-ditulis 28 Februari 2009, ketika kematian
sebentuk lingkaran kosong-
Rinduku
Tsanah, telah menjelma sekumpulan cerita yang memenuhi ruang kepala. Rindu itu,
adalah angin yang memerahkan bara batinku.
***
Kepadamu
yang pernah kusobek liang keprawanan, hendak aku tuturkan hikayat dunia yang
begitu mencekam. Hikayat masa lalu yang berulangkali menenggelamkanku dalam
keluh. Dan itulah hikayat anakmu, Tsanah! Hikayat lelaki ringkih yang maaf
sekali bila pernah kau dengar kalimat kotor dari bibirnya.
Tsanah, hari
ini anakmu sudahlah dewasa. Sudah tak perlu lagi kau suapi pisang pipit, sudah
tak perlu pula kau merayunya bila datang waktu makan. Maka anakmu yang kau
gadang-gadang menjadi penenang segala sedih ini, telah menempuh perjalanan
panjang: Mencicipi setiap luka, mendaki segala tanjakan, menelusuri belantara
hidup yang membuatku ingat sepatah kalimat: “Kau terlanjur hidup, anakku.
Dan duri dunia ini amatlah berserak. Maka bersiaplah telapak kakimu
mengecap luka.”
Itulah
kalimat bibirmu. Kalimat yang kau tuturkan sambil kau sentuh-sentuh rambutku.
Di atas kasur, di dalam kamar yang kau pajang album kenangan aku, kau, beserta
suamimu.
Ah, aku
hanyalah seorang bocah ketika itu. Maka apa yang kau tuturkan, tak ubahnya
angin senja hari: muncul lantas berlalu demikian saja.
Kau memang
selalu begitu, Tsanah! Selalu melontarkan kalimat dengan desah yang dalam,
seraya kau terawangkan pandang menatap halaman, menatap tiang-tiang rumah,
lantas terpejamlah kedua mataku. Tertidurlah aku di pangkuanmu.
Tidur di
atas pangkuanmu, kerap aku temui mimpi yang amat indah. Mimpi yang ketika
kututurkan kepadamu, kau tanggapi hanya dengan selekuk senyum.
“Mengapa ibu
tersenyum? Ibu pernah bermimpi sepertiku?” kulontarkan dua patah pertanyaan,
namun masih saja kau tersenyum.
Malam ini
telah aku injakkan kedua kakiku di tanah halaman. Aku pulang, Tsanah! Aku
kembali mencium aroma tanah di mana aku dilahirkan. Telah kutatapkan kedua
mataku dengan wajah penduduk kampung. Sudah pula telapak tangan ini bersalaman
dengan tetangga dekat rumah yang syukurlah mereka masih mengingatku.
Ya, aku
pulang! Namun bukan untuk menanyakan bagaimana kabar sanak, bagiamana
perkembangan kios sembako, atau cuaca di kampung halaman yang ternyata masih
saja begitu gerah.
Kepulanganku
Tsanah, hanyalah untuk menjenguk sebuah makam. Gundukan tanah yang terjaga dua
nisan, tanah dimana pernah kukumandangkan adzan di dalamnya. Pada salah satu
nisan itu, tertulislah namamu, Tsanah. Tertulis pula tanggal kematianmu.
Tanggal yang sulit sekali hilang dari ingatan. (Ya, sebab aku mencatat tangal
itu sebagai awal munculnya luka. Hari di mana aku mulai merasakan kebanaran:
bahwa tindak laku manusia adalah kejanggalan yang sulit dimengerti).
Aku ini
hendak mengunjungi kuburan tempatmu berbaring. Kuburan yang semoga saja
malaikat Tuhan berbaik hati kepadamu. Tak melemparkan pertanyaannya dengan nada
yang menggetarkan bilik hati. Semoga saja kau tak tergeragap menanggapi
kedatangannya, Tsanah!
Aku buka
pintu rumahmu. Kutarik napas perlahan-lahan, aroma debu merasuk ke dalam
hidungku. Dan betapa kurasakan rumah ini masihlah rumahmu yang dulu: lihatlah,
tiang-tiang penyangga masihlah berdiri kokoh, daun pintu yang kupegang belum
lapuk, dan beberapa pajangan kaligrafi masih menjadi persembunyian para cicak.
Aku telah menanam kenangan di atas rumah ini. Kutanam kenangan yang kemudian
melambai-lambai setiap almanak masa lalu, menggapai segala caruk-maruk
kehidupan.
Tsanah,
seperti halnya dirimu, aku adalah hamba pecinta masa lalu. Aku dan kenangan
samahalnya pohon Jambu yang tak pernah sepi dari kelelawar malam. Kelelawar
yang bila kulemparkan dua-tiga butir kerikil ke arah pohon jambu, maka akan
terdengar bunyi: blakkkk….blakkkk….blaakkkk!
Sekali lagi,
anakmu pulang hanya untuk berkunjung ke makammu. Aku tak mau bertanya seperti apa
kabar para sanak. Termasuk juga, angkuh sekali lidah ini melayangkan pertanyaan
bagaimana keadaan bapak. Lelaki tua itu, biarlah menjalani masa tuanya dengan
kutukan. Ya, kutukan! Dan tak perlu kau kaget, Tsanah! Setelah kepergianmu, aku
tak lagi menganggapnya sebagai suamimu, sebagai bapakku. Namun lebih suka aku
sebut dengan makhluk tuhan yang—hendak—terkutuk.
Lelaki itu,
benar sekali jika kau katakan lelaki paling setia sejagat. Tuturnya yang lembut
namun meyakinkan, tindak-tanduknya yang tiada mengisyaratkan watak bajingan,
serta janji-janji yang tak pernah sama sekali dia abaikan, adalah alasan-alasan
yang kemudian membuatmu memilihnya sebagai pasangan hidup. Kau tak salah
memilih seorang suami, Tsanah! Tak merugi sama sekali dirimu merelakan keprawananmu
dijajah lelaki seperti itu. Namun, aku terlanjur mencatat kejadian yang amat
ganjil. Kejadian yang pantaslah bila berujung pada kesudianku memintakan kutuk
kepada Tuhan, untuknya!
***
Malam-malam,
dengan mengendarai motor, dengan seperangkat wajah yang mengisyaratkan sebuah
masalah, datanglah seorang kawan. Aku yang sedang duduk di sebuah warung,
bersantai tenang dengan kawan yang lain, dia panggil dengan begitu
tergesa-gesanya: “Wan…Wan!”
Kuhampiri
dia, Tsanah! Kutatap kedua matanya. Kulihat keringat menggantung di ujung-ujung
rambutnya. Dia menelan ludah, kerongkongannya terguncang segelembung kecil. Dan
bertutulah aku: “ada apa?”
Ah, Tsanah!
Lelucon apa yang malam itu Tuhan sediakan? Berani sekali kedua bibir kawan itu
mengucap kematian seorang ibu. Kematian perempuan yang kukehendaki meninggal
ketika sudah aku sediakan berbagai macam hadiah, berbagai macam kado yang
menggembirakannya.
“Ayo,
pulang! Ibumu meninggal!”
Baiklah,
akhirnya aku percaya dengan kabar itu, Tsanah! Setelah aku injakkan kakiku di
halaman rumah, aku masuk ke dalam, kudengar kemirisan suara tangis, dan kusibak
sewek yang menutup sekujur tubuhmu. Di balik kain batik bercorak soklat
itulah, kulihat wajahmu sedemikian pucat. Bibirmu tersenyum, dan kedua matamu
terpejam begitu saja. Bukankah kau selalu menyambut kehadiran anakmu dengan
sinar mata yang berbinar-binar, Tsanah? Malam itu, di bawah sorotan lampu
yang tak sebegitu terang, sumpah, kau tak menyapaku samasekali.
Samasekali, Tsanah!
Di kamar
itu, seraya kudengar suara tangis, seraya kudengar kebisingan ruang dapur,
kupeluk tubuhmu. Dan kedua mata ini, belumlah menitikkan air mata. Namun
teriakan menara surau yang dengan yakinnya mengkabarkan: “innaa lillaahi wa
innaa ilaihi raaji’uun….! Telah meninggal……” Membuatku tak bisa berkutik
lagi selain meneteslah air mataku,
Aku lari ke
dapur. Kulewati kerumunan orang yang berbaris antara ruang depan sampai ruang
di mana tubuhmu berbaring. Aku tatap wajah bik Mar, mbah Warni, le’ santo, dan
wajah mereka tak ubahnya wajah patung. “Ada apa, bik?”
Mengapa
kepergian selalu menjadi perihal yang mustahil? Seolah tak terjadi, seolah tak
tercatat sebagai rentetan takdir. Maka kepergianmu, Tsanah, bagiku adalah
hikayat yang sangat mencekam. Membuatku menelan beberapa ludah. Menarik ketidak–percayaan.
Malam itu,
Tsanah, lelaki yang adalah suamimu, kulihat termenung di sudut rumah. Lengannya
yang panjang, menyanggah dagunya yang lancip. Dan kedua matanya menatap ke
bawah. Melihat tanah rumah ini. Dia duduk di atas bangku usang, Tsanah! (Mungkin,
itulah malam terakhir kuanggap dia sebagai bapak).
Malam kedua
setelah kepergianmu, bukanlah malam yang gaduh dengan tilawah al-Qur’an. Di
sini, di rumah yang berkumpullah seluruh sanak, tak seorangpun yang membacakan
dzikir kepadamu. Mereka para sanak hanyalah duduk di atas kursi. Bik Mar
mendidihkan air di dapur, nek Warni menyambut obrolan sanak perempuan, dan le’
Santo, kulihat hanya menghisap berbatang-batang rokok di atas kursi anyaman
bambu. Sambil sesekali dia salami sanak lelaki yang hendak pulang.
“Wes panen,
Yu’?”
“Walah…dos
pundi yugane?”
“Malah
repot nggeh sak niki!”
Aku yang
duduk bersila di atas kasur. Di dalam kamar tempat kau rebahkan tubuhmu untuk
terakhir kalinya. Samar-samar kedua telingaku menangkap obrolan mereka.
Mendengar obrolan semacam itu, semakin malaslah aku untuk bergumul. Sebab malam
itu juga, aku telah merasakan sesuatu yang membuatku memekur, dan itu bukanlah
ingatanku atas kematianmu. Namun….
“Bapak kira
tak perlulah bacaan tilawah di rumah ini. Obrolan para sanak menceritakan
kehidupan ibumu, sudahlah cukup meyakinkan Tuhan untuk meringankan bebannya di
dalam kubur.” Ringan sekali bapak bertutur. Tak sebanding dengan membuncahnya
keinginanku diadakannya tilawah sewaktu malam.
“Toh, Tuhan
lebih memerintahkan kepada manusia untuk mendahulukan menjamu tamu dari pada
membaca al-Qur’an.” Lanjutnya.
Aku tak puas
dengan ucapan bapak. Maka datanglah aku menghampiri bik Mar. Dia yang sedang
mengelus-elus fotomu di dalam kamar, ternyata berpendapat sama dengan bapak.
Aku yang sebenarnya tidaklah menganggap tilawah Qur’an sebagai perihal wajib
setelah kepergian seseorang, akhirnya menerima penuturan bapak juga bik Mar.
Namun, aku masih menglum, bahwa tilawah adalah adat yang tak boleh
ditinggalkan.
Di atas
kasur itu tertidurlah aku. Dengan seperangkat baju koko, sarung kotak-kotak,
serta kopyah putih yang masih melingkar sampai ketika aku bangun. Tidur di atas
kasurmu, Tsanah, syukurlah telah kutemui dirimu. Kau bertamu malam itu.
Nampaknya cara bertamumu sangatlah berbeda, Tsanah! Kau membawa air mata.
Merasuki mimpiku dengan kelopak yang berlebih akan buliran. Seraya menundukkan
pandang, kau sesenggukan seperti ada masalah besar yang menggelayuti pikirmu.
Di telingamu
terselip melati, yang baunya, duh, sangatlah lengket. Melati itu kerap
jatuh. Dan sekali melati itu jatuh, sekali itu pula muncul melati lain yang
berterbangan kemudian hinggap terselip di atas telingamu kembali. Seyogyanya,
kau tak usah menangis begitu, sebab di dadamu terpasang selempangan kain.
Selempangan kain yang membuatku berani mengatakan, itulah malam rujuknya
perhelatan keremajaanmu. Kau begitu cantik, Tsanah: berbaju putih longgar,
dengan kain batik yang menyelempang antara pundak melewati dada, dan jatuh di
pinggulmu.
Nampaknya,
mimpi semacam itu, bukanlah mimpi yang sekali saja kunjung dalam tidurku.
Beberapa kali kau menemuiku, Tsanah! Sampai akhirnya kau datang pada suatu
malam, kau bawa sebuah tasbih. Kau lemparkan kepadaku, dan gemetarlah kedua
tanganku memegangnya.
Aku yakin,
tak ada isyarat lain dari air matamu kecuali kesedihan. Samahalnya darah, yang
tak lain adalah pertanda tergoresnya sebuah luka. Maka, kuniatkan hendak
kutebus air matamu itu dengan lantunan al-Qur’an, Tsanah! Hendak kuterbangkan
ayat-ayat itu menemui Tuhannya. Sambil dia bawa setitik do’a: jangan kau
usik tidur Tsanah, Tuhan!
Malam ke
lima kepergianmu. Di atas kasurmu aku duduk bersila. Kuhadapkan tubuhku ke arah
kiblat, dan kulantunkan ayat-ayat Tuhan, lirih. Namun selirih apapun itu,
suamimu tetaplah mendengarnya. Dia datang, dan diucapkannya dengan santun: “kau
masih ingin membaca al-Qur’an untuk ibumu? Sementara tamu di luar sana kau
abaikan begitu saja!”
Tsanah,
sehari membacakan ayat Qur’an untukmu, terasalah ketenangan dalam batinku.
Bahwa Dzat yang sekalipun tak pernah kulihat itu, akan mengulurkan ketenangan
pula dalam kuburmu. Namun ketenangan kita berdua bukanlah ketenangan dalam
batin suamimu, Tsanah!
“ Jangan
ikut-ikutan orang! Biarlah mereka menjadikan tilawah sebagai adat setelah
meninggalnya seseorang. Tapi kita tidak!” Tutur suamimu. Itu hanya adat? Ow,
aku tak percaya.
Dia
lemparkan pandangan yang sinis kepadaku. Dilemparkannya pula kalimat yang tak
pernah kudengar semasa hidupmu. Ya, sehabis kuinjakkan kakiku menziarahi
makammu, dengan sangat ketusnya lelaki itu berkata: “Seperti orang bodoh
saja. Dari sini saja kau sudah bisa melayangkan do’a. mengapa harus pergi
jauh-jauh ke sana!” begitu tutur suamimu. Suami yang berperangai santun, tapi
galak juga mendengar lantunan tilawah.
Anakmu ini
sudahlah dewasa, Tsanah! Tak perlu lagi kau ajari bagaimana membalas kedengkian
seseorang. Tak perlu pula kau gambarkan kepadaku bagaimana kebaikan itu. Sebab
semua itu sudahlah terlukis dalam jiwa suamimu, Tsanah! Bahwa suamimu yang
dulu-dulu berperilaku santun, bertindak kalem, berjanji yang tak pernah dia
ingkari, akhirnya tak tahan juga dengan birahi. Dia nikahi seorang wanita,
Tsanah! Pernikahan yang amat wajar, begitu bik Mar menuturkan. Namun sewajar
apapun itu, janji lelaki itu untuk tetap mencintaimu sehidup semati tidaklah
terbukti. Maka, bila terjadi sebuah pertemuan di akhirat kelak, tanyakanlah hal
itu kepada suamimu. Tariklah kedua bibirnya, potong lidahnya, dan kau sah
melemparkan sebutan untuknya: pembohong!
Sebab anakmu
sudahlah dewasa, maka meninggalkan kampung halaman tidaklah masalah. Aku pergi,
Tsanah! Kutinggalkan rumah yang penuh dengan kenangan itu. Tak perlu aku
mendengar kabar kios sembako yang telah dihuni sepasang lelaki mantan suamimu
dengan perempuan yang adalah istri barunya itu. Tak perlu pula aku dengar kabar
suamimu. Bukankah dia sudahlah beristri muda. Berdiam diri di bawah rumah—yang
sekalipun tak begitu megah, namun lebih unggul dibanding rumah tua yang kutanam
benih kenangan di atasnya ini.
Ah, Tsanah!
Nampaknya gundukan makammu terlalu akrab dengan rumput. Wajar sajalah, bukankah
suamimu melarang siapapun untuk datang menjenguk makammu. Duh, malang sekali
dirimu, Tsanah!
Bila kau
bertemu Tuhan kelak, kabarkan kepadaNya, bahwa sesantun apapun perangai
ciptaanNya, masihlah tersimpan ruang birahi. Ruang dengki. Ruang di mana otak
kepalanya cacat dengan pendapatnya sendiri. Kabarkan pula, bahwa lelaki yang
adalah suamimu itu, pernah meninggalkan tamparan kejam sehabis kubaca al-Qur’an
untuk ketenanganmu.
Dan biarlah
kutukan yang setiap malam aku haturkan, benar-benar terjadi di kehidupannya:
dia mati, tak seorangpun yang datang bertakziyah, lantas sengsaralah dia dalam
kubur. Semoga!
Yogyakarta, 28 Pebruari 2009
(Kepada
perempuanku di dalam kubur,
“gundukan
itu lebih mulya ketimbang rumah duniamu.”)