Ma’af, bila
aku berlaku seperti Lan Fang.1) Tak menyamakan perempuan yang kupuja layaknya
bunga. Seharum apapun perempuan itu, tak sekali-kali aku menganggapnya sebagai
mawar, anggrek, melati, atau sedap malam sekalipun. Sedap Malam yang ingin
sekali kucium malam ini. Ketika aku merindu suasana nakal remang-remang kota.
Kudekati bunga itu, sembari kudengarkan lentingan suaramu yang tak jua pergi.
***
Aku hanya
menyamakanmu seperti matahari. Bahkan, bila kau sudi kupanggil “Hari”, atau,
“Mata”, maka aku akan cepat berlari menemui bapak kepala desa. Aku urus
pergantian akte kelahiranmu, supaya namamu yang terkesan singkat namun feminis
itu berubah. Dan tertulislah, MATAHARI.
“Maukah kau
kupanggil Matahari?” diam saja kedua bibirmu. Membuatku harus menguras nyali
untuk mengulangi pertanyaan itu, “mau kau kupanggil Mata, emm, atau, Hari?”
Sah-sah saja
kau menganggapku sok berlaku puitis di hadapan seorang perempuan. Berhak kau
hujatkan sebutan pembual kepadaku. Tapi kau selalu diam. Dan aku tak paham
dengan tingkah bisumu itu. Apa kau tersinggung? Bukankah ‘Hari’ adalah
sebutan seorang lelaki, aku mencoba menebak. Namun, bukan tanpa sebab aku
menganggapmu sebagai matahari. Bukan pula karena aku kehabisan akal untuk
menganggapmu seperti apa.
“Jujur,
hanya matahari yang pantas kujadikan sebutan atas tabiat luhurmu.” Sekalipun
kau diberkahi kelembutan yang memang sangat santun, anggun, tapi, aku masih
segan untuk menyamakanmu dengan air. Air sungai, air bengawan, air embun, aku
tak sudi.
Daripada
air, alangkah baiknya kupanggil dirimu api. Bentakanmu kadang-kadang membuat
bulu kudukku meranggas, hati ingin lepas. Seperti cerita orang kafir yang
berdebar-debar hatinya memperoleh hidayah lewat suara adzan. Atau badai, ya,
mending kupanggil dirimu badai. Air terlalu banyak pasrah. Sedang dirimu,
selalu bertindak gesit, -namun, masih dalam batasan sopan- lincah, penuh
semangat sewaktu menjalankan aktivitas.
“Aku ingin
menghormati almarhum ayahku!” begitu mengenangnya almarhum ayahmu,
sampai-sampai tak sekalipun kau beri aku kesempatan untuk memanggilmu matahari.
Tidak-tidak,
wajar-wajar saja kau bertindak seperti itu. Seorang anak pastinya selalu
menganggap nama pemberian orang tuanya sebagai harta waris yang tak ternilai.
“Tapi,
dirimu matahariku.” Matahari yang selalu bertengger di atas puncak jiwaku.
Menerangiku hingga batas di mana aku bersembunyi dari incaran mata Tuhan. Kau
bujuk aku untuk keluar. Dan kau ucapkan dengan bibir yang pucat, “Tuhan tak
sejahat yang kita kira.”
***
Bagaimana
pandanganmu, kawan, bila seorang lelaki nakal yang suka bertingkah di remang-remang,
akhirnya menaruh hati kepada sosok perempuan. Bukan perempuan biasa. Bukan
perempuan yang sering kau dapati begeliat kegenitan di pinggir jalan. Memakai
celana ketat, rambut berantakan, parfum yang beradu dengan aroma rokok, dan
melambai-lambaikan tangannya kepada siapa pun yang mempunyai kejantanan.
Perempuan
yang kugandrungi ini anak buah Tuhan. Kedua bibirnya yang pucat kerap menyebut
asma Tuhannya. Dan membuat lelaki yang terbiasa bercinta secara kasar ini jatuh
hati. Mengejarnya semacam singa mengejar kelinci.
Bodoh sekali
diri ini. Mengapa harus menjatuhkan diri bersusah-payah hanya untuk merebut
hatimu, gadis! Bukankah seribu perempuanpun bisa kudapat meski hanya dalam
kurun waktu semalam. Namun, demikianlah yang terjadi dalam diriku. Ya-ya, aku
menjatuhkan hati, menurunkan pamor kejantanan hanya gara-gara perempuan
penyebut asma Tuhan.
“Seterkutuk
apapun, cinta adalah cinta. Jadi, jangan kau kutuk cinta yang paling terkutuk
sekalipun!” 2) ucapku ketika tu.
Kau tolak
aku dengan tegas. Pergelangan tanganmu yang berontak, akhirnya kulepas. Melihat
sorot matamu, bisa kupastikan kau sedang dirundung kesal mendengar ucapanku
itu. Lebih-lebih, aku mulai berulah, memperlakukanmu seperti aku memperlakukan
perempuan-perempuan di remang-remang.
“Aku tak
mengerti apa maksud, Mas!”
Ah,
bagaiamana kau mengerti. Berapa kali kau mengelak, tanpa kau tahu berapa energi
yang sudah aku habiskan hanya untuk berkata santun, berucap halus di hadapan
seorang gadis sepertimu. Ketahuilah, gadis! Bagiku, berucap santun lebih
menghabiskan energi daripada bersuara keras-keras membentak orang.
Mestinya kau
sedikit mengerti, di awal-awal ketertarikanku, aku telah banyak menghabiskan
waktu hanya untuk berfikir bagaimana berkomunikasi dengan gadis anak buah
Tuhan. Tapi, dirimu malah melangkah jauh, tak mau peduli dengan ucapan tulus
itu. Untung saja, beberapa hari setelah berulangkali kuucapkan kata-kata yang
sama, kata-kata yang seorang kawan pasti tertawa bila mendengar bunyi kalimat
tersebut, kau sudi berhenti sejenak. Bola matamu teduh. Sambil menenteng buku
setebal lenganku, kau berucap, “cinta mas terkutuk. Dan Tuhanlah yang mengutuk
cinta mas!”
Oh, jadi
Tuhan yang mengutuk cintaku. Pantas saja cintaku tertolak. Dirimu yang adalah
gadis anak buah Tuhan, terlalu tunduk terhadap kebijakan Tuhanmu.
“Kau anak
buah Tuhan, ya? Pantas saja tak berani bertindak macam-macam.” Mendengar kata
Tuhan, aku tak lagi tertarik membahas bagaimana perasaanmu terhadapku.
“Sudah
berapa tahun kau menjadi anak buah Tuhan?” hem, mulutku yang ringan. Tak bisa
kusadari, apa sebenarnya yang membuatku begitu tertarik untuk mencemooh
kedudukanmu sebagai anak buah Tuhan itu.
“Hey, jangan
kau hina Tuhanku!” angin siang memainkan ujung jilbabmu. Kedua matamu tajam,
dan tak pernah kudengar ucapan sekeras ini dari perempuan anak buah Tuhan yang
selalu kutunggu kepulangannya dari kampus.
“Sekali
lagi, jangan kau coba-coba berucap seperti itu!”
“Hebat-hebat.
Bisa marah juga, dirimu gadis. Tapi, kau salah, gadis. Aku tak menghina
Tuhanmu. Aku tak pernah menghina Tuhan. Sebab, camkan dalam dirimu, aku tak
mempunyai Tuhan. Hah! Buat apa Tuhan itu!”
“Lelaki,
jaga mulutmu! Siapa yang memelihara alam ini kalau bukan Tuhan. Bahkan, yang
menggerakkan kedua kakimu, tak lain adalah Tuhan.” Untung kau cepat-cepat
pergi. Bila tidak, mungkin kedua tanganku yang bergetar-getar geram ini akan
layangkan dua atau tiga tamparan ke mulutmu. Kalimat yang kau ucap sangatlah
pedas.
***
Aku tak lagi
tertarik menunggumu di jalan sepi itu. Aku tak perlu berdiri cemas menunggu
kepulanganmu. Biasanya, kau berbaju biru muda, berjilbab putih atau hitam
dengan corak bunga mawar. Terkadang juga kau memakai kaos, namun, jilbab yang
menutup di kepalamu terlalu lebar. Tak sempat kulihat buah kewanitaanmu itu.
Ma’af saja
bila aku terlalu lancang, di hadapan rumah kontrakanmu kini aku berdiri.
Sesekali aku duduk di atas bangku kecil yang terletak di samping pintu rumahmu.
Dan, barulah aku tahu, gadis anak buah Tuhan mempunyai kepribadian yang sangat
aneh. Bila kau mendapatinya marah kemarin hari, maka jangan dikira ia masih
memendam amarah untuk hari ini, kawan. Ia datang, memakai jilbab hitam seperti
yang kuceritakan tadi. Wajahnya yang pucat, pertanda ia marah melihatku. Namun
aku salah. Ia tidak marah, kawan. Lihatlah, apa yang ia bawa seusai mengucapkan
kalimat arab yang bisa kuingat berawalan ‘salam-salam’ itu. Tak bisa kuduga, ia
masuk ke dalam sedang tak lama kemudian kedua tangannya menenteng secangkir teh
hangat. Hah, dasar anak buah Tuhan.
Ia mengambil
kursi plastik dan duduk agak jauh dariku. Beginikah adat gadis anak buah Tuhan
bila menemui lelaki.
“Aku
mencintaimu, sumpah!” Mulailah aku mengulangi kata-kata yang tentu membuat
seorang kawan kenyang akan tawa.
Kau
tersenyum, dan betapa senyum inilah yang selalu kukenang di kemudian hari.
Dengan sedikit berat, kau menjawab, “bila mas ingin tidak merugi, maka jangan
kepadaku mas mengucap kata cinta.”
“Hah, lucu
benar. Bagaimana aku mau mengucap kata cinta kepada gadis selain kamu. Untuk
melihat perempuan lain saja aku wegah, ya, aku sedikit bosan
menatap raut perempuan semenjak tahu dirimu yang berjlbab ini.”
“Mau mas aku
tunjukkan, siapa yang pantas mas cintai?” Kau diam. Menundukkan pandang seraya
kau basahi bibirmu yang kering itu dengan lidahmu. Sepertinya kau sakit,
berulangkali kau basahi bibirmu, namun, tak lama kemudian kering lagi dan bisa
dilihat tingkat kecapean tubuhmu.
“Tuhan, mas.
Hanyalah Tuhan yang pantas mas cintai. Dan mas tidak akan merugi, sebab Tuhan
tak seperti diriku yang suka menolak cinta seseorang. Tuhan pasti membalas
cinta mas!” Lantas kedua bibirmu dirambati cairan merah. Kau batuk, batuk yang
sangat berat. Badanmu tergoncang-goncang. Sempat kulihat, darah bibirmu melober
di atas kerudung hitam itu. Aku mendekat. Langkahku yang gontai menumpahkan teh
hangat di atas meja. Kudekati dirimu, namun, gadis anak buah Tuhan
memerintahkanku untuk pergi. Lambaian tanganmu memberi isyarat agar aku
menjauh, dan tak mencoba-coba menyentuh tubuhmu secenti pun.
“Tak usah,
mas. Lebih baik mas pulang. Pulang saja, mas!” Aku tak tega, kawan. Baru kali
ini muncul rasa kasihan pada jiwa lelaki yang biasa meningkahi perempuan secara
kasar.
***
Keesokannya
aku tak mau mendekat kepadamu, gadis. Biar dari balik beringin besar ini aku
memerhatikanmu pulang melewati jalan sepi itu. Bukan karena aku sudah menyerah,
namun, aku tak mau merasakan sesuatu yang sangat aneh seperti kemarin hari.
Sesuatu yang lebih pantas dimiliki perempuan. Aku tak mau merasakan iba. Rasa
kasihan dalam jiwaku hanya untuk seorang ibu yang tak henti-henti menangisi
anaknya sewaktu malam. Itulah ibuku, wanita yang semestinya tak aku durhakai
sesadis itu, gadis. Toh, untuk menikmati matahari, kita butuh jarak yang
terlalu dekat.
Tapi,
bertahan beberapa hari di balik beringin ini, membuatku bosan, toh akhirnya kau
tahu bahwa aku memantaumu secara sembunyi-sembunyi. Mungkin Tuhanmu yang
memberi tahu hal ini. Kau datang mendekat ke arah beringin. Aku tak bisa
berulah, dan kaupun mengajakku bertamu ke rumah kontrakanmu. Aneh, kawan. Gadis
anak buah Tuhan memang aneh.
Di tengah
perjalanan kita menuju rumahmu, kau ajarkan, bahwa Tuhan selalu mengasihi
hamba-Nya. Bila hamba melangkah sejengkal, maka Tuhan mendekat seukuran
bentangan tangan. Bila hamba semeter melangkah, maka Tuhan mendekat lebih dekat
lagi. Hingga sampai pada suatu saat, di mana aku mengenal arti mengasihi. Dan
berubahlah aku tak lagi meningkahi perempuan secara kejam di remang-remang.
Gadis anak
buah Tuhan menyihirku dengan kalimat Subhanallah. Dengarkan, kawan,
gadis anak buah Tuhan itu mengajarkanku satu mantra ajaib, “subhanalloh”.
Ya, bunyinya singkat, “Subhanalloh!”
Seluruh
tubuhku bergetar, kedua mataku tak tahu menatap apa, darahku memuncak, dan tak
lama setelah itu, aku seperti melayang tak menginjak bumi. Ya, mantra ajaib
yang diajarkan gadis anak buah Tuhan sangatlah dahsyat. Dan mulailah aku
menyebutmu sebagai MATAHARI. Matahari yang tak ditakdirkan Tuhannya untuk
bertengger lama di kehidupan ini.
***
Baru kali
ini aku bisa menyentuh tubuhmu. Di balik lilitan kain kafan, kuterima tubuhmu
dan kurebahkan dirimu di atas tanah. Membuka tali pocong bagian kepala, rasanya
ingin sekali kutemui siapa malaikat yang mencabut nyawamu, gadis. Namun,
tidak-tidak, aku telah mengenal Tuhan, dan seperti katamu, Tuhan tak suka
dengan hamba yang bertindak kasar.
Dia pergi,
justru ketika aku sudah menyentuh kasih Tuhan. Pada episode sore, perjalanan
menuju kampung perdalaman, rihlah dakwah dia menyebutnya, gadis matahari
itu tergelincir sebuah jurang, mobill yang naas, korban berjatuhan. Dan ini
kesempatan berharga, aku mengumandangan adzan, di lahd-mu.
Ah,
matahari. Kumohon kau tak menolak bila kusebut Masyitoh. Semenjak kepergianmu,
aku tak lagi mengenangmu sebagai matahari. Masyitoh, ya, Masyitoh, tukang sisir
anak-anak Fir’aun yang sewaktu kau bercerita tentang penderitaannya, kulihat
kedua bibirmu kering, wajahmu pucat. Dan bila di antara kalian, kawan, ada yang
bertanya siapa sosok Fir’aunnya, maka tak segan-segan akan kujawab, “akulah
fir’aun yang melayang-layang dengan subhanallah!”
Lamongan-Malang Mei 2008
(Teruntuk Lan Fang, semoga hari yang dinamakan
pertemuan itu segera tiba).
Catatan :
1) Dalam
Cerpen ‘Yang Liu’, Lan Fang menceritakan bagaiamana ia tak
menyebut perempuan yang dipujanya sebagai bunga.
2) Penggalan kalimat Triyanto
Triwikromo dalam cerpennya, Cinta Sepasang Kupu-Kupu