Setiap masa selalu meninggalkan tren. Pemandangan aneh dirasakan Dr. Cooper ketika mendengar guru sekolah anaknya berpendapat, ilmuwan sudah tidak dibutuhkan lagi di masanya (Interstellar 2014). Saat itu, tren dunia lebih membutuhkan petani yang bisa mengentaskan permasalahan pangan.
John Naisbitt memberi banyak penjelasan tentang masa dan sebuah tren.
Megatrends yang terbit tahun 1982 disusul beberapa buku setelahnya menahbiskan John sebagai orang yang konsen di bidang
futures studies. Bahwa setiap masa, memang punya tren masing-masing.
Di desa, kita sempat mengenal tren, "Banyak anak banyak rezeki." Orang desa zaman dulu anaknya banyak. Mbah saya anaknya delapan. Jumlah tujuh anak, delapan anak, hingga sepuluh anak seolah lumrah bagi orang-orang desa.
Tren itu perlahan-lahan berubah. Kampanye KB (Keluarga Berencana) mengubah pandangan masyarakat. Sekarang dua hingga tiga anak dirasa cukup. Itulah tren. Apa yang menjadi gaung masyarakat di masa itu, mempengaruhi kehidupan mereka.
Hingga pertengahan abad ke-19, 'tren jumlah' menjadi perhitungan banyak orang. Siapa yang mempunyai jumlah yang banyak, dialah yang akan menang. Negara-negara besar diuntungkan di era ini. Yang besar dialah yang menang.
Tren itu berubah. Pada abad ke-20, pendidikan menjadi tolak ukur kesuksesan seseorang. Dokter, ilmuwan, dan orang-orang yang menempuh pendidikan tinggi lainnya dipandang terhormat. Ilmuwan mulai menunjukkan kuasanya lewat temuan-temuan dalam bentuk teknologi. Terbukti dengan mulai menonjolnya istilah
technology pada abad ke-20. Ilmuwan asal Amerika, Thorstein Veblen mengembangkan kata
technik menjadi menjadi
technology.
Di abad ke-21,
networking menjelma menjadi tren baru di era milenium. Siapa yang punya relasi, dialah yang akan menjadi penguasa. Mark Zuckerberg sukses dengan Facebook-nya. Jack Ma meraih untung lewat Alibaba. Jaringan
networking di abad 21 selalu berkaitan dengan kecanggihan teknologi serta era keterbukaaan.
Itu adalah tiga tren dunia. Dalam lingkup yang lebih kecil, kita akan menemui tren-tren lain, yang mungkin lebih menggelitik dari tren-tren global.
Saat ini, sukses adalah uang. Inilah mega tren bagi masyarakat saat ini.
"Visi tentang kesuksesan telah dirusak oleh media melalui kehausan media akan sensasi dan hidup gemerlap," tutur Richard Denny. Sambungnya dalam buku
Succeed for Yourself, "Sebagian dari kita dipengaruhi untuk percaya bahwa kesuksesan itu seluruhnya terkait dengan uang."
"Sebagian dari kita dipengaruhi untuk percaya bahwa kesuksesan itu seluruhnya terkait dengan uang."
Saat melakukan komparasi, kita sering mengkait-kaitkan nilai finansial di dalamnya. Ketika membandingkan siapa dengan siapa, salah satu parameternya ya kekuatan finansial.
Saya jadi ingat dengan protes salah seorang teman. Dia yang sedang merintis usaha kecil-kecilan, mendadak melayangkan kalimat, "Aku kadang heran dengan mereka," ucapnya mengarah kepada sekelompok teman yang aktif di bidang film, "Produksi ke sana kemari, tapi nggak ada uang."
Teman saya tersebut mungkin menerapkan parameter uang untuk mengukur kesuksesan seseorang. Mau sesibuk apa pun (baik di bidang organisasi, project kreatif, dll), kalau kantong masing kembang kempis, jangan coba-coba berani memberi predikat sukses terhadap diri sendiri.
Uang telah menjadi tren untuk menakar kesuksesan seseorang. Istilah, "Uang memang bukan segala-galanya, tapi segala-galanya butuh uang," yang banyak diudarakan masyarakat saat ini, secara tidak langsung mendewakan arti uang di kehidupan saat ini. Tidak hanya dalam bentuk kebutuhan, melainkan juga sebagai parameter.
Akhirnya kita menemukan ironi ketika seseorang mempunyai prestasi di bidang karir mau pun akademik, namun
mlempem di bidang keuangan. Kasus-kasus seperti ini kita bahas dalam konteks ironi. Maka sebenarnya ada peralihan parameter, bahwa sukses (sebiasanya) harus dikaitkan dengan uang.
Richard Denny kadung mengkambinghitamkan media atas menggejalanya tren "uang sebagai dewa" ini. Kenyataannya, media sering mengambil
angle pemberitaan kesuksesan seseorang yang juga tidak jauh dari uang.
Ketika media berbicara tentang Jack Ma,
angle (mainstream) terletak pada pencapaian Jack Ma bersama Alibaba yang sukses menjadi orang terkaya di China saat ini. Bukan
angle lain seperti bagaimana racikan strategi Ma untuk membangun Alibaba.
Ketika media berbicara Mark,
angle (mainstream) terletak pada pencapaian Mark sebagai salah satu milyarder muda. Ketika membahas Bill Gates, jatuhnya juga berbicara kekayaannya. Begitu pun, industri media visual lebih tertarik untuk mengangkat kesuksesan seseorang di bidang finansial ketimbang lainnya. Acara-acara talk show akan mengundang jutawan yang dulunya pesakitan, rumah produksi akan mengangkat tokoh inspiratif yang mempunyai tangga kesuksesan di bidang finansial. Dunia perbukuan mengalami sedikit peralihan. Buku-buku panduan terkait meraih kekayaan saling berdempetan dengan buku-buku biografi tokoh yang sukses di bidang bisnis.
Layaknya sebuah masa, tren adalah keniscayaan. Hanya saja, jika sudah demikian, lalu di mana kita menaruh apresiasi terhadap orang-orang hebat yang meraih sukses di bidang lainnya?
Nada bertanya orang-orang pun kian berubah. Bukan lagi empati, melainkan interogasi: kerja di mana? Gajinya berapa? Di era saat ini, akan menjadi pesakitan bagi mereka yang tidak mempunyai cerita panjang terkait keuangan.
Kalau pun uang harus menjadi tren kesuksesan, tidak ada salahnya menuruti nasihat Jonathan Swift, "
Orang bijak harus mempunyai uang di kepalanya, tapi tidak dalam hatinya." Biarkan kepala dipenuhi gairah keuangan, tapi hati tetap mengalir mencari ketenangan.
Yogyakarta, 28 Desember 2014