Oleh: Naqib Najah*
Benarkah
sepak bola masih relevan dikatakan sebagai permainan tim? Jawabannya tentu
masih. Hanya saja, Lucas Leiva menemukan ketimpangan dalam sebuah penilaian.
Baginya, sepak bola tidak ubahnya panggung pertunjukan bagi para striker saja.
Kita cenderung melihat hasil akhir daripada makna sebuah perjalanan. Galen
Rowell, seorang fotografer yang juga pendaki ulung melontarkan sebuah
pernyataan menggelitik. Menurutnya, banyak orang yang hanya bisa melihat tapi
tidak mampu memahami. Tuturnya menirukan kalimat seorang pendeta Buddha, "Looking, looking, not seeing."
Untuk mencapai puncak tertinggi, tentu dibutuhkan langkah seribu kaki.
Tidak akan ada pencapaian tanpa proses yang panjang. Akan tetapi, begitu mudah
kita menjatuhkan pandangan pada pencapaian, namun sedikit sulit untuk melirikkan
mata pada proses yang dilalui seseorang.
Galen Rowell lahir tahun 1940 dan meninggal 2002 lalu dalam sebuah
kecelakaan pesawat bersama sang istri, Barbara Cushman. Dia begitu dekat dengan
alam. Berkat hobinya memanjat gunung dan memotret keindahan, Galen tahu persis
bagaimana makna sebuah proses. Dengan memahami, seseorang akan mampu menghargai
sebuah proses. Namun jika hanya sebatas melihat, biasanya akan tergiur
kemegahan di hasil akhir saja.
Sifat dasar manusia memang cenderung melihat yang akhir dan lupa akan
tengahnya. Kita sering melayangkan pujian kepada mereka yang menonjol, tanpa
peduli bahwa ada orang-orang penting yang membuatnya sukses di tahapan tersebut.
“Mereka tidak tahu sih, dia sukses juga gara-gara ada aku
di belakangnya,” demikian kalimat-kalimat sanggahan yang biasa dilayangkan
untuk menolak kesuksesan seseorang. Di balik kesuksesan seseorang, tentu ada
proses panjang atau peran penting orang lain.
Sepak bola adalah olahraga tim. Setelah menuntaskan perlawanan Argentina
pada final Piala Dunia 2014, Philipp
Lahm tidak peduli dengan siapa yang mencetak gol kemenangan. Saat itu, 13 Juli
2014, Jerman bermain secara utuh. Mereka tahu, sepak bola adalah kebersamaan,
bukan aksi individual. Tanpa mengesampingkan peran Mario Gotze yang mencetak
satu-satunya gol di menit ke-113, Lahm lebih melontarkan pujian kepada timnya,
bukan pencetak golnya. "Sulit dipercaya apa yang telah kami capai. Apakah
kami memiliki pemain terbaik itu sama sekali tak penting, kami hanya butuh memiliki
tim terbaik untuk juara."
Bukti bahwa sepak bola adalah permainan tim, juga terjadi pada partai
antara Tim Hindia Belanda dan Hungaria pada Piala Dunia 1938. Hindia Belanda
(atau sekarang disebut Indonesia) dipuji karena olah bola indah yang
diperagakan para pemain depannya. Koran Perancis L’Equipe (edisi 6 Juni 1938) membuat laporan dengan menyebut para
pemain depan Hindia Belanda sangat brilian. “Gaya menggiring bola pemain depan
Tim Hindia Belanda, sungguh brilian…,” tulis L’Equipe. Sayangnya, dribbling pemain depan bukan jaminan
meraih kemenangan.
Lagi-lagi, sepak bola adalah kerja tim. “Tapi pertahanannya amburadul,
karena tak ada penjagaan ketat.” Hasilnya, Hindia Belanda kalah dari Hungaria
dengan skor 6-0. Hindia Belanda gugur, sementara Hungaria melaju hingga partai
final meski akhirnya kalah dari Italia dengan skor 4-2.
Ketika disebut sebagai permaian tim, maka setiap lini mempunyai kinerja
masing-masing. Kelemahan di satu sektor, akan menjadi celah menguntungkan bagi
lawan. Begitu pun, ketajaman di lini depan, tidak lepas dari kepercayaan diri
tim yang terbangun karena kinerja apik para gelandang.
Benarkah sepak bola masih relevan dikatakan sebagai permainan tim?
Jawabannya tentu masih. Hanya saja, Lucas Leiva menemukan ketimpangan dalam
sebuah penilaian. Baginya, sepak bola tidak ubahnya panggung pertunjukan bagi
para striker saja. Mereka yang berdiri di depan mendapat jatah pujian lebih
banyak ketimbang mereka yang ada di belakang. Penonton seolah hanya memberi
penghargaan bagi mereka yang mencetak gol, sementara hanya sedikit rasa
penghormatan bagi mereka yang berjibaku menahan serangan lawan.
Nasib baik memang kurang memihak Lucas di musim ini. Cedera panjang
ditambah kebutuhan strategi pelatih membuatnya sering duduk di bangku cadangan.
Inter Milan mengambil ancang-ancang untuk menculik Lucas yang masih punya
kontrak hingga 2017 bersama The Reds.
Di saat kondisi timnya mulai stabil, banyak orang memberi pujian kepada
Raheem Sterling. Namun sebenarnya, Lucas memegang peranan penting di balik
kebangkitan Liverpool. Jelang pertandingan leg kedua kontra Chelsea di ajang Capital One (28/1/15), Jamie Carragher
memuji eks rekan setimnya sebagai kunci kebangkitan pasukan Anfield.
Dari 10 pertandingan terakhir yang dijalani Liverpool di semua kompetisi,
Lucas tercatat sembilan kali turun sebagai starter.
The Reds tidak meraih kekalahan pada sembilan partai yang diperkuat Lucas.
Mendapat pujian dari Jamie, Lucas justru mencurahkan isi hatinya kepada Mirror (27/1/15). Bahwa suporter sepak
bola kerap mengabaikan peran seorang gelandang. "Gelandang bertahan kadang
memang jarang disebut-sebut," buka Lucas.
Selebihnya, orang-orang
hanya tertuju pada hasil akhir. Mereka yang mencetak gol akan didewakan
meskipun bermain buruk sejak awal. Hal ini adalah penilaian yang ironi di mata
Lucas.
"Penyerang yang main jelek sepanjang laga tiba-tiba bisa jadi pahlawan
karena mencetak gol kemenangan di menit-menit akhir," sambungnya.
Sepak bola memang menyimpan banyak kejanggalan. Ketidakadilan lahir bukan
hanya lewat peluit wasit yang salah dalam menghukum pemain. Lebih dari itu,
hati-hati kecil para gelandang bertahan akan terus menyuarakan, kapan nama mereka akan dielu-elukan melebihi
para penyerang?.
“Sekali lagi memang seperti itulah sepakbola. Saya bukan pemain yang banyak
dibicarakan di luar lapangan, tapi saya tahu apa yang bisa saya berikan untuk
tim. Jika orang-orang tidak terlalu membicarakan saya mungkin itu artinya saya
sedang tampil oke. Pada akhirnya yang terpenting adalah kemenangan tim. Ketika
itu terjadi maka semuanya adalah pemenang."
Barangkali, selama ini kita hanya “melihat”
sepak bola saja. Kita hanya menonton tapi belum mampu “memahami” sepak bola itu
sendiri. Seperti kata Galen Rowell, kita baru looking…
looking… tapi belum mampu masuk pada zona seeing. Sehingga penilaian hanya
tertuju pada siapa pencetak golnya, lalu sedikit abai tentang kecerdasan
gelandang dalam menyeimbangkan sebuah permainan.
*Naqib Najah: penulis
buku, tinggal di Yogyakarta. Aktif jualan “cermin” di paraqibma.blogspot.com.
Twitter: Naqib_Najah.