Jumat, 03 Februari 2012

Kotak Jakarta Saya

Share & Comment
Pada akhirnya, doa itu kita tanam setiap waktu. Tanpa menyadari, ada point yang berbenturan antara satu harapan dengan harapan lainnya.

Membayangkan kenyamanan hidup adalah ketika kita lolos dari kompetisi, kemudian bisa membuktikan, “Saya adalah bagian dari orang-orang yang pantas kalian sebut hebat.” Berawal dari kata sederhana: pembuktian, kita lantas bersedia ngos-ngosan untuk mengejar apa pun, meraih yang diinginkan, hingga batas orang lain percaya, kita ini diciptakan dalam rangka untuk menang, bukan pecundang.

Semua etos tersebut, mendasari saya untuk berdo’a, semoga saya termasuk orang yang benar-benar hidup dengan kompetisi.

Setiap hal di dunia ini memang ajang uji kwalitas. Tapi semuanya menjadi berbeda ketika saya mengakhiri do’a tersebut dengan, “Kompetisi yang bukan sekadar kompetisi. Tapi kompetisi yang penuh kompetensi.” Sebuah tatanan hidup di mana kita dikatakan hebat sebab telah mengalahkan orang hebat, bukan “hebat” sebab memberantas yang biasa.

Dan saya memang dalam taraf pembuktian, bahwa suara saya memang benar-benar lantang bukan karena saya dalam tempurung. Saya akan terus menantang, mencari level seperti yang orang-orang terdekat kehendaki. Sehingga ketika saya awal di Yogyakarta, kemudian bisa survive di kota ini—walau dalam tahap awal harus ngasong Koran di perempatan jalan—diam-diam saya mengidamkan Jakarta. Impian tentang kota metropolitan tersebut, benar-benar saya tabung dari 2008: awal moment saya tinggal di Jogja, sekaligus tahun di mana saya sadar, kota Gudeg ini belum menjadi kota yang bisa saya namakan The Real Competition.

Setiap hari tabungan doa soal Jakarta saya tanam, setiap hari saya berharap, semoga menemukan jembatan seperti ketika saya dimudahkan untuk pergi dari Lamongan ke Yogyakarta. Kemudian kaitan antara Jakarta dan keinginan untuk eksis di dunia scriptwriting menjadi satu paket, yang mudah untuk merebahkan saya lantas berangan-angan, “Kapan ya saya sampai?”

Kembali, keinginan untuk berkompetisi itu mengompori saya supaya terus berdo’a, mengajukan ‘proposal’ soal Jakarta… Jakarta… dan Jakarta. Dan saya tidak mau peduli, seberapa persen keinginan ini mengarah pada kekonyolan, dan seberapa lagi mengarah pada obsesi yang harus dijalani.

Tapi pada Minggu kemarin, siang pukul 11:00 WIB, bertepatan dengan lebaran Adha, atau 3 hari setelah saya resign dari Leutika, saya mendadak tertawa sendiri di tengah-tengah sharing dengan Arisatya Yogaswara (Pimred Media Pressindo Group). Keinginan beliau untuk mendirikan asistensi penulisan, untuk mengajak saya mengeri penerbitan lebih kompleks, mendadak menyadarkan saya, bahwa ada dua doa yang pernah saya panjatkan dan saling berbenturan: 4 tahun silam, saya pernah berdo’a semoga diberi kesempatan untuk mengerti dunia penerbitan lebih dalam.

Maka do’a sepaket Jakarta-Skenario tersebut, dengan keadaan saya seperti ini, yang baru 40% mengerti dunia penerbitan, akan berbenturan dengan doa saya soal penerbitan di atas.

Faktanya saya memang pernah bekerja di Leutika. Lumayan lama, dari tahap merintis karakter penerbitan, hingga menemukan track dari penerbit itu sendiri. Tapi setelah saya cek lebih lanjut, saya telah mendapatkan banyak hal, belajar ini-itu, tapi mengaku masih minim untuk urusan penerbitan secara nasional. Dalam keadaan saya di Leutika, saya cukup jauh meraba, tapi minim untuk mengerti secara detailnya.

Maka pada hari Minggu kemarin, saya kembali mengingat cerita, tentang doa, tentang petani tua. Bahwa setiap harinya kita adalah petani yang menanam ragam biji, mengajukan doa tiada henti, tanpa peduli, apakah esoknya satu biji akarnya akan mematikan tanaman dengan biji yang berbeda di sampingnya. Hingga di keesokannya, kita baru sadar, biji yang tumbuh dan membesar, sama halnya do’a yang diizinkan Tuhan untuk terwujud lebih dulu dari do’a-do’a lainnya.

Dan dalam keadaan sekarang, saya telah menaruh paket doa Jakarta-Skenario saya pada kotak tertentu. Saya akan menjaganya, menyimpannya, merawatnya, dan tidak berniat untuk mematikannya. Dan apabila episode doa pertama saya (soal penerbitan) ini dirasa cukup, saya akan membuka kotak itu kembali, kemudian bersumpah untuk mati-matian mengajukan proposal kepada Tuhan, “Izinkan!”.

Yogyakarta, 08 November 2011
Buku SGA, “Affair, Obrolan Tentang Jakarta” tidak malah menakuti saya untuk membuang kotak tersebut. Justru menguatkan, Jakarta ada di kotak istimewa saya.


Tags:

Written by

Penulis buku, tinggal di Yogyakarta. Twitter: @Naqib_Najah

  • Punya Materi Bagus Tapi Tidak Ada Waktu Menulis!

    Banyak dosen yang tidak mempunyai waktu untuk menulis, padahal, mereka punya materi yang sangat bermanfaat.

  • Saya menulis buku biografi!

    Saat ini buku sudah dilirik sebagai media dokumentasi hidup yang sangat positif. Anda butuh penulisan biografi?

  • Berapa Biaya Hidup di Jogja? (Feature Radio)

    Ini dia pertumbuhan biaya hidup di kota pelajar ini. Pengin tahu lebih lanjut?

  • Jogja Kian Macet! (Esai Foto)

    Januari 2014 lalu saya beserta tim membuat esai foto menyoroti pembangunan hotel dan tingkat kemacetan....

  • Pengin Bikin Iklan Produk dalam Bentuk Video? Murah Kok!

    Iklan dengan bentuk video ternyata terkesan beda. Banyak orang melakukan hal ini, tapi... berapa sih biayanya?

 

Paraqibma Video Project


Layaknya anak-anak seusianya, Akila sering menemukan masalah saat proses belajar. Mulai dari susah diminta mengerjakan PR, hingga kejenuhan dengan sistem belajar.

Apa yang terjadi pada Akila selanjutnya? Simak video iklan berikut: Quamon, mini project by Paraqibma.

Artikel Bisnis


Dizipoint menjadi jembatan antara pebisnis dan pasar online. Selain plaza online, Dizipoint juga menyediakan artikel-artikel bisnis bagi pengunjung.

Saya menulis artikel-artikel bisnis untuk plaza online tersebut. Silakan login di sini untuk membaca artikelnya.

New Aquarich (Coming Soon)

Copyright © New Paraqibma | Designed by Templateism.com