak mempunyai waktu untuk menulis, padahal, mereka punya materi yang sangat bermanfaat.

  • Saya menulis buku biografi!

    Saat ini buku sudah dilirik sebagai media dokumentasi hidup yang sangat positif. Anda butuh penulisan biografi?

  • Berapa Biaya Hidup di Jogja? (Feature Radio)

    Ini dia pertumbuhan biaya hidup di kota pelajar ini. Pengin tahu lebih lanjut?

  • Jogja Kian Macet! (Esai Foto)

    Januari 2014 lalu saya beserta tim membuat esai foto menyoroti pembangunan hotel dan tingkat kemacetan....

  • Pengin Bikin Iklan Produk dalam Bentuk Video? Murah Kok!

    Iklan dengan bentuk video ternyata terkesan beda. Banyak orang melakukan hal ini, tapi... berapa sih biayanya?

 

Paraqibma Video Project


Layaknya anak-anak seusianya, Akila sering menemukan masalah saat proses belajar. Mulai dari susah diminta mengerjakan PR, hingga kejenuhan dengan sistem belajar.

Apa yang terjadi pada Akila selanjutnya? Simak video iklan berikut: Quamon, mini project by Paraqibma.

Artikel Bisnis


Dizipoint menjadi jembatan antara pebisnis dan pasar online. Selain plaza online, Dizipoint juga menyediakan artikel-artikel bisnis bagi pengunjung.

Saya menulis artikel-artikel bisnis untuk plaza online tersebut. Silakan login di sini untuk membaca artikelnya.

New Aquarich (Coming Soon)

Copyright © New Paraqibma | Designed by Templateism.com