Sekeras apa pun ambisi yang kita tanam, toh akhirnya akan melebur juga. Begitu sulit merobohkan ambisi seseorang, tapi sebesar apa pun, pasti ada titik mentoknya juga.
Saya masih ingat materi workshop yang diberikan salah seorang profesor di hotel Horison, Yogyakarta akhir tahun lalu. Dalam sebuah workshop kewirausahaan, dosen asal salah satu kampus swasta di Jogja itu menayangkan sebuah video animasi sebagai opening salah satu sesi. Diceritakan dalam video tersebut, seekor domba mengeluh kepada kanguru karena kehilangan banyak bulu. Si pemilik domba baru saja mencukur habis bulu domba tersebut. Si domba malu, mungkin juga kedingingan; begitu pentingnya arti bulu bagi hidupnya.
Karena kehilangan bulu, ia sering curhat kepada kanguru. Ia ingin bulunya cepat tumbuh. Untuk menghilangkah kegalauan itu, si kanguru pun meminta domba loncat-loncat terus.
Saran kangguru tidak akan membuat bulu domba cepat tumbuh. Tidak ada kaitan saintis antara loncat-loncat dengan percepatan tumbuhnya bulu. Namun dengan meminta domba untuk loncat-loncat naik turun gunung, domba akan lupa kesedihan yang ada dalam dirinya. Begitu pun, dengan loncat-loncat seperti itu, domba akan mengembalikan hidup pada prinsip "semua akan indah pada waktunya".
Di usia 16 tahun, pria satu ini harus pindah dari Kiev ke California. Ibu dan neneknya termakan dengan "American Dream". Keterbatasan ekonomi membuat mereka menaruh harapan besar terhadap Amerika. Namun kenyataannya, mereka tetap hidup serba terbatas.
Dari menjadi gelandangan, hidup mengharapkan bantuan pemerintah, hingga berada di bawah tekanan ketika ibunya terkna kanker. Di saat yang sama, ia belum menemukan pekerjaan yang menyejahterakan. Apa yang bisa dirasakan dalam kondisi seperti ini, kecuali ambisi besar untuk segera mentas dari penderitaan.
Namun ia tak kunjung menemukan solusi. Hingga akhirnya waktu menjawab segala penderitaannya. Aplikasi bernama WhatsApp diterima masyarakat banyak. Nasib berbalik arah. Itulah nasib Jan Koum. Sebesar apa pun ambisi, tetap berada di bawah kendali "aturan main".
***
Sangat mudah menanam ambisi. Gairah besar untuk "menang" lahir dari segala problem yang sedang kita rasakan. Prinsipnya, selagi masih memungkinkan bertemu masalah, di situlah ambisi akan datang. Tapi permasalahannya bukan di situ. Yang lebih penting lagi adalah, bagaimana mensejajarkan ambisi (sebagai bahan bakar) dan kebijaksaan kita melihat "aturan main".
Paulo Coelho, novelis asal Brazil yang sukses menaklukkan industri perbukuan internasional mengaku tidak bisa berbuat apa-apa dengan nasib. Itu sudah bukan urusannya. Aturan main sudah ada yang mengatur. "Aku bisa mengendalikan takdirku, tapi bukan nasibku. Takdir berarti ada peluang untuk berbelok ke kanan atau ke kiri, tapi nasib adalah jalan satu arah."
Saya pernah membuat artikel "Dalam Lokomotif Tuhan Berbisik" dengan menganalogikan hidup dan perjalanan di atas rel kereta api. Berada di atas kereta, kita harus mengikuti aturan yang sudah ditetapkan. Tidak mungkin meminta kereta api berhenti sewaktu-waktu. Ada masanya, ada tempatnya: kereta api akan tiba pada pukul sekian di stasiun sekian.
Ketika hidup sudah ada aturan mainnya, apa iya, kita masih berusaha menerjangnya? Apa iya, karena tidak sabar duduk di atas kereta api, kita akan turun dari gerbong padahal jarak stasiun tujuan masih sangat jauh. Tidak mengikuti aturan main, ya silakan keluar dari permainan. Sesederhana ini menikmati hidup.
Saya pun demikian. Sudah lama sekali ingin menikmati "laut" (dalam pikiran saya, Jakarta adalah laut, yang luas, yang memberi banyak kemungkinan, yang penuh gelombang namun justru asyik buat berselancar), tapi baru tahun ini saya bisa hidup di kota ini. Kota yang tidak nikmat sama sekali, tapi kota yang mengenyangkan saya. Kenyang secara value, kenyang secara pengalaman.
Sampai batas ini, saya pun semakin paham aturan main. Jika sudah jatuh tempo, Tuhan akan mengerahkan semua sistemnya. Jika belum saatnya, mungkin Tuhan baru merancang sistemnya.
Jakarta, 4 April 2015