Oleh Naqib Najah
Para
pemain bola tahu, lapangan hijau tidak ubahnya kantor yang sakral bagi mereka.
Sikap memegang peranan penting, atau jika tidak, bersiaplah didepak dari jagat
sepak bola.
Kalimat bernada perintah untuk menjaga sikap sering ditemui di
tempat-tempat sakral. Seseorang diminta menjaga sikapnya saat masuk ke dalam
masjid, gereja, atau pura. Jaga sikap
Anda, demikian bunyi kalimat tersebut.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), kata sakral berarti yang disucikan. Sementara kata suci diartikan sebagai tempat yang tidak bernoda, bebas dari dosa,
dan cela. Lapangan hijau perlahan-lahan tidak sekadar lahan bermain saja.
Tidak sekadar tempat pertemuan antara dua kubu dalam pertandingan bertajuk
sepak bola. Lebih dari itu, lapangan hijau adalah tempat sakral yang tidak
menerima noda dalam bentuk sikap yang negatif atau tindakan tidak fair play.
Lou Holtz, seorang analis sepak bola untuk ESPN, menekankan pentingnya
sikap dalam merespons apa yang terjadi dalam diri kita. Ketika seorang pemain sepak
bola mendapat gangguan dari lawan, maka yang terpenting adalah bagaimana
meresponsnya.
“Hidup
adalah sepuluh persen apa yang terjadi pada Anda dan sembilan puluh persen
bagaimana Anda menanggapinya,” tutur Lou Holtz. Respons yang baik, akan
berdampak pada yang baik pula. Sebaliknya, respons yang buruk akan menjatuhkan
reputasi kita.
Cristiano Ronaldo mungkin lupa akan nasihat Lou Holtz. Dua minggu setelah
penobatannya sebagai pemain terbaik dunia, Ronaldo malah mendapat ganjaran
kartu merah. Bermain di Estadio Nuevo Arcángel, Sabtu (24/1/2015), wasit
mengusir sang mega bintang karena respons buruknya terhadap penjagaan pemain
Cordoba, Edimar. CR7 ditempel ketat Edimar saat Real Madrid mendapat tendangan
bebas. Setengah frustrasi karena kedudukan masih 1-1-, Ronaldo malah menendang
Edimar. Penjagaan ketat direspons Ronaldo dengan sikap yang buruk. Kartu merah
pun diberikan.
Kealpaan juga menimpa dua pemain Atletico Madrid. Gabi dan Arda Turan
mungkin ingin menikam Jesus Gil Manzano yang berdiri
selaku pengadil lapangan saat melawan Barcelona, Kamis (29/1/15). Sudah
kalah 2-3 di babak pertama, Atletico masih harus menerima keputusan ganjil dari
wasit muda berusia 30 tahun itu. Sudah terang-terang tangan Jordi Alba menyentuh bola di area terlarang, wasit tidak
memberikan tendangan penalti untuk tuan rumah. Gabi memprotes wasit berlebihan,
kartu kuning kedua pun dikeluarkan.
Arda Turan juga mengalami kealpaan yang
sama. Merasa terganggu oleh kawalan pemain Barcelona hingga sepatunya copot,
hakim garis yang ada di dekatnya bergeming tidak mengibarkan bendera
pelanggaran. Sepatu yang kadung copot pun dilemparkan kepada sang hakim garis.
Beruntung sang pengadil lapangan hanya memberinya kartu kuning saja.
Jika merujuk pada nasihat Lou Holtz, maka Ronaldo,
Gabi dan Arda Turan sebenarnya sedang lalai. Tidak penting apa yang sedang
menimpa seorang pemain, tapi yang lebih penting bagaimana meresposnya. Jangan
mengarahkan emosi pada aksi lawan, tapi yang terpenting adalah reaksi kita atas
perlakuan lawan tersebut. Lagi-lagi, respons yang baik akan berujung pada
ganjaran yang baik.
Dalam dunia kerja lebih luas, attitude
harus dipegang seseorang baik saat berada di luar lingkungan kerja dan
terlebih di saat sedang bekerja.
Para
pemain bola tahu, lapangan hijau tidak ubahnya kantor yang sakral bagi mereka.
Sikap memegang peranan penting, atau jika tidak, bersiaplah didepak dari jagat
sepak bola karena buruknya sikap.
Joe Girard, seorang pakar di bidang marketing tidak pernah lupa untuk
selalu menjaga sikapnya di saat menawakan barang kepada pelanggan. Ketika dia
bekerja di saat itu juga dia turut
menjual dirinya. Sikap masih satu bagian dari profesionalisme pekerjaan.
Bulan Desember tahun 2013 lalu, F73 Production merilis sebuah film
documenter berjudul Class of 92. Ben
Turner dan Gabe Turner yang berdiri selaku sutradara mengisahkan perjalanan
enam pemain Manchester United yang berperan kuat dalam kesuksesan kota
Manchester ini.
David Beckham, Nicky Butt, Ryan Giggs, Gary Neville, Phil Neville dan Paul Scholes dipuji-puji
sebagai pemain jebolan akademi sepak bola MU yang sukses mengantarkan Setan
Merah meriah trofi Liga Inggris pada musim 1993/1994. Ini adalah trofi Liga
Inggris pertama bagi Sir Alex Ferguson bersama MU.
Di tengah mengkilaunya karir keenam orang tersebut, Eric Horrison selaku
pelatih MU junior saat itu, menuturkan kisah terkait mantan anak-anak asuhnya.
Dia memuji keenam pemain di atas. Mereka sukses hingga level profesional tidak
hanya karena bakat. Lebih dari itu, mereka mempunyai sikap dan loyalitas
terhadap tim.
Eric kecewa ketika salah satu pemain binaannya, Raphael Burke tidak bisa
meroket seperti keenam pemain di atas. Eric tahu, Burke pemain berbakat saat
masih berada di level MU junior. Hanya saja, sikap yang buruk merubah
segalanya.
“Yang paling kusesalkan adalah
Raphael Burke. Dia adalah pemain yang bertalenta. Jika sikapnya bagus ia akan
menjadi pemain lapis pertama,” ucap Eric mengutarakan kekecewaanya.
Dalam film Class of 92, Burke
mengakui secara jujur bahwa kegagalannya dikarenakan buruknya sikap. Dia tidak
bisa berdedikasi layaknya Giggs dkk.
“Kau harus bisa beradaptasi, itulah sepak bola. Aku bertalenta tapi tidak
berdedikasi seperti mereka. Saat orang bertanya seperti apa Becks dan Giggs,
jika kamu ingin seperti mereka, berdedikasilah," aku Burke tentang dirinya
sendiri.
Ancaman lengsernya seseorang dari popularitas lapangan hijau juga
menghampiri Mario Balotelli. Seribu pujian terkait skillnya di lapangan hijau,
ternyata sebanding dengan komentar buruk orang lain terkait sikap si Bengal.
Dari Inter Milan, Balotelli melanjutkan kiprahnya ke Manchester City, Milan
dan kini sedang terseok-seok memperbaiki reputasinya di Liverpool. “Mario
berisiko mengikuti jejak Adriano. Saya berharap bahwa dia bangun suatu pagi dan
menyadari bahwa ia membuang-buang semuanya,” ucap Roberto Mancini.
Tidak hanya Mancini, Mino Raiola selaku agen pun mewanti-wanti pemainnya
supaya memperbaiki sikap. Raiola tahu, skill tidak ada apa-apanya jika seorang
pemain mempunyai sikap yang kacau.
“Mario yang sebenarnya punya kemampuan untuk menjadi yang terbaik di dunia,
namun tidak dengan karakternya. Dan di fase seperti ini, Liverpool merupakan
pelajaran terbaik yang bisa ia dapat. Ia merupakan pemain dengan tipe
sensasional," tegas Raiola tentang Balotelli.
Lapangan hijau adalah tanah yang sakral. Tidak boleh ada noda di wilayah
ini. Kesakralan sepak bola, terbentuk karena kerasnya persaingan dan tingginya
perhatian publik. Maka sudah saatnya kalimat jaga sikap Anda tidak hanya tertera pada tempat-tempat peribadatan,
namun sepak bola pun menuntut sikap bagi para pelakunya.
*Naqib Najah: penulis
buku, tinggal di Yogyakarta. Aktif jualan “cermin” di paraqibma.blogspot.com.
Twitter: Naqib_Najah.
(Artikel yang sama juga diposting di Panditfootball, 2 Februari 2015)