Kamis, 01 Mei 2014

Jangan Borgol Aku dengan Air Mata

Share & Comment

Cerpen : Naqib Najah
-Ditulis tahun 2007, mengenang ulang tahun kematian Ibu-
Aku yakin air matanya adalah darah. Dan tidaklah berlebihan, bukankah ia kukenal sebagai perempuan kaya derita di detik-detik akhir hayatnya? Desakan dalam batinnya tak henti-henti menusuk. Oleh sebab itu, sedemikian pula sayatan luka batinnya, tipis, namun mendalam. Dan berlaksa-laksa darah mengucur sudah. Anyir. Air matanya benar-benar terperas dari luka batinnya.
Kematiannya tiada mewariskan apa pun. Kepadaku, ayah, adik-kakakku, lebih-lebih istriku. Tak ada. Melainkan hanya pahatan duka, kedalam rindu, serta air matanya. Ya, air matanya masih terasa basah hingga kini. Dan tiada yang sanggup melupakannya, aku pun. Mengapa air matamu terus mengarus, tiada jemu menggenangi gerak detik kehidupanmu. Benarkah takdir serupa angin dan jiwa manusia adalah lautan. Benar demikian, Tuhan?! Apakah selamanya takdir yang Engkau buat akan memilin jiwa manusia.1) Hingga berbusa. Hingga hancur. Hingga semuanya habis binasah.
Jelang ulang tahun kematiannya yang kali pertama ini, aku dibuatnya secemas mungkin. Seminggu penuh ia bertamu. Membangunkan aku tengah malam secara mengagetkan. Jika hanya sekedar bertamu saja, aku akan berdecak gembira. Akan tetapi, ia senantiasa membawa air mata, merasuki mimpiku dengan kelopak yang berlebih akan buliran-buliran. Seraya menundukkan pandang, ia sesenggukan seperti ada masalah besar yang menggelayut di pikirnya. Semalam saja, ia menangis sejadi-jadinya. Di telinganya terselip melati, yang baunya, duh, sangat-sangat lengket. Melati itu kerap jatuh. Dan sekali melati itu jatuh, sekali itu pula muncul melati lain yang berterbangan kemudian hinggap terselip di atas telinganya kembali. Seyogyanya, ia tak usah menangis begitu, sebab di dadanya terpasang selempang kain. Luar biasa keanggunannya. Kukatakan, malam itulah malam rujuknya perhelatan keremajaannya.
Ada satu hal yang amat membuatku merasa keji. Dalam batas ingatanku, di antara ketujuh cara bertamunya, terhitung dua kali ia acungkan telunjuknya kepadaku. Nampak betapa ia ingin menyumpahi serapah. Dari matanya yang penuh akan buliran-buliran, terpampang sorotan yang sangat mesti kuperhitungkan.
Sedari hendak kubaringkan tubuh di samping pelukan istriku, sudah kuniatkan hendak berkunjung ke makamnya besok hari, malam-malam. Ya, niat itu kububuhkan sebelum pertemuan mengharu-biru semalam. Yang ia nampak bagai putri keraton bermandikan air mata. Di saat gelap itulah aku akan hanyut melafadzkan do’a kehadiran Tuhan. Tetapi bukan demikian saja, dalam batin aku pun sudah memasang sebuah kehendak lain: aku ingin menjenguknya kemudian berlama-lama di samping gundukan tanah yang adalah pemakamannya, aku hendak menemaninya tidur semalam, sampai keresahan yang menyelusup secara tiba-tiba ini tak lagi berubah menjadi hantu-hantu gentayangan yang tak kesudahi menakutiku.
Umpama niatan yang hendak kulakukan ini kuceritakan kepada ayah beserta adik-kakakku, sudah barang tentu mereka akan terkekeh-kekeh menertawakan niatan yang sekilas nampak konyol tersebut. “Rusdi-Rusdi, buat apa juga. Malah nanti kamu disangka juru kunci pemakaman, atau bisa juga penggila alam ghaib. Dukun!” barangkali seperti itu seloroh mereka. Sengaja diam-diam kulakukan semua ini, dan hanya istriku saja yang mengerti. Toh, ia pun setali tiga uang dengan mereka, “Abang ingin berlama-lama di samping pemakaman ibu, ah , jangan! Nanti Abang kesambet jin malah. Sudah, aku tidak setuju.” Dasar mereka terlalu berpikir yang bukan-bukan. Sudahlah, tak usah diperguncingkan, sekali pun masih mungkin niatan yang hendak kujalani ini hanya bermula dari rasa takutku yang berlebihan. Hal-hal semacam ini memang kerap menggoncangkan batinku tanpa sebab.
***
Langit sungguh lelap, dan aku berjalan penuh perkasa. Malam sedingin ini, terlihat hanya kucing-kucing jalang yang berani melangkahkan kaki. Toh, mereka tampak kuyu, hawa dingin luar biasa melingkup. Sebelum aku meninggalkan rumah, di dekat guling yang aku selipkan di perut istriku, kuletakkan selembar kertas tentang ucapan selamat bangun dariku. Ia bisa menggerutu seribu malam bila melihatku tiada di dekatnya tanpa menitip satu pun pesan.
Semakin banyak aku melangkah, ternyata semakin mendalam pula ingatanku terhadap mendiang. Jalan pikirku tiada henti menggali sejuta kenangan ihwal hikayat nestapanya. Alangkah pernah kudapati ia mendadak terisak-isak di malam gulita seperti sekarang. Posisi badannya memojok di tepian ranjang. Aku dekati mendiang, setelah kemudian kedua tangannya yang tak berdaya kugenggam erat. Isak tangisnya merangkak gulana di batinku. Kulihat dadanya berdegup keras seperti menahan betul dan hendak kesudahi saja. Saat kuulurkan segelas air putih di ujung bibirnya yang kering, tangisnya semakin mendalam. Sampai, badannya yang semampai bersandar di pojok dinding kemudian roboh, terbaring sayu di atas ranjang. Dan sepatah tanya pun tak keluar dari mulutku. Sudah pasti, air matanya tak lain tersebabkan jalan pikirnya yang terlalu merangkak di atas kepedihan. Perempuan memang begitu mudah guna meratapi nasib. Kupeluk tubuhnya, dan di sampingnya kutemani ia tidur hingga terjaga.
Demikianlah ibuku. Tak pernah berhenti titikkan air matanya sekalipun berada di tengah canda gurau kami. Ada satu hal yang menancap dalam di hamparan kenanganku. Bila kukenang, sudah pasti hanyalah penyesalan yang menggumam.
“Semestinya ibu sadar. Tak lagi mengumbar air mata seperti ini.”
“Buat apa menelan pil-kapsul dari pengobatan jalan, kalau ibu masih terus dan terus sesenggukan. Percuma! Air mata hanya akan menyiksa ibu. Dan ibu akan semakin dekat dengan kematian.” Persis seperti itulah ucapan bernada amarah yang pernah kulontarkan terhadap mendiang. Menurut persepsiku dulu, memang itulah satu-satunya hal yang mungkin bisa membuatnya berubah untuk tak lagi menangis meratapi nasib. “Ibu terlalu menahbiskan diri sebagai makhluk paling sengsara di dunia ini,” ucapku lagi dan ia semakin tersedu-sedan.
Apalah yang bisa hamba lakukan kecuali penyesalan.
Langkahku terhenti. Disamping persendian terasa pegal, kesakralan rumah seorang janda menarik kedua mataku untuk melihat sebentar. Rumah inilah yang setahun silam senantiasa ramai oleh irama jazz, celetuk yang diikuti gelak tawa kecentilan seorang perempuan, serta cumbu mesra sang suami. Dari atas hingga bawah, bangunan rumah ini mirip seperti miniatur perhotelan. Sayang saja tiada kolam renang di dalamnya. Namun, semua berubah ketika sang suami meninggal secara begitu mendadak. Rumah menjadi sepi, kerlap-kerlip pendaran lampu yang dulunya bertebaran di sana-sini, hanya menyisakan beberapa penerangan pada ruang bagian depannya saja. Pun alunan jazznya, tak mengalun lembut seperti dulu. Kadang-kadang saja terdengar alunan disko yang amat tajam dari ruang tengah. Perempuan itu janda sebatang kara.
Aku yang berkehendak merogoh kopyah di dalam saku celana, mendadak saja terkagetkan oleh sebuah suara. Keras, mirip teriakan seorang perempuan. Dan rumah inilah sumber suara tersebut. Secepat kilat rumah hotel tersebut berubah gulita. Lampu penerang ruang depan padam. Ada apa? Aku tak tahu. Di samping bangunan rumah hotel, ilalang berkilau memantulkan sinar purnama. Ah, suara perempuan itu, semakin serak saja. Belum lagi muncul bunyi parau pecahan perabotan rumah tangga, PRAANGG!
Sebenarnya tidak ada rasa kaget sama sekali di hatiku. Ketika dadaku kusentuh, ah, jantungku masih berdegup stabil. Suara perempuan itu, aku dekati perlahan-lahan. Menyentuh handel yang tidak di kunci, mendadak kutemukan rasa yang mengetuk-ngetuk jiwaku. Handel ini tidak di kunci, pintu gerbang pun terbuka lebar seperti sudah ada orang yang masuk mendahului diriku. Aku tarik dan kudorong saja daun pintu tersebut. Masuk rumah hotel tersebut, darahku mendidih tak karuan. Begitu pula bulu-bulu leherku, seperti ada yang meniup memainkannya. BRAAKK! Pintu tertutup dan kedua tanganku tercengkeram.  Aneh, telapak tangan tersebut memborgol kedua tanganku. “Hai-hai. Siapa kamu? Hai-hai!” pertanyaan yang aku keluarkan tak terjawab sama sekali. Dan barulah kurasakan keresahan yang tak bisa ditahan lagi. Semakin kencang saja jantung ini bergetar, darah mengalir deras, nalar kacau, dan kedua tangan ini sangat
Ketika lampu penerang sudah difungsikan, aku sudah mulai bisa mengatur nafas perlahan-lahan. Ada yang bersimpuh penuh tunduk di hadapanku. Bersujud-sujud seperti sedang menjalani sebuah ibadat. “Tuan, sudilah, Tuan menemani saya untuk malam ini saja.” Perempuan janda pemilik rumah hotel ini memohon dengan suara yang cukup serak. Air matanya hendak turun. Dan menatapnya, mengingatkanku atas tatapan mata istriku yang pernah pula tersedu-sedu memohon kepadaku tentang sebuah
“Apa maksud anda?” “Saya sudah beristri, dan sekarang dia kutinggalkan sendiri di atas ranjang.”
“Hk, hks, hks….”
“Nona cantik jawab pertanyaan saya!” dan aku semakin tak kuasa menahan tangisnya. Perempuan janda ini benar-benar cantik. Air mata yang mengalir lantas membasah di kedua pipinya, membuatnya semakin terlihat lembut saja. Mengapa ia tak menjawab pertanyaan yang kulontarkan itu. Kepalanya merunduk. Hampir saja ia mencium kedua kakiku. Ah, perempuan ini, tak kuat aku melihat air matanya. Aku tekuk lututku. Kutemani ia duduk.
“Saya tak sehina yang Tuan pikirkan. Tak mungkin saya mengajak Tuan kumpul layaknya suami-istri membantai dinginnya malam. Saya tak sehina itu, Tuan!” merengeklah ia di hadapanku. Sedikit aku menduga, perempuan ini agak terluka dengan lontaran yang kuucap sebelumnya.
“Maaf, nona. Anda tak usah berperasangka seperti itu. Saya yakin anda perempuan baik-baik. Tapi, ada maksud apa nona memborgol saya seperti
“Sebelumnya, maaf! Tapi mohon, Tuan terima penuh kesadaran apa yang saya ucapkan!” ia diam sejenak. Mengusap air mata, dan berlanjutlah ia
“Sengaja saya berteriak minta tolong kemudian memborgol tangan Tuan. Saya sengaja memecahkan perabot dapur agar muncul bunyi parau dan orang yang melewati rumah saya terkagetkan. Sengaja saya melakukan itu, sebab inilah usaha terakhir saya guna peroleh sosok yang sudi menemani saya malam ini. Dua usaha saya yang lalu gagal. Malah saat saya membakar kain-kain kusam pertanda ada kebakaran di rumah saya, Bpk. Rt. Membentak-bentak saya tak menerima alasan yang saya utarakan. Bahkan sempat beliau berucap kotor. Saya sedih!” ia mengambil nafas, dan akupun
“Saya ketakutan malam ini. Sebab malam inilah seratus harinya almarhum suami saya. Dan hendaknya Tuan ketahui, irama disko yang kadang kala saya bunyikan keras-keras itu adalah pengusir rasa takut yang sering memaksaku untuk tidur di ruang tamu ini. Saya tak berani tidur di kamar suamiku, Tuan. Dan bersama irama disko itu aku memejamkan mata. Saya ketakutan malam ini, sudilah tuan menemani saya tidur. Semalam saja, tuan!” Duh, sungguh tak hanya kedua tanganku yang terborgol, namun, air mata perempuan janda ini pun telah memborgol niatku guna membesuk ibu malam-malam. Dan semalam sungguh aku berdiam di rumah hotel ini. ***
Lamongan, 2 Juli 2007
1)Menafsirkan penggalan terakhir
puisi Goethe, “Nyanyian Ruh-ruh di Atas Air”
yang diterjemahkan oleh Agus R. Sarjono.

Tags:

Written by

Penulis buku, tinggal di Yogyakarta. Twitter: @Naqib_Najah

  • Punya Materi Bagus Tapi Tidak Ada Waktu Menulis!

    Banyak dosen yang tidak mempunyai waktu untuk menulis, padahal, mereka punya materi yang sangat bermanfaat.

  • Saya menulis buku biografi!

    Saat ini buku sudah dilirik sebagai media dokumentasi hidup yang sangat positif. Anda butuh penulisan biografi?

  • Berapa Biaya Hidup di Jogja? (Feature Radio)

    Ini dia pertumbuhan biaya hidup di kota pelajar ini. Pengin tahu lebih lanjut?

  • Jogja Kian Macet! (Esai Foto)

    Januari 2014 lalu saya beserta tim membuat esai foto menyoroti pembangunan hotel dan tingkat kemacetan....

  • Pengin Bikin Iklan Produk dalam Bentuk Video? Murah Kok!

    Iklan dengan bentuk video ternyata terkesan beda. Banyak orang melakukan hal ini, tapi... berapa sih biayanya?

 

Paraqibma Video Project


Layaknya anak-anak seusianya, Akila sering menemukan masalah saat proses belajar. Mulai dari susah diminta mengerjakan PR, hingga kejenuhan dengan sistem belajar.

Apa yang terjadi pada Akila selanjutnya? Simak video iklan berikut: Quamon, mini project by Paraqibma.

Artikel Bisnis


Dizipoint menjadi jembatan antara pebisnis dan pasar online. Selain plaza online, Dizipoint juga menyediakan artikel-artikel bisnis bagi pengunjung.

Saya menulis artikel-artikel bisnis untuk plaza online tersebut. Silakan login di sini untuk membaca artikelnya.

New Aquarich (Coming Soon)

Copyright © New Paraqibma | Designed by Templateism.com