Ada masanya kita tidak lagi memercayai waktu dan lebih menggenggam keyakinan pada satu perintah sederhana, “Berjalanlah!”
Semula, lahan itu masih kosong. Tapi mendadak tanpa butuh jeda lama, belukar telah memanjang, ilalang tumbuh, semak-semak berserakan. Kemudian kita akan berucap seolah takjub, ”Sepertinya baru kemarin hari.”
Tujuh hari dalam sepekan itu adalah lingkaran waktu. Putaran yang terus berulang, kita tenggelam di dalamnya. Semakin berputar, maka semakin membentuk pusaran makna, kita telah memakai jatah hidup cukup banyak. Gelisah tumbuh, keluh menjulur-julur, sedih memilin. Putaran waktu menjadi adonan dengan komposisi kurang proporsional antara suka dan derita.
Inilah masa di mana kita mencoba lupa akan waktu. Di tahap inilah, kita menaruh kata ketika, lalu, kemudian, saat itu,pada sampah ingatan. Sebab mengingat masa lalu adalah ancaman, ketika kita belum terlalu puas dengan pencapaian. Seperti yang terjadi saat ini....
***
Sabtu sore, 14 Januari 2012, saya sengaja menaruh jadwal untuk mengunjungi stasiun kereta api. Sejak pagi saya sudah merencanakannya, dan ternyata, Adik laki-laki saya SMS, “Mas… aku arep berangkat ke Jakarta sore iki. Anter stasiun bisa?” Kebetulan.
Kangen dengan rel kereta api, itu yang saya rasakan.Bahwa melihat kerumunan orang dengan segala persiapannya, dengan tampang menyimpan gugup—antara mengkhawatirkan perjalanan dan meninggalkan sanak keluarga—adalah bentuk keasyikan tersendiri. Di sinilah, pada stasiun kereta api, sebuah tahapan awal seseorang sebelum menempuh tujuan yang diinginkan, Tuhan selalu berbisik, dalam bentuk gesekan roda kereta dan besi-besi rel. Gesekan yang dinamis, mendudukkan saya untuk mengingat putaran waktu.
2012 memang bukan angka keramat, tidak juga ancaman. Tapi 2012 ini, apabila diperinci lebih dalam, akan membentuk janji-janji hidup, semacam
deadline, tapi belakangan saya menyebutnya sebentuk penundaan--paradoks pun lahir, deadline yang semestinya memacu untuk selesai saat itu, ternyata menjadi hari-hari yang melegalkan rangkaian alasan.
Di tahun ini, saya masih dalam usia 23, sebelum tanggal 18 Februarinya, saya akan menikmati tambahan satu angka lagi untuk jatah usia saya. Dulu saya menganggapnya, peralihan angka dari 23 ke 24 itu, sebagai prosesi kalkulasi, berapa cita-cita yang mewujud menjadi kenyataan, dan benih-benih mana yang masih terbonsai: belum ada kesempatan untuk berkembang.
Putaran waktu, putaran waktu, putaran waktu…. Kita pernah menyimpan satu kalimat sederhana, tapi begitu mengerikan untuk diingat, tentang memilih kematian daripada menjalani hidup dengan level biasa-biasa saja. Dan saya sendiri yang mengucap kalimat itu, jauh-jauh hari ketika usia masih remaja, ketika masalah-masalah keluarga membenturkan saya akan beberapa kenyataan kurang megenakkan: terlahir dari orang tua yang tidak tebal harta warisnya, besar dengan kondisi Ibu meninggal dan harus menjalani kemandirian, dan adik-adik yang tentu sangat membutuhkan kesuksesan Mas-nya.
Kereta itu telah memulai perjalanannya. Derit rel yang saya suka, terdengar siap mengantar tujuan banyak orang. Dan dari jendela kereta itu, wajah-wajah kuyu memberi sapaan selamat tinggal.
Kereta itu, akan melalui beberapa stasiun sebelum sampai pada tujuan akhirnya. Setiap stasiun adalah tujuan. Dan hidup ini, akan mempertemukan kita dengan banyak pergantian tahun, lalu kita berpikir, tahun manakah yang membuat kita merasa kehilangan, atau mendapatkan.
Pada stasiun 2011, saya memang banyak kehilangan kesempatan. Padahal semestinya, di tahun tersebut, saya mendaratkan impian tentang Jakarta dan scriptwriting, sampai pada tujuannya. Tapi kenyataannya saya masih duduk di dalam gerbong, melihat adegan banyak orang mendaratkan impian-impiannya, sedang saya harus menunggu stasiun berikutnya untuk menurunkan impian-impian tersebut.
Sangat sakit!!! Saya menangis di gerbong itu, sembari mengucapkan selamat bagi teman-teman yang sukses di stasiun tersebut—dengan wajah melas setengah meringis tentunya.
“… dan kita pelajari setiap air mata. Kadang kita pamit pada langit. Kadang kita salami pertemuan. Begitu Tuhan dengan Riuh perjlanan.”
Kalimat di atas adalah kutipan sajak Iyut Fitra. Saya menyelaminya, sebab kenyataannya saya memang sedang pamit dengan langit impian-impian saya, bahwa saya belum berjabat tangan dengan kenyataan akan impian-impian terpendam.
Baik, saya terlanjur naik kereta api, terlanjur hidup. Akan lebih sakit apabila memutuskan menyudahi perjalanan, kita loncat keluar, turun dari lokomotif dengan masa yang belum waktunya. Maka setelah tertundanya Jakarta dan impianScriptwriting itu, saya menghibur diri dengan melongok keluar jendela. Kereta melewati rumah-rumah penduduk, sampai pada hutan belantara, menebas siang, menundukkan malam. Di setiap pergantian pemandangan itu, Tuhan sengaja menghibur diri saya.
Dan saya pun tahu, Tuhan telah menurunkan kaum penggoda dari kalangan Iblis yang siap membius kita pada taraf lalai akut yang luar biasa. Maka sembari menikmati pemandangan tersebut, saya akan tetap siaga, untuk tidak tertidur lelap, hingga kemudian lupa menurunkan impian-impian pada stasiun semestinya.
Inilah 2012, saya harus memilih, menyudahi perjalanan lokomotif, atau melanjutkannya. Inilah 2012, saya masih di lokomtif, dan tidak lagi menengok waktu, tapi lebih memercayai perintah sederhana, “Berjalanlah!” Sebab waktu yang terbuang akan membentuk kesempatan-kesempatan baru apabila kita pandai menikmati perjalanan.
Yogyakarta, 17 Januari 2012.
Jakarta barangkali akan saya ganti dengan tercapainya kesejahteraan hidup berbentuk rumah-rumah dan pasangan hidup.
<photo id="1" />