Membuat sebuah
brand sangatlah sulit. Orang-orang harus
berlomba untuk mencitrakan produknya. Mulai dari kemasan, rasa, nama
hingga cara menjualnya. Mereka yang bergerak di bidang bisnis tahu akan
hal ini.
Elon Musk, seorang pengusaha sekaligus ahli di bidang teknologi,
menganggap sebuah citra terbentuk oleh persepsi. Bagaimana orang
memandang Anda, itulah yang dinamakan
brand. Sementara persepsi, selalu berkaitan dengan tindakan sehari-hari.
“
Brand hanya sebuah persepsi, dan persepsi akan sesuai
dengan kenyataan dari waktu ke waktu.,” tutur Elon Musk, CEO perusahaan
transportasi luar angkasa, SpaceX.
Sepak bola adalah industri. Para pemain tidak sekadar menjual skill
di atas lapangan hijau. Sebagaimana tuntutan sebuah industri,
brand pun harus dibentuk. Karena
brand inilah, mereka yang hebat akan semakin terlihat hebat, atau sebaliknya, mereka yang hebat akan tergelincir karena
brand yang salah.
Ibrahimovic contoh pemain bola yang paham akan
brand. Ia tahu, bagaimana menjadi ‘penguasa’ di industri sepak bola.
Le Parisien, surat kabar harian Prancis yang terbit sejak
1944 melansir berita terkait kekesalan Rod Fanni terhadap Ibra. Pemain
bertahan Olympique de Marseille ini menyebut Ibra layaknya aktor ulung.
Dalam sebuah wawancara dengan
Le Parisien Jumat, 6 Februari
lalu, Fanni mengungkapkan adanya perubahan karakter dalam diri Ibra. Ia
kini terlihat sangat arogan, padahal, itu bukanlah karakter Ibra
sebenarnya.
“Saya sempat memiliki keinginan untuk meninju Ibrahimovic lebih dari
satu kali. Kami pernah bercakap-cakap menggunakan bahasa Inggris, yang
tidak bisa saya ulangi di publik. Dia memainkan peran dari perilaku
arogannya, dan dia melakukan itu dengan sangat baik,” tutur Fanni.
Perubahan tersebut disengaja. Eks pemain AC Milan itu sedang
memainkan sebuah peran. “Mereka harus memberinya Oscar atas hal itu. Dia
bisa sangat menjengkelkan di lapangan, tapi itu adalah peran yang
sedang dimainkannya,” sambung Fanni.
Berdasarkan bocoran dari Fanni, para pemain PSG pun tahu karakter asli Ibra tidak seperti itu.
Itulah jalan Ibra. Jika merujuk pada pendapat Elon Musk, setiap orang yang membangun
brand, maka ia harus melakukan langkah kolektif.
Brand harus dilakukan dengan proses yang menyeluruh. Sekali arogan, tetaplah arogan.
Setelah peresmian patung lilin dirinya di Museum Grevin, Paris, Ibra
mengeluarkan statement yang bisa jadi menyinggung masyarakat Perancis.
“Misi berikutnya… mengganti menara Eiffel dengan patung diri saya,”
tutur Ibra di hadapan media. Eiffel yang menjadi menara kebanggan
masyarakat Paris, bersiaplah diganti dengan patung pria jangkung ini.
Tidak hanya itu, ia pun mengajak rekan setimnya mogok bicara di depan
wartawan di awal Februari lalu. Ibra menyebut dirinya “bos”.
Sebagaimana tuturnya, “Tidak ada yang bicara, saya bosnya.”
Panditfootball (27/1/15)
pernah melansir sebuah cerita terkait sikap arogansi Ibra.
Kalimat “Siapa kamu?” dengan nada mengucilkan dilontarkan Ibra kepada
pemain St. Etienne, Paul Baysse. Saat itu Baysee memprotes aksi kasar
Ibra kepada pemain lainnya. Namun Ibra justru membalasnya dengan cibiran
yang sangat arogan.
Dalam ilmu Komunikasi, jika Anda pembaca buku Morissan, M.A. Anda
akan mendapati tiga trik komunikasi paling mendasar. Yakni divergensi,
konvergensi dan overakomodasi. Divergensi berarti tidak menyatunya gaya
komunikasi antara dua orang (Anda berbicara gaya yang cepat sementara
lawan bicara berbicara dengan lambat). Konvergensi berarti proses
peleburan bahasa (Anda yang orang Jawa mencoba berbahasa Minang dengan
lawan bicara yang merupakan orang Minang). Sementara overakomodasi
merupakan sikap berlebihan seseorang terhadap lawan bicaranya.
Dalam overakomodasi, terdapat tiga bagian. Salah satunya adalah
dependency overassomodation atau
overakomodasi ketergantungan. Dalam komunikasi ini, seseorang membentuk
dirinya begitu tinggi, seolah-olah lawan bicaranya tidak sebanding
dengan dirinya.
Ibrahimovic adalah pesepakbola yang jago memainkan trik ini. Meskipun
belum pernah meraih gelar pemain terbaik dunia (alih-alih FIFA Ballon
d’Or, masuk tiga besar saja tidak pernah), Ibra tetap sukses membuat
citranya begitu melangit di jagat sepak bola. Dengan gaya komunikasi
overakomodasi, Ibra membuat orang lain bergantung padanya.
Dengarlah apa yang diucapkan Ibra tentang Ligue 1. Menurutnya, “Saya
tidak tahu soal Ligue 1, tapi Ligue 1 pasti mengenal saya.” Ibra
menginginkan publik sepak bola Perancis bergantung padanya, bukan dia
yang tergantung dengan liga satu ini.
Orang-orang yang menerapkan komunikasi seperti ini, tidak serta-merta
melakukan kesalahan. Kita tidak bisa menyalahkan arogansi. Ketika
banyak orang menyebut Russell Crowe, seorang aktor berkebangsaan
Australia, sebagai orang yang sombong, Russell ingin melakukan
klarifikasi.
“Orang menuduh saya menjadi sombong sepanjang waktu. Aku tidak
sombong, aku hanya orang yang fokus,” tutur Russell. Di balik gaya
komunikasi overakomodasi, seseorang mengumpulkan
power untuk dirinya sendiri. Ia membangun kekuatan besar sebagai ‘penguasa’.
Seorang Djibril Cisse yang pernah menjadi bintang di Liverpool,
terkena imbas komunikasi berlebihan ala Ibra ini. “Ia terlalu berlebihan
dan tak punya kerendahan hati. Ia pasti tidak akan menggubris hal ini
karena saya jelas bukanlah siapa-siapa di hadapannya,” ucap Cisse
melontarkan kekesalannya terhadap Ibra.
Sepak bola adalah industri. Ibrahimovic sukses menjalani profesinya di jagat kulit bundar dengan
brand
yang nyata. Sinar Ibra tidak meredup bahkan ketika ia berada di Ligue 1
sekalipun. Citra Ibra dengan gaya arogansinya, membuatnya tetap eksis
meski tidak mampu meraih trofi tertinggi layaknya Cristiano Ronaldo atau
Lionel Messi.
Seperti yang dilakukan Eric Cantona ketika kali pertama datang ke Old
Trafford. Di tahun 1992, ketika ia baru saja didatangkan dari Leeds
United, Alex Ferguson mengajaknya naik ke puncak stadion Old Trafford.
Tanya Fergie, “Apakah kamu cukup besa bermain bagi Manchester United?”
Jawab Cantona dengan nada arogan, “Bagi saya soalnya bukanlah apakah
saya cukup besar bagi Manchester United, melainkan apakah Manchester
United cukup besar bagi saya?”
Arogansi adalah salah satu cara membentuk
brand. Namun jangan sekali-sekali mencobanya. Sebab hanya mereka yang ‘mampu’ yang akan meraih kesuksesan dengan cara ini.
Esai ini juga dimuat di Panditfootball, 18 Februari 2015.