Kamis, 01 Mei 2014

Tsanah (Sebentuk Rindu, Lelaki Penolak Tilawah, dan Kutukan)

Share & Comment

-ditulis 28 Februari 2009, ketika kematian sebentuk lingkaran kosong-
Rinduku Tsanah, telah menjelma sekumpulan cerita yang memenuhi ruang kepala. Rindu itu, adalah angin yang memerahkan bara batinku.
***
Kepadamu yang pernah kusobek liang keprawanan, hendak aku tuturkan hikayat dunia yang begitu mencekam. Hikayat masa lalu yang berulangkali menenggelamkanku dalam keluh. Dan itulah hikayat anakmu, Tsanah! Hikayat lelaki ringkih yang maaf sekali bila pernah kau dengar kalimat kotor dari bibirnya.
Tsanah, hari ini anakmu sudahlah dewasa. Sudah tak perlu lagi kau suapi pisang pipit, sudah tak perlu pula kau merayunya bila datang waktu makan. Maka anakmu yang kau gadang-gadang menjadi penenang segala sedih ini, telah menempuh perjalanan panjang: Mencicipi setiap luka, mendaki segala tanjakan, menelusuri belantara hidup yang membuatku ingat sepatah kalimat: “Kau terlanjur hidup, anakku. Dan duri dunia ini amatlah berserak. Maka  bersiaplah telapak kakimu mengecap luka.”
Itulah kalimat bibirmu. Kalimat yang kau tuturkan sambil kau sentuh-sentuh rambutku. Di atas kasur, di dalam kamar yang kau pajang album kenangan aku, kau, beserta suamimu.
Ah, aku hanyalah seorang bocah ketika itu. Maka apa yang kau tuturkan, tak ubahnya angin senja hari: muncul lantas berlalu demikian saja.
Kau memang selalu begitu, Tsanah! Selalu melontarkan kalimat dengan desah yang dalam, seraya kau terawangkan pandang menatap halaman, menatap tiang-tiang rumah, lantas terpejamlah kedua mataku. Tertidurlah aku di pangkuanmu.
Tidur di atas pangkuanmu, kerap aku temui mimpi yang amat indah. Mimpi yang ketika kututurkan kepadamu, kau tanggapi hanya dengan selekuk senyum.
“Mengapa ibu tersenyum? Ibu pernah bermimpi sepertiku?” kulontarkan dua patah pertanyaan, namun masih saja kau tersenyum.
Malam ini telah aku injakkan kedua kakiku di tanah halaman. Aku pulang, Tsanah! Aku kembali mencium aroma tanah di mana aku dilahirkan. Telah kutatapkan kedua mataku dengan wajah penduduk kampung. Sudah pula telapak tangan ini bersalaman dengan tetangga dekat rumah yang syukurlah mereka masih mengingatku.
Ya, aku pulang! Namun bukan untuk menanyakan bagaimana kabar sanak, bagiamana perkembangan kios sembako, atau cuaca di kampung halaman yang ternyata masih saja begitu gerah.
Kepulanganku Tsanah, hanyalah untuk menjenguk sebuah makam. Gundukan tanah yang terjaga dua nisan, tanah dimana pernah kukumandangkan adzan di dalamnya. Pada salah satu nisan itu, tertulislah namamu, Tsanah. Tertulis pula tanggal kematianmu. Tanggal yang sulit sekali hilang dari ingatan. (Ya, sebab aku mencatat tangal itu sebagai awal munculnya luka. Hari di mana aku mulai merasakan kebanaran: bahwa tindak laku manusia adalah kejanggalan yang sulit dimengerti).
Aku ini hendak mengunjungi kuburan tempatmu berbaring. Kuburan yang semoga saja malaikat Tuhan berbaik hati kepadamu. Tak melemparkan pertanyaannya dengan nada yang menggetarkan bilik hati. Semoga saja kau tak tergeragap menanggapi kedatangannya, Tsanah!
Aku buka pintu rumahmu. Kutarik napas perlahan-lahan, aroma debu merasuk ke dalam hidungku. Dan betapa kurasakan rumah ini masihlah rumahmu yang dulu: lihatlah, tiang-tiang penyangga masihlah berdiri kokoh, daun pintu yang kupegang belum lapuk, dan beberapa pajangan kaligrafi masih menjadi persembunyian para cicak. Aku telah menanam kenangan di atas rumah ini. Kutanam kenangan yang kemudian melambai-lambai setiap almanak masa lalu, menggapai segala caruk-maruk kehidupan.
Tsanah, seperti halnya dirimu, aku adalah hamba pecinta masa lalu. Aku dan kenangan samahalnya pohon Jambu yang tak pernah sepi dari kelelawar malam. Kelelawar yang bila kulemparkan dua-tiga butir kerikil ke arah pohon jambu, maka akan terdengar bunyi: blakkkk….blakkkk….blaakkkk!
Sekali lagi, anakmu pulang hanya untuk berkunjung ke makammu. Aku tak mau bertanya seperti apa kabar para sanak. Termasuk juga, angkuh sekali lidah ini melayangkan pertanyaan bagaimana keadaan bapak. Lelaki tua itu, biarlah menjalani masa tuanya dengan kutukan. Ya, kutukan! Dan tak perlu kau kaget, Tsanah! Setelah kepergianmu, aku tak lagi menganggapnya sebagai suamimu, sebagai bapakku. Namun lebih suka aku sebut dengan makhluk tuhan yang—hendak—terkutuk.
Lelaki itu, benar sekali jika kau katakan lelaki paling setia sejagat. Tuturnya yang lembut namun meyakinkan, tindak-tanduknya yang tiada mengisyaratkan watak bajingan, serta janji-janji yang tak pernah sama sekali dia abaikan, adalah alasan-alasan yang kemudian membuatmu memilihnya sebagai pasangan hidup. Kau tak salah memilih seorang suami, Tsanah! Tak merugi sama sekali dirimu merelakan keprawananmu dijajah lelaki seperti itu. Namun, aku terlanjur mencatat kejadian yang amat ganjil. Kejadian yang pantaslah bila berujung pada kesudianku memintakan kutuk kepada Tuhan, untuknya!
***
Malam-malam, dengan mengendarai motor, dengan seperangkat wajah yang mengisyaratkan sebuah masalah, datanglah seorang kawan. Aku yang sedang duduk di sebuah warung, bersantai tenang dengan kawan yang lain, dia panggil dengan begitu tergesa-gesanya: “Wan…Wan!”
Kuhampiri dia, Tsanah! Kutatap kedua matanya. Kulihat keringat menggantung di ujung-ujung rambutnya. Dia menelan ludah, kerongkongannya terguncang segelembung kecil. Dan bertutulah aku: “ada apa?”
Ah, Tsanah! Lelucon apa yang malam itu Tuhan sediakan? Berani sekali kedua bibir kawan itu mengucap kematian seorang ibu. Kematian perempuan yang kukehendaki meninggal ketika sudah aku sediakan berbagai macam hadiah, berbagai macam kado yang menggembirakannya.
“Ayo, pulang! Ibumu meninggal!”
Baiklah, akhirnya aku percaya dengan kabar itu, Tsanah! Setelah aku injakkan kakiku di halaman rumah, aku masuk ke dalam, kudengar kemirisan suara tangis, dan kusibak sewek yang menutup sekujur tubuhmu. Di balik kain batik bercorak soklat itulah, kulihat wajahmu sedemikian pucat. Bibirmu tersenyum, dan kedua matamu terpejam begitu saja. Bukankah kau selalu menyambut kehadiran anakmu dengan sinar mata yang berbinar-binar, Tsanah? Malam itu, di bawah sorotan lampu yang  tak sebegitu terang, sumpah, kau tak menyapaku samasekali. Samasekali, Tsanah!
Di kamar itu, seraya kudengar suara tangis, seraya kudengar kebisingan ruang dapur, kupeluk tubuhmu. Dan kedua mata ini, belumlah menitikkan air mata. Namun teriakan menara surau yang dengan yakinnya mengkabarkan: “innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun….! Telah meninggal……” Membuatku tak bisa berkutik lagi selain meneteslah air mataku,
Aku lari ke dapur. Kulewati kerumunan orang yang berbaris antara ruang depan sampai ruang di mana tubuhmu berbaring. Aku tatap wajah bik Mar, mbah Warni, le’ santo, dan wajah mereka tak ubahnya wajah patung. “Ada apa, bik?”
Mengapa kepergian selalu menjadi perihal yang mustahil? Seolah tak terjadi, seolah tak tercatat sebagai rentetan takdir. Maka kepergianmu, Tsanah, bagiku adalah hikayat yang sangat mencekam. Membuatku menelan beberapa ludah. Menarik ketidak–percayaan.
Malam itu, Tsanah, lelaki yang adalah suamimu, kulihat termenung di sudut rumah. Lengannya yang panjang, menyanggah dagunya yang lancip. Dan kedua matanya menatap ke bawah. Melihat tanah rumah ini. Dia duduk di atas bangku usang, Tsanah! (Mungkin, itulah malam terakhir kuanggap dia sebagai bapak).
Malam kedua setelah kepergianmu, bukanlah malam yang gaduh dengan tilawah al-Qur’an. Di sini, di rumah yang berkumpullah seluruh sanak, tak seorangpun yang membacakan dzikir kepadamu. Mereka para sanak hanyalah duduk di atas kursi. Bik Mar mendidihkan air di dapur, nek Warni menyambut obrolan sanak perempuan, dan le’ Santo, kulihat hanya menghisap berbatang-batang rokok di atas kursi anyaman bambu. Sambil sesekali dia salami sanak lelaki yang hendak pulang.
Wes panen, Yu’?”
“Walah…dos pundi yugane?”
Malah repot nggeh sak niki!”
Aku yang duduk bersila di atas kasur. Di dalam kamar tempat kau rebahkan tubuhmu untuk terakhir kalinya. Samar-samar kedua telingaku menangkap obrolan mereka. Mendengar obrolan semacam itu, semakin malaslah aku untuk bergumul. Sebab malam itu juga, aku telah merasakan sesuatu yang membuatku memekur, dan itu bukanlah ingatanku atas kematianmu. Namun….
“Bapak kira tak perlulah bacaan tilawah di rumah ini. Obrolan para sanak menceritakan kehidupan ibumu, sudahlah cukup meyakinkan Tuhan untuk meringankan bebannya di dalam kubur.” Ringan sekali bapak bertutur. Tak sebanding dengan membuncahnya keinginanku diadakannya tilawah sewaktu malam.
“Toh, Tuhan lebih memerintahkan kepada manusia untuk mendahulukan menjamu tamu dari pada membaca al-Qur’an.” Lanjutnya.
Aku tak puas dengan ucapan bapak. Maka datanglah aku menghampiri bik Mar. Dia yang sedang mengelus-elus fotomu di dalam kamar, ternyata berpendapat sama dengan bapak. Aku yang sebenarnya tidaklah menganggap tilawah Qur’an sebagai perihal wajib setelah kepergian seseorang, akhirnya menerima penuturan bapak juga bik Mar. Namun, aku masih menglum, bahwa tilawah adalah adat yang tak boleh ditinggalkan.
Di atas kasur itu tertidurlah aku. Dengan seperangkat baju koko, sarung kotak-kotak, serta kopyah putih yang masih melingkar sampai ketika aku bangun. Tidur di atas kasurmu, Tsanah, syukurlah telah kutemui dirimu. Kau bertamu malam itu. Nampaknya cara bertamumu sangatlah berbeda, Tsanah! Kau membawa air mata. Merasuki mimpiku dengan kelopak yang berlebih akan buliran. Seraya menundukkan pandang, kau sesenggukan seperti ada masalah besar yang menggelayuti pikirmu.
Di telingamu terselip melati, yang baunya, duh, sangatlah lengket. Melati itu kerap jatuh. Dan sekali melati itu jatuh, sekali itu pula muncul melati lain yang berterbangan kemudian hinggap terselip di atas telingamu kembali. Seyogyanya, kau tak usah menangis begitu, sebab di dadamu terpasang selempangan kain. Selempangan kain yang membuatku berani mengatakan, itulah malam rujuknya perhelatan keremajaanmu. Kau begitu cantik, Tsanah: berbaju putih longgar, dengan kain batik yang menyelempang antara pundak melewati dada, dan jatuh di pinggulmu.
Nampaknya, mimpi semacam itu, bukanlah mimpi yang sekali saja kunjung dalam tidurku. Beberapa kali kau menemuiku, Tsanah! Sampai akhirnya kau datang pada suatu malam, kau bawa sebuah tasbih. Kau lemparkan kepadaku, dan gemetarlah kedua tanganku memegangnya.
Aku yakin, tak ada isyarat lain dari air matamu kecuali kesedihan. Samahalnya darah, yang tak lain adalah pertanda tergoresnya sebuah luka. Maka, kuniatkan hendak kutebus air matamu itu dengan lantunan al-Qur’an, Tsanah! Hendak kuterbangkan ayat-ayat itu menemui Tuhannya. Sambil dia bawa setitik do’a: jangan kau usik tidur Tsanah, Tuhan!
Malam ke lima kepergianmu. Di atas kasurmu aku duduk bersila. Kuhadapkan tubuhku ke arah kiblat, dan kulantunkan ayat-ayat Tuhan, lirih. Namun selirih apapun itu, suamimu tetaplah mendengarnya. Dia datang, dan diucapkannya dengan santun: “kau masih ingin membaca al-Qur’an untuk ibumu? Sementara tamu di luar sana kau abaikan begitu saja!”
Tsanah, sehari membacakan ayat Qur’an untukmu, terasalah ketenangan dalam batinku. Bahwa Dzat yang sekalipun tak pernah kulihat itu, akan mengulurkan ketenangan pula dalam kuburmu. Namun ketenangan kita berdua bukanlah ketenangan dalam batin suamimu, Tsanah!
“ Jangan ikut-ikutan orang! Biarlah mereka menjadikan tilawah sebagai adat setelah meninggalnya seseorang. Tapi kita tidak!” Tutur suamimu. Itu hanya adat? Ow, aku tak percaya.
Dia lemparkan pandangan yang sinis kepadaku. Dilemparkannya pula kalimat yang tak pernah kudengar semasa hidupmu. Ya, sehabis kuinjakkan kakiku menziarahi makammu, dengan sangat ketusnya lelaki itu berkata:  “Seperti orang bodoh saja. Dari sini saja kau sudah bisa melayangkan do’a. mengapa harus pergi jauh-jauh ke sana!” begitu tutur suamimu. Suami yang berperangai santun, tapi galak juga mendengar lantunan tilawah.
Anakmu ini sudahlah dewasa, Tsanah! Tak perlu lagi kau ajari bagaimana membalas kedengkian seseorang. Tak perlu pula kau gambarkan kepadaku bagaimana kebaikan itu. Sebab semua itu sudahlah terlukis dalam jiwa suamimu, Tsanah! Bahwa suamimu yang dulu-dulu berperilaku santun, bertindak kalem, berjanji yang tak pernah dia ingkari, akhirnya tak tahan juga dengan birahi. Dia nikahi seorang wanita, Tsanah! Pernikahan yang amat wajar, begitu bik Mar menuturkan. Namun sewajar apapun itu, janji lelaki itu untuk tetap mencintaimu sehidup semati tidaklah terbukti. Maka, bila terjadi sebuah pertemuan di akhirat kelak, tanyakanlah hal itu kepada suamimu. Tariklah kedua bibirnya, potong lidahnya, dan kau sah melemparkan sebutan untuknya: pembohong!
Sebab anakmu sudahlah dewasa, maka meninggalkan kampung halaman tidaklah masalah. Aku pergi, Tsanah! Kutinggalkan rumah yang penuh dengan kenangan itu. Tak perlu aku mendengar kabar kios sembako yang telah dihuni sepasang lelaki mantan suamimu dengan perempuan yang adalah istri barunya itu. Tak perlu pula aku dengar kabar suamimu. Bukankah dia sudahlah beristri muda. Berdiam diri di bawah rumah—yang sekalipun tak begitu megah, namun lebih unggul dibanding rumah tua yang kutanam benih kenangan di atasnya ini.
Ah, Tsanah! Nampaknya gundukan makammu terlalu akrab dengan rumput. Wajar sajalah, bukankah suamimu melarang siapapun untuk datang menjenguk makammu. Duh, malang sekali dirimu, Tsanah!
Bila kau bertemu Tuhan kelak, kabarkan kepadaNya, bahwa sesantun apapun perangai ciptaanNya, masihlah tersimpan ruang birahi. Ruang dengki. Ruang di mana otak kepalanya cacat dengan pendapatnya sendiri. Kabarkan pula, bahwa lelaki yang adalah suamimu itu, pernah meninggalkan tamparan kejam sehabis kubaca al-Qur’an untuk ketenanganmu.
Dan biarlah kutukan yang setiap malam aku haturkan, benar-benar terjadi di kehidupannya: dia mati, tak seorangpun yang datang bertakziyah, lantas sengsaralah dia dalam kubur. Semoga!
Yogyakarta, 28 Pebruari 2009
(Kepada perempuanku di dalam kubur,
gundukan itu lebih mulya ketimbang rumah duniamu.”)

Tags:

Written by

Penulis buku, tinggal di Yogyakarta. Twitter: @Naqib_Najah

  • Punya Materi Bagus Tapi Tidak Ada Waktu Menulis!

    Banyak dosen yang tidak mempunyai waktu untuk menulis, padahal, mereka punya materi yang sangat bermanfaat.

  • Saya menulis buku biografi!

    Saat ini buku sudah dilirik sebagai media dokumentasi hidup yang sangat positif. Anda butuh penulisan biografi?

  • Berapa Biaya Hidup di Jogja? (Feature Radio)

    Ini dia pertumbuhan biaya hidup di kota pelajar ini. Pengin tahu lebih lanjut?

  • Jogja Kian Macet! (Esai Foto)

    Januari 2014 lalu saya beserta tim membuat esai foto menyoroti pembangunan hotel dan tingkat kemacetan....

  • Pengin Bikin Iklan Produk dalam Bentuk Video? Murah Kok!

    Iklan dengan bentuk video ternyata terkesan beda. Banyak orang melakukan hal ini, tapi... berapa sih biayanya?

 

Paraqibma Video Project


Layaknya anak-anak seusianya, Akila sering menemukan masalah saat proses belajar. Mulai dari susah diminta mengerjakan PR, hingga kejenuhan dengan sistem belajar.

Apa yang terjadi pada Akila selanjutnya? Simak video iklan berikut: Quamon, mini project by Paraqibma.

Artikel Bisnis


Dizipoint menjadi jembatan antara pebisnis dan pasar online. Selain plaza online, Dizipoint juga menyediakan artikel-artikel bisnis bagi pengunjung.

Saya menulis artikel-artikel bisnis untuk plaza online tersebut. Silakan login di sini untuk membaca artikelnya.

New Aquarich (Coming Soon)

Copyright © New Paraqibma | Designed by Templateism.com