Selasa, 10 Februari 2015

Selama Bukan Seorang Striker, Janganlah Bermimpi Lebih!

Share & Comment

Oleh: Naqib Najah*
Benarkah sepak bola masih relevan dikatakan sebagai permainan tim? Jawabannya tentu masih. Hanya saja, Lucas Leiva menemukan ketimpangan dalam sebuah penilaian. Baginya, sepak bola tidak ubahnya panggung pertunjukan bagi para striker saja.
Kita cenderung melihat hasil akhir daripada makna sebuah perjalanan. Galen Rowell, seorang fotografer yang juga pendaki ulung melontarkan sebuah pernyataan menggelitik. Menurutnya, banyak orang yang hanya bisa melihat tapi tidak mampu memahami. Tuturnya menirukan kalimat seorang pendeta Buddha, "Looking, looking, not seeing."
Untuk mencapai puncak tertinggi, tentu dibutuhkan langkah seribu kaki. Tidak akan ada pencapaian tanpa proses yang panjang. Akan tetapi, begitu mudah kita menjatuhkan pandangan pada pencapaian, namun sedikit sulit untuk melirikkan mata pada proses yang dilalui seseorang.
Galen Rowell lahir tahun 1940 dan meninggal 2002 lalu dalam sebuah kecelakaan pesawat bersama sang istri, Barbara Cushman. Dia begitu dekat dengan alam. Berkat hobinya memanjat gunung dan memotret keindahan, Galen tahu persis bagaimana makna sebuah proses. Dengan memahami, seseorang akan mampu menghargai sebuah proses. Namun jika hanya sebatas melihat, biasanya akan tergiur kemegahan di hasil akhir saja.
Sifat dasar manusia memang cenderung melihat yang akhir dan lupa akan tengahnya. Kita sering melayangkan pujian kepada mereka yang menonjol, tanpa peduli bahwa ada orang-orang penting yang membuatnya sukses di tahapan tersebut.
 “Mereka tidak tahu sih, dia sukses juga gara-gara ada aku di belakangnya,” demikian kalimat-kalimat sanggahan yang biasa dilayangkan untuk menolak kesuksesan seseorang. Di balik kesuksesan seseorang, tentu ada proses panjang atau peran penting orang lain.
Sepak bola adalah olahraga tim. Setelah menuntaskan perlawanan Argentina pada final Piala Dunia 2014,  Philipp Lahm tidak peduli dengan siapa yang mencetak gol kemenangan. Saat itu, 13 Juli 2014, Jerman bermain secara utuh. Mereka tahu, sepak bola adalah kebersamaan, bukan aksi individual. Tanpa mengesampingkan peran Mario Gotze yang mencetak satu-satunya gol di menit ke-113, Lahm lebih melontarkan pujian kepada timnya, bukan pencetak golnya. "Sulit dipercaya apa yang telah kami capai. Apakah kami memiliki pemain terbaik itu sama sekali tak penting, kami hanya butuh memiliki tim terbaik untuk juara."
Bukti bahwa sepak bola adalah permainan tim, juga terjadi pada partai antara Tim Hindia Belanda dan Hungaria pada Piala Dunia 1938. Hindia Belanda (atau sekarang disebut Indonesia) dipuji karena olah bola indah yang diperagakan para pemain depannya. Koran Perancis L’Equipe (edisi 6 Juni 1938) membuat laporan dengan menyebut para pemain depan Hindia Belanda sangat brilian. “Gaya menggiring bola pemain depan Tim Hindia Belanda, sungguh brilian…,” tulis L’Equipe. Sayangnya, dribbling pemain depan bukan jaminan meraih kemenangan.
Lagi-lagi, sepak bola adalah kerja tim. “Tapi pertahanannya amburadul, karena tak ada penjagaan ketat.” Hasilnya, Hindia Belanda kalah dari Hungaria dengan skor 6-0. Hindia Belanda gugur, sementara Hungaria melaju hingga partai final meski akhirnya kalah dari Italia dengan skor 4-2.
Ketika disebut sebagai permaian tim, maka setiap lini mempunyai kinerja masing-masing. Kelemahan di satu sektor, akan menjadi celah menguntungkan bagi lawan. Begitu pun, ketajaman di lini depan, tidak lepas dari kepercayaan diri tim yang terbangun karena kinerja apik para gelandang.
Benarkah sepak bola masih relevan dikatakan sebagai permainan tim? Jawabannya tentu masih. Hanya saja, Lucas Leiva menemukan ketimpangan dalam sebuah penilaian. Baginya, sepak bola tidak ubahnya panggung pertunjukan bagi para striker saja. Mereka yang berdiri di depan mendapat jatah pujian lebih banyak ketimbang mereka yang ada di belakang. Penonton seolah hanya memberi penghargaan bagi mereka yang mencetak gol, sementara hanya sedikit rasa penghormatan bagi mereka yang berjibaku menahan serangan lawan.
Nasib baik memang kurang memihak Lucas di musim ini. Cedera panjang ditambah kebutuhan strategi pelatih membuatnya sering duduk di bangku cadangan. Inter Milan mengambil ancang-ancang untuk menculik Lucas yang masih punya kontrak hingga 2017 bersama The Reds.
Di saat kondisi timnya mulai stabil, banyak orang memberi pujian kepada Raheem Sterling. Namun sebenarnya, Lucas memegang peranan penting di balik kebangkitan Liverpool. Jelang pertandingan leg kedua kontra Chelsea di ajang Capital One (28/1/15), Jamie Carragher memuji eks rekan setimnya sebagai kunci kebangkitan pasukan Anfield.
Dari 10 pertandingan terakhir yang dijalani Liverpool di semua kompetisi, Lucas tercatat sembilan kali turun sebagai starter. The Reds tidak meraih kekalahan pada sembilan partai yang diperkuat Lucas. Mendapat pujian dari Jamie, Lucas justru mencurahkan isi hatinya kepada Mirror (27/1/15). Bahwa suporter sepak bola kerap mengabaikan peran seorang gelandang. "Gelandang bertahan kadang memang jarang disebut-sebut," buka Lucas. 
Selebihnya, orang-orang hanya tertuju pada hasil akhir. Mereka yang mencetak gol akan didewakan meskipun bermain buruk sejak awal. Hal ini adalah penilaian yang ironi di mata Lucas.
"Penyerang yang main jelek sepanjang laga tiba-tiba bisa jadi pahlawan karena mencetak gol kemenangan di menit-menit akhir," sambungnya.
Sepak bola memang menyimpan banyak kejanggalan. Ketidakadilan lahir bukan hanya lewat peluit wasit yang salah dalam menghukum pemain. Lebih dari itu, hati-hati kecil para gelandang bertahan akan terus menyuarakan, kapan nama mereka akan dielu-elukan melebihi para penyerang?.
“Sekali lagi memang seperti itulah sepakbola. Saya bukan pemain yang banyak dibicarakan di luar lapangan, tapi saya tahu apa yang bisa saya berikan untuk tim. Jika orang-orang tidak terlalu membicarakan saya mungkin itu artinya saya sedang tampil oke. Pada akhirnya yang terpenting adalah kemenangan tim. Ketika itu terjadi maka semuanya adalah pemenang."
Barangkali, selama ini kita hanya “melihat” sepak bola saja. Kita hanya menonton tapi belum mampu “memahami” sepak bola itu sendiri. Seperti kata Galen Rowell, kita baru looking… looking… tapi belum mampu masuk pada zona seeing. Sehingga penilaian hanya tertuju pada siapa pencetak golnya, lalu sedikit abai tentang kecerdasan gelandang dalam menyeimbangkan sebuah permainan.
 
*Naqib Najah: penulis buku, tinggal di Yogyakarta. Aktif jualan “cermin” di paraqibma.blogspot.com. Twitter: Naqib_Najah.
Tags: ,

Written by

Penulis buku, tinggal di Yogyakarta. Twitter: @Naqib_Najah

  • Punya Materi Bagus Tapi Tidak Ada Waktu Menulis!

    Banyak dosen yang tidak mempunyai waktu untuk menulis, padahal, mereka punya materi yang sangat bermanfaat.

  • Saya menulis buku biografi!

    Saat ini buku sudah dilirik sebagai media dokumentasi hidup yang sangat positif. Anda butuh penulisan biografi?

  • Berapa Biaya Hidup di Jogja? (Feature Radio)

    Ini dia pertumbuhan biaya hidup di kota pelajar ini. Pengin tahu lebih lanjut?

  • Jogja Kian Macet! (Esai Foto)

    Januari 2014 lalu saya beserta tim membuat esai foto menyoroti pembangunan hotel dan tingkat kemacetan....

  • Pengin Bikin Iklan Produk dalam Bentuk Video? Murah Kok!

    Iklan dengan bentuk video ternyata terkesan beda. Banyak orang melakukan hal ini, tapi... berapa sih biayanya?

 

Paraqibma Video Project


Layaknya anak-anak seusianya, Akila sering menemukan masalah saat proses belajar. Mulai dari susah diminta mengerjakan PR, hingga kejenuhan dengan sistem belajar.

Apa yang terjadi pada Akila selanjutnya? Simak video iklan berikut: Quamon, mini project by Paraqibma.

Artikel Bisnis


Dizipoint menjadi jembatan antara pebisnis dan pasar online. Selain plaza online, Dizipoint juga menyediakan artikel-artikel bisnis bagi pengunjung.

Saya menulis artikel-artikel bisnis untuk plaza online tersebut. Silakan login di sini untuk membaca artikelnya.

New Aquarich (Coming Soon)

Copyright © New Paraqibma | Designed by Templateism.com