-Ditulis tahun 2007, mengenang ulang tahun kematian Ibu-
Aku yakin
air matanya adalah darah. Dan tidaklah berlebihan, bukankah ia kukenal sebagai
perempuan kaya derita di detik-detik akhir hayatnya? Desakan dalam batinnya tak
henti-henti menusuk. Oleh sebab itu, sedemikian pula sayatan luka batinnya,
tipis, namun mendalam. Dan berlaksa-laksa darah mengucur sudah. Anyir. Air
matanya benar-benar terperas dari luka batinnya.
Kematiannya
tiada mewariskan apa pun. Kepadaku, ayah, adik-kakakku, lebih-lebih istriku.
Tak ada. Melainkan hanya pahatan duka, kedalam rindu, serta air matanya. Ya,
air matanya masih terasa basah hingga kini. Dan tiada yang sanggup
melupakannya, aku pun. Mengapa air matamu terus mengarus, tiada jemu
menggenangi gerak detik kehidupanmu. Benarkah takdir serupa angin dan jiwa
manusia adalah lautan. Benar demikian, Tuhan?! Apakah selamanya takdir yang
Engkau buat akan memilin jiwa manusia.1) Hingga berbusa. Hingga hancur. Hingga
semuanya habis binasah.
Jelang ulang
tahun kematiannya yang kali pertama ini, aku dibuatnya secemas mungkin.
Seminggu penuh ia bertamu. Membangunkan aku tengah malam secara mengagetkan.
Jika hanya sekedar bertamu saja, aku akan berdecak gembira. Akan tetapi, ia
senantiasa membawa air mata, merasuki mimpiku dengan kelopak yang berlebih akan
buliran-buliran. Seraya menundukkan pandang, ia sesenggukan seperti ada masalah
besar yang menggelayut di pikirnya. Semalam saja, ia menangis sejadi-jadinya.
Di telinganya terselip melati, yang baunya, duh, sangat-sangat lengket. Melati
itu kerap jatuh. Dan sekali melati itu jatuh, sekali itu pula muncul melati
lain yang berterbangan kemudian hinggap terselip di atas telinganya kembali.
Seyogyanya, ia tak usah menangis begitu, sebab di dadanya terpasang selempang
kain. Luar biasa keanggunannya. Kukatakan, malam itulah malam rujuknya
perhelatan keremajaannya.
Ada satu hal
yang amat membuatku merasa keji. Dalam batas ingatanku, di antara ketujuh cara
bertamunya, terhitung dua kali ia acungkan telunjuknya kepadaku. Nampak betapa
ia ingin menyumpahi serapah. Dari matanya yang penuh akan buliran-buliran,
terpampang sorotan yang sangat mesti kuperhitungkan.
Sedari
hendak kubaringkan tubuh di samping pelukan istriku, sudah kuniatkan hendak
berkunjung ke makamnya besok hari, malam-malam. Ya, niat itu kububuhkan sebelum
pertemuan mengharu-biru semalam. Yang ia nampak bagai putri keraton bermandikan
air mata. Di saat gelap itulah aku akan hanyut melafadzkan do’a kehadiran
Tuhan. Tetapi bukan demikian saja, dalam batin aku pun sudah memasang sebuah
kehendak lain: aku ingin menjenguknya kemudian berlama-lama di samping gundukan
tanah yang adalah pemakamannya, aku hendak menemaninya tidur semalam, sampai
keresahan yang menyelusup secara tiba-tiba ini tak lagi berubah menjadi
hantu-hantu gentayangan yang tak kesudahi menakutiku.
Umpama
niatan yang hendak kulakukan ini kuceritakan kepada ayah beserta adik-kakakku,
sudah barang tentu mereka akan terkekeh-kekeh menertawakan niatan yang sekilas
nampak konyol tersebut. “Rusdi-Rusdi, buat apa juga. Malah nanti kamu disangka
juru kunci pemakaman, atau bisa juga penggila alam ghaib. Dukun!” barangkali
seperti itu seloroh mereka. Sengaja diam-diam kulakukan semua ini, dan hanya
istriku saja yang mengerti. Toh, ia pun setali tiga uang dengan mereka, “Abang
ingin berlama-lama di samping pemakaman ibu, ah , jangan! Nanti Abang kesambet
jin malah. Sudah, aku tidak setuju.” Dasar mereka terlalu berpikir yang
bukan-bukan. Sudahlah, tak usah diperguncingkan, sekali pun masih mungkin
niatan yang hendak kujalani ini hanya bermula dari rasa takutku yang
berlebihan. Hal-hal semacam ini memang kerap menggoncangkan batinku tanpa
sebab.
***
Langit
sungguh lelap, dan aku berjalan penuh perkasa. Malam sedingin ini, terlihat
hanya kucing-kucing jalang yang berani melangkahkan kaki. Toh, mereka tampak
kuyu, hawa dingin luar biasa melingkup. Sebelum aku meninggalkan rumah, di
dekat guling yang aku selipkan di perut istriku, kuletakkan selembar kertas
tentang ucapan selamat bangun dariku. Ia bisa menggerutu seribu malam bila
melihatku tiada di dekatnya tanpa menitip satu pun pesan.
Semakin
banyak aku melangkah, ternyata semakin mendalam pula ingatanku terhadap mendiang.
Jalan pikirku tiada henti menggali sejuta kenangan ihwal hikayat nestapanya.
Alangkah pernah kudapati ia mendadak terisak-isak di malam gulita seperti
sekarang. Posisi badannya memojok di tepian ranjang. Aku dekati mendiang,
setelah kemudian kedua tangannya yang tak berdaya kugenggam erat. Isak
tangisnya merangkak gulana di batinku. Kulihat dadanya berdegup keras seperti
menahan betul dan hendak kesudahi saja. Saat kuulurkan segelas air putih di
ujung bibirnya yang kering, tangisnya semakin mendalam. Sampai, badannya yang
semampai bersandar di pojok dinding kemudian roboh, terbaring sayu di atas
ranjang. Dan sepatah tanya pun tak keluar dari mulutku. Sudah pasti, air
matanya tak lain tersebabkan jalan pikirnya yang terlalu merangkak di atas
kepedihan. Perempuan memang begitu mudah guna meratapi nasib. Kupeluk tubuhnya,
dan di sampingnya kutemani ia tidur hingga terjaga.
Demikianlah
ibuku. Tak pernah berhenti titikkan air matanya sekalipun berada di tengah
canda gurau kami. Ada satu hal yang menancap dalam di hamparan kenanganku. Bila
kukenang, sudah pasti hanyalah penyesalan yang menggumam.
“Semestinya
ibu sadar. Tak lagi mengumbar air mata seperti ini.”
“Buat apa
menelan pil-kapsul dari pengobatan jalan, kalau ibu masih terus dan terus
sesenggukan. Percuma! Air mata hanya akan menyiksa ibu. Dan ibu akan semakin
dekat dengan kematian.” Persis seperti itulah ucapan bernada amarah yang pernah
kulontarkan terhadap mendiang. Menurut persepsiku dulu, memang itulah
satu-satunya hal yang mungkin bisa membuatnya berubah untuk tak lagi menangis
meratapi nasib. “Ibu terlalu menahbiskan diri sebagai makhluk paling sengsara
di dunia ini,” ucapku lagi dan ia semakin tersedu-sedan.
Apalah yang
bisa hamba lakukan kecuali penyesalan.
Langkahku
terhenti. Disamping persendian terasa pegal, kesakralan rumah seorang janda
menarik kedua mataku untuk melihat sebentar. Rumah inilah yang setahun silam
senantiasa ramai oleh irama jazz, celetuk yang diikuti gelak tawa kecentilan
seorang perempuan, serta cumbu mesra sang suami. Dari atas hingga bawah,
bangunan rumah ini mirip seperti miniatur perhotelan. Sayang saja tiada kolam
renang di dalamnya. Namun, semua berubah ketika sang suami meninggal secara
begitu mendadak. Rumah menjadi sepi, kerlap-kerlip pendaran lampu yang dulunya
bertebaran di sana-sini, hanya menyisakan beberapa penerangan pada ruang bagian
depannya saja. Pun alunan jazznya, tak mengalun lembut seperti dulu.
Kadang-kadang saja terdengar alunan disko yang amat tajam dari ruang tengah.
Perempuan itu janda sebatang kara.
Aku yang
berkehendak merogoh kopyah di dalam saku celana, mendadak saja terkagetkan oleh
sebuah suara. Keras, mirip teriakan seorang perempuan. Dan rumah inilah sumber
suara tersebut. Secepat kilat rumah hotel tersebut berubah gulita. Lampu
penerang ruang depan padam. Ada apa? Aku tak tahu. Di samping bangunan rumah
hotel, ilalang berkilau memantulkan sinar purnama. Ah, suara perempuan itu,
semakin serak saja. Belum lagi muncul bunyi parau pecahan perabotan rumah
tangga, PRAANGG!
Sebenarnya
tidak ada rasa kaget sama sekali di hatiku. Ketika dadaku kusentuh, ah,
jantungku masih berdegup stabil. Suara perempuan itu, aku dekati
perlahan-lahan. Menyentuh handel yang tidak di kunci, mendadak kutemukan rasa
yang mengetuk-ngetuk jiwaku. Handel ini tidak di kunci, pintu gerbang pun
terbuka lebar seperti sudah ada orang yang masuk mendahului diriku. Aku tarik
dan kudorong saja daun pintu tersebut. Masuk rumah hotel tersebut, darahku
mendidih tak karuan. Begitu pula bulu-bulu leherku, seperti ada yang meniup
memainkannya. BRAAKK! Pintu tertutup dan kedua tanganku tercengkeram.
Aneh, telapak tangan tersebut memborgol kedua tanganku. “Hai-hai. Siapa kamu?
Hai-hai!” pertanyaan yang aku keluarkan tak terjawab sama sekali. Dan barulah
kurasakan keresahan yang tak bisa ditahan lagi. Semakin kencang saja jantung
ini bergetar, darah mengalir deras, nalar kacau, dan kedua tangan ini sangat
Ketika lampu
penerang sudah difungsikan, aku sudah mulai bisa mengatur nafas perlahan-lahan.
Ada yang bersimpuh penuh tunduk di hadapanku. Bersujud-sujud seperti sedang
menjalani sebuah ibadat. “Tuan, sudilah, Tuan menemani saya untuk malam ini
saja.” Perempuan janda pemilik rumah hotel ini memohon dengan suara yang cukup
serak. Air matanya hendak turun. Dan menatapnya, mengingatkanku atas tatapan
mata istriku yang pernah pula tersedu-sedu memohon kepadaku tentang sebuah
“Apa maksud
anda?” “Saya sudah beristri, dan sekarang dia kutinggalkan sendiri di atas
ranjang.”
“Hk, hks,
hks….”
“Nona cantik
jawab pertanyaan saya!” dan aku semakin tak kuasa menahan tangisnya. Perempuan
janda ini benar-benar cantik. Air mata yang mengalir lantas membasah di kedua
pipinya, membuatnya semakin terlihat lembut saja. Mengapa ia tak menjawab
pertanyaan yang kulontarkan itu. Kepalanya merunduk. Hampir saja ia mencium
kedua kakiku. Ah, perempuan ini, tak kuat aku melihat air matanya. Aku tekuk
lututku. Kutemani ia duduk.
“Saya tak
sehina yang Tuan pikirkan. Tak mungkin saya mengajak Tuan kumpul layaknya
suami-istri membantai dinginnya malam. Saya tak sehina itu, Tuan!” merengeklah
ia di hadapanku. Sedikit aku menduga, perempuan ini agak terluka dengan
lontaran yang kuucap sebelumnya.
“Maaf, nona.
Anda tak usah berperasangka seperti itu. Saya yakin anda perempuan baik-baik.
Tapi, ada maksud apa nona memborgol saya seperti
“Sebelumnya,
maaf! Tapi mohon, Tuan terima penuh kesadaran apa yang saya ucapkan!” ia diam
sejenak. Mengusap air mata, dan berlanjutlah ia
“Sengaja
saya berteriak minta tolong kemudian memborgol tangan Tuan. Saya sengaja
memecahkan perabot dapur agar muncul bunyi parau dan orang yang melewati rumah
saya terkagetkan. Sengaja saya melakukan itu, sebab inilah usaha terakhir saya
guna peroleh sosok yang sudi menemani saya malam ini. Dua usaha saya yang lalu
gagal. Malah saat saya membakar kain-kain kusam pertanda ada kebakaran di rumah
saya, Bpk. Rt. Membentak-bentak saya tak menerima alasan yang saya utarakan.
Bahkan sempat beliau berucap kotor. Saya sedih!” ia mengambil nafas, dan akupun
“Saya
ketakutan malam ini. Sebab malam inilah seratus harinya almarhum suami saya.
Dan hendaknya Tuan ketahui, irama disko yang kadang kala saya bunyikan
keras-keras itu adalah pengusir rasa takut yang sering memaksaku untuk tidur di
ruang tamu ini. Saya tak berani tidur di kamar suamiku, Tuan. Dan bersama irama
disko itu aku memejamkan mata. Saya ketakutan malam ini, sudilah tuan menemani
saya tidur. Semalam saja, tuan!” Duh, sungguh tak hanya kedua tanganku yang
terborgol, namun, air mata perempuan janda ini pun telah memborgol niatku guna
membesuk ibu malam-malam. Dan semalam sungguh aku berdiam di rumah hotel ini.
***
Lamongan, 2
Juli 2007
1)Menafsirkan
penggalan terakhir
puisi
Goethe, “Nyanyian
Ruh-ruh di Atas Air”
yang
diterjemahkan oleh Agus R. Sarjono.