Rabu, 04 November 2015

Ahmad dan Golongan Tidak Sadar Diri

Share & Comment
Ahmad dan Ambar. Image by: teaterkatak.org

Jika ditanya siapa orang paling sakit, tentu beragam jawabannya. Tapi cerita Ahmad memberi penggambaran sendiri, betapa sakitnya menjadi orang yang tidak sadar diri.

Sangat malang nasib Akhmadin Ahmad. Malang bukan karena dia menderita kemiskinan, bodoh, atau berada dalam kasta C di lingkungan sosial. Ahmad, panggilan akrabnya, adalah seorang insinyur. Desain arsitekturnya sudah berbentuk gedung-gedung tinggi di kota besar. Layaknya arstiek, uangnya pun pasti mencukupi.

Akan tetapi, garis hidup Ahmad memang sangat dekat dengan ironi. Di tengah segala kelebihan yang dia punya (arsitek, pembawaan baik dan tidak mau menyakiti orang lain), Ahmad ternyata punya penghalang besar untuk menikmati kebahagiaan.

Penghalang pertama adalah ketidaksadaran diri. Di balik karakter jujurnya terhadap orang lain, Ahmad justru tidak bisa jujur dengan dirinya sendiri. Dia tidak sadar diri, bukan berarti dia sombong atau berkata bohong kepada orang lain. Akan tetapi, ketidaksadaran diri Ahmad terletak pada, ketidakmampuan meraba kelebihan yang dia punya.

Sangat disayangkan, ketika orang sekelas Ahmad yang sudah menjadi arsitek hebat, Ahmad masih menyimpan perasaan minder yang acapkali terlihat dari gesture tubuhnya: kedua tangannya suka melinting ujung baju, sementara gaya bicaranya terpenggal-penggal, seolah tidak yakin dengan yang dia omongkan.

Selain itu, cara berpikirnya lebih mendahulukan rasa takut daripada sikap optimis. Maka Ahmad jauh dengan kebahagiaan, karena rentetan masalah yang lahir dari pikirannya sendiri.
Ahmad dan pesaingnya. Image by: teaterkatak.org
Dia yang berstatus bujang lapuk, sedang berusaha mendekati wanita cantik bernama Ambar. Usahanya ini didukung oleh sahabat karibnya, Yulius Karim. Ahmad butuh perjuangan panjang, sebab di sisi lain, ada tiga lelaki yang kebetulan juga ingin melamar cewek tersebut. Akan tetapi, sekuat apa pun usaha ketiga cowok itu untuk mendekati Ambar, toh, pilihan jatuh juga pada Ahmad.

Status jomblo Ahmad akan segera terhapus. Ambar sudah menerimanya. Tapi apa yang terjadi? Ahmad malah mundur dari pernikahan. Jalan yang sudah terbuka, tertutup lagi. Bukan karena Ambar atau keluarganya, tapi Ahmad sendiri yang menutupnya.

Bayangan akan repotnya pernikahan, ditambah lagi biaya serta komitmen untuk terus membahagiakan istri, Ahmad akhirnya memilih mundur. Ahmad tidak sadar, bahwa sebenarnya dia mampu melakukan itu.

***

Cerita Ahmad di atas ada dalam teater berjudul "Perkawinan" yang dipentaskan oleh Teater Pandora, Jumat (30/10/15) di Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia, Jakarta. Selama kurang lebih satu jam setengah, saya menikmati sekali peran Ahmad dalam lakon teater tersebut.

Di balik kelebihan yang ada dalam dirinya, Ahmad ternyata menyimpan musuh besar, yakni ketidakmampuan Ahmad meraba siapa dia sebenarnya. Saya bisa merasakan menderitanya seorang Ahmad, yang suka membatasi diri dari kebahagiaan hanya karena alasan minder, dll.

Dalam pertunjukan teater, gesture tubuh Ahmad (melinting baju, ngomong tersendat-sendat, tatapan mata yang sering menunduk ke bawah, respons yang spontanitas), adalah bahasa bahwa dia terintimidasi oleh jutaan rasa takut.

Batin saya bertanya, kenapa harus takut Ahmad? Kamu itu arsitek, punya kemampuan, orang baik. Lalu apa yang membuatmu takut?

Melihat Ahmad yang tidak sadar bahwa dirinya hebat, saya teringat dengan pendapat Imam Al Ghazali tentang empat golongan manusia. Pertama, manusia yang pintar dan tahu kalau dirinya pintar; kedua, manusia yang pintar tapi tidak tahu kalau dirinya pintar; ketiga, manusia yang bodoh dan sadar kalau dirinya bodoh; dan terakhir, manusia yang bodoh tapi tidak sadar kalau dirinya bodoh.

Ahmad masuk pada golongan kedua: pintar tapi tidak sadar kalau dirinya pintar. Saya menyebutnya golongan yang penuh dengan ironi. Ketidaksaran bahwa dirinya pintar, membuatnya membatasi dari beberapa kesempatan untuk meraih kebahagiaan. Maka jika ditanya siapa manusia paling sakit, Ahmad dan Ahmad-ahmad lain jawabannya.

Jakarta, 4 November 2015.
Tags:

Written by

Penulis buku, tinggal di Yogyakarta. Twitter: @Naqib_Najah

  • Punya Materi Bagus Tapi Tidak Ada Waktu Menulis!

    Banyak dosen yang tidak mempunyai waktu untuk menulis, padahal, mereka punya materi yang sangat bermanfaat.

  • Saya menulis buku biografi!

    Saat ini buku sudah dilirik sebagai media dokumentasi hidup yang sangat positif. Anda butuh penulisan biografi?

  • Berapa Biaya Hidup di Jogja? (Feature Radio)

    Ini dia pertumbuhan biaya hidup di kota pelajar ini. Pengin tahu lebih lanjut?

  • Jogja Kian Macet! (Esai Foto)

    Januari 2014 lalu saya beserta tim membuat esai foto menyoroti pembangunan hotel dan tingkat kemacetan....

  • Pengin Bikin Iklan Produk dalam Bentuk Video? Murah Kok!

    Iklan dengan bentuk video ternyata terkesan beda. Banyak orang melakukan hal ini, tapi... berapa sih biayanya?

 

Paraqibma Video Project


Layaknya anak-anak seusianya, Akila sering menemukan masalah saat proses belajar. Mulai dari susah diminta mengerjakan PR, hingga kejenuhan dengan sistem belajar.

Apa yang terjadi pada Akila selanjutnya? Simak video iklan berikut: Quamon, mini project by Paraqibma.

Artikel Bisnis


Dizipoint menjadi jembatan antara pebisnis dan pasar online. Selain plaza online, Dizipoint juga menyediakan artikel-artikel bisnis bagi pengunjung.

Saya menulis artikel-artikel bisnis untuk plaza online tersebut. Silakan login di sini untuk membaca artikelnya.

New Aquarich (Coming Soon)

Copyright © New Paraqibma | Designed by Templateism.com