Kamis, 01 Mei 2014

Perempuan Anak Buah Tuhan, Matahari, dan Fir’aun

Share & Comment

Cerpen: Naqib Najah
Ma’af, bila aku berlaku seperti Lan Fang.1) Tak menyamakan perempuan yang kupuja layaknya bunga. Seharum apapun perempuan itu, tak sekali-kali aku menganggapnya sebagai mawar, anggrek, melati, atau sedap malam sekalipun. Sedap Malam yang ingin sekali kucium malam ini. Ketika aku merindu suasana nakal remang-remang kota. Kudekati bunga itu, sembari kudengarkan lentingan suaramu yang tak jua pergi.
***
Aku hanya menyamakanmu seperti matahari. Bahkan, bila kau sudi kupanggil “Hari”, atau, “Mata”, maka aku akan cepat berlari menemui bapak kepala desa. Aku urus pergantian akte kelahiranmu, supaya namamu yang terkesan singkat namun feminis itu berubah. Dan tertulislah, MATAHARI.
“Maukah kau kupanggil Matahari?” diam saja kedua bibirmu. Membuatku harus menguras nyali untuk mengulangi pertanyaan itu, “mau kau kupanggil Mata, emm, atau, Hari?”
Sah-sah saja kau menganggapku sok berlaku puitis di hadapan seorang perempuan. Berhak kau hujatkan sebutan pembual kepadaku. Tapi kau selalu diam. Dan aku tak paham dengan tingkah bisumu itu. Apa kau tersinggung? Bukankah ‘Hari’ adalah sebutan seorang lelaki, aku mencoba menebak. Namun, bukan tanpa sebab aku menganggapmu sebagai matahari. Bukan pula karena aku kehabisan akal untuk menganggapmu seperti apa.
“Jujur, hanya matahari yang pantas kujadikan sebutan atas tabiat luhurmu.” Sekalipun kau diberkahi kelembutan yang memang sangat santun, anggun, tapi, aku masih segan untuk menyamakanmu dengan air. Air sungai, air bengawan, air embun, aku tak sudi.
Daripada air, alangkah baiknya kupanggil dirimu api. Bentakanmu kadang-kadang membuat bulu kudukku meranggas, hati ingin lepas. Seperti cerita orang kafir yang berdebar-debar hatinya memperoleh hidayah lewat suara adzan. Atau badai, ya, mending kupanggil dirimu badai. Air terlalu banyak pasrah. Sedang dirimu, selalu bertindak gesit, -namun, masih dalam batasan sopan- lincah, penuh semangat sewaktu menjalankan aktivitas.
“Aku ingin menghormati almarhum ayahku!” begitu mengenangnya almarhum ayahmu, sampai-sampai tak sekalipun kau beri aku kesempatan untuk memanggilmu matahari.
Tidak-tidak, wajar-wajar saja kau bertindak seperti itu. Seorang anak pastinya selalu menganggap nama pemberian orang tuanya sebagai harta waris yang tak ternilai.
“Tapi, dirimu matahariku.” Matahari yang selalu bertengger di atas puncak jiwaku. Menerangiku hingga batas di mana aku bersembunyi dari incaran mata Tuhan. Kau bujuk aku untuk keluar. Dan kau ucapkan dengan bibir yang pucat, “Tuhan tak sejahat yang kita kira.”
***
Bagaimana pandanganmu, kawan, bila seorang lelaki nakal yang suka bertingkah di remang-remang, akhirnya menaruh hati kepada sosok perempuan. Bukan perempuan biasa. Bukan perempuan yang sering kau dapati begeliat kegenitan di pinggir jalan. Memakai celana ketat, rambut berantakan, parfum yang beradu dengan aroma rokok, dan melambai-lambaikan tangannya kepada siapa pun yang mempunyai kejantanan.
Perempuan yang kugandrungi ini anak buah Tuhan. Kedua bibirnya yang pucat kerap menyebut asma Tuhannya. Dan membuat lelaki yang terbiasa bercinta secara kasar ini jatuh hati. Mengejarnya semacam singa mengejar kelinci.
Bodoh sekali diri ini. Mengapa harus menjatuhkan diri bersusah-payah hanya untuk merebut hatimu, gadis! Bukankah seribu perempuanpun bisa kudapat meski hanya dalam kurun waktu semalam. Namun, demikianlah yang terjadi dalam diriku. Ya-ya, aku menjatuhkan hati, menurunkan pamor kejantanan hanya gara-gara perempuan penyebut asma Tuhan.
Seterkutuk apapun, cinta adalah cinta. Jadi, jangan kau kutuk cinta yang paling terkutuk sekalipun!” 2) ucapku ketika tu.
Kau tolak aku dengan tegas. Pergelangan tanganmu yang berontak, akhirnya kulepas. Melihat sorot matamu, bisa kupastikan kau sedang dirundung kesal mendengar ucapanku itu. Lebih-lebih, aku mulai berulah, memperlakukanmu seperti aku memperlakukan perempuan-perempuan di remang-remang.
“Aku tak mengerti apa maksud, Mas!”
Ah, bagaiamana kau mengerti. Berapa kali kau mengelak, tanpa kau tahu berapa energi yang sudah aku habiskan hanya untuk berkata santun, berucap halus di hadapan seorang gadis sepertimu. Ketahuilah, gadis! Bagiku, berucap santun lebih menghabiskan energi daripada bersuara keras-keras membentak orang.
Mestinya kau sedikit mengerti, di awal-awal ketertarikanku, aku telah banyak menghabiskan waktu hanya untuk berfikir bagaimana berkomunikasi dengan gadis anak buah Tuhan. Tapi, dirimu malah melangkah jauh, tak mau peduli dengan ucapan tulus itu. Untung saja, beberapa hari setelah berulangkali kuucapkan kata-kata yang sama, kata-kata yang seorang kawan pasti tertawa bila mendengar bunyi kalimat tersebut, kau sudi berhenti sejenak. Bola matamu teduh. Sambil menenteng buku setebal lenganku, kau berucap, “cinta mas terkutuk. Dan Tuhanlah yang mengutuk cinta mas!”
Oh, jadi Tuhan yang mengutuk cintaku. Pantas saja cintaku tertolak. Dirimu yang adalah gadis anak buah Tuhan, terlalu tunduk terhadap kebijakan Tuhanmu.
“Kau anak buah Tuhan, ya? Pantas saja tak berani bertindak macam-macam.” Mendengar kata Tuhan, aku tak lagi tertarik membahas bagaimana perasaanmu terhadapku.
“Sudah berapa tahun kau menjadi anak buah Tuhan?” hem, mulutku yang ringan. Tak bisa kusadari, apa sebenarnya yang membuatku begitu tertarik untuk mencemooh kedudukanmu sebagai anak buah Tuhan itu.
“Hey, jangan kau hina Tuhanku!” angin siang memainkan ujung jilbabmu. Kedua matamu tajam, dan tak pernah kudengar ucapan sekeras ini dari perempuan anak buah Tuhan yang selalu kutunggu kepulangannya dari kampus.
“Sekali lagi, jangan kau coba-coba berucap seperti itu!”
“Hebat-hebat. Bisa marah juga, dirimu gadis. Tapi, kau salah, gadis. Aku tak menghina Tuhanmu. Aku tak pernah menghina Tuhan. Sebab, camkan dalam dirimu, aku tak mempunyai Tuhan. Hah! Buat apa Tuhan itu!”
“Lelaki, jaga mulutmu! Siapa yang memelihara alam ini kalau bukan Tuhan. Bahkan, yang menggerakkan kedua kakimu, tak lain adalah Tuhan.” Untung kau cepat-cepat pergi. Bila tidak, mungkin kedua tanganku yang bergetar-getar geram ini akan layangkan dua atau tiga tamparan ke mulutmu. Kalimat yang kau ucap sangatlah pedas.
***
Aku tak lagi tertarik menunggumu di jalan sepi itu. Aku tak perlu berdiri cemas menunggu kepulanganmu. Biasanya, kau berbaju biru muda, berjilbab putih atau hitam dengan corak bunga mawar. Terkadang juga kau memakai kaos, namun, jilbab yang menutup di kepalamu terlalu lebar. Tak sempat kulihat buah kewanitaanmu itu.
Ma’af saja bila aku terlalu lancang, di hadapan rumah kontrakanmu kini aku berdiri. Sesekali aku duduk di atas bangku kecil yang terletak di samping pintu rumahmu. Dan, barulah aku tahu, gadis anak buah Tuhan mempunyai kepribadian yang sangat aneh. Bila kau mendapatinya marah kemarin hari, maka jangan dikira ia masih memendam amarah untuk hari ini, kawan. Ia datang, memakai jilbab hitam seperti yang kuceritakan tadi. Wajahnya yang pucat, pertanda ia marah melihatku. Namun aku salah. Ia tidak marah, kawan. Lihatlah, apa yang ia bawa seusai mengucapkan kalimat arab yang bisa kuingat berawalan ‘salam-salam’ itu. Tak bisa kuduga, ia masuk ke dalam sedang tak lama kemudian kedua tangannya menenteng secangkir teh hangat. Hah, dasar anak buah Tuhan.
Ia mengambil kursi plastik dan duduk agak jauh dariku. Beginikah adat gadis anak buah Tuhan bila menemui lelaki.
“Aku mencintaimu, sumpah!” Mulailah aku mengulangi kata-kata yang tentu membuat seorang kawan kenyang akan tawa.
Kau tersenyum, dan betapa senyum inilah yang selalu kukenang di kemudian hari. Dengan sedikit berat, kau menjawab, “bila mas ingin tidak merugi, maka jangan kepadaku mas mengucap kata cinta.”
“Hah, lucu benar. Bagaimana aku mau mengucap kata cinta kepada gadis selain kamu. Untuk melihat perempuan lain saja aku wegah, ya, aku sedikit bosan menatap raut perempuan semenjak tahu dirimu yang berjlbab ini.”
“Mau mas aku tunjukkan, siapa yang pantas mas cintai?” Kau diam. Menundukkan pandang seraya kau basahi bibirmu yang kering itu dengan lidahmu. Sepertinya kau sakit, berulangkali kau basahi bibirmu, namun, tak lama kemudian kering lagi dan bisa dilihat tingkat kecapean tubuhmu.
“Tuhan, mas. Hanyalah Tuhan yang pantas mas cintai. Dan mas tidak akan merugi, sebab Tuhan tak seperti diriku yang suka menolak cinta seseorang. Tuhan pasti membalas cinta mas!” Lantas kedua bibirmu dirambati cairan merah. Kau batuk, batuk yang sangat berat. Badanmu tergoncang-goncang. Sempat kulihat, darah bibirmu melober di atas kerudung hitam itu. Aku mendekat. Langkahku yang gontai menumpahkan teh hangat di atas meja. Kudekati dirimu, namun, gadis anak buah Tuhan memerintahkanku untuk pergi. Lambaian tanganmu memberi isyarat agar aku menjauh, dan tak mencoba-coba menyentuh tubuhmu secenti pun.
“Tak usah, mas. Lebih baik mas pulang. Pulang saja, mas!” Aku tak tega, kawan. Baru kali ini muncul rasa kasihan pada jiwa lelaki yang biasa meningkahi perempuan secara kasar.
***
Keesokannya aku tak mau mendekat kepadamu, gadis. Biar dari balik beringin besar ini aku memerhatikanmu pulang melewati jalan sepi itu. Bukan karena aku sudah menyerah, namun, aku tak mau merasakan sesuatu yang sangat aneh seperti kemarin hari. Sesuatu yang lebih pantas dimiliki perempuan. Aku tak mau merasakan iba. Rasa kasihan dalam jiwaku hanya untuk seorang ibu yang tak henti-henti menangisi anaknya sewaktu malam. Itulah ibuku, wanita yang semestinya tak aku durhakai sesadis itu,  gadis. Toh, untuk menikmati matahari, kita butuh jarak yang terlalu dekat.
Tapi, bertahan beberapa hari di balik beringin ini, membuatku bosan, toh akhirnya kau tahu bahwa aku memantaumu secara sembunyi-sembunyi. Mungkin Tuhanmu yang memberi tahu hal ini. Kau datang mendekat ke arah beringin. Aku tak bisa berulah, dan kaupun mengajakku bertamu ke rumah kontrakanmu. Aneh, kawan. Gadis anak buah Tuhan memang aneh.
Di tengah perjalanan kita menuju rumahmu, kau ajarkan, bahwa Tuhan selalu mengasihi hamba-Nya. Bila hamba melangkah sejengkal, maka Tuhan mendekat seukuran bentangan tangan. Bila hamba semeter melangkah, maka Tuhan mendekat lebih dekat lagi. Hingga sampai pada suatu saat, di mana aku mengenal arti mengasihi. Dan berubahlah aku tak lagi meningkahi perempuan secara kejam di remang-remang.
Gadis anak buah Tuhan menyihirku dengan kalimat Subhanallah. Dengarkan, kawan, gadis anak buah Tuhan itu mengajarkanku satu mantra ajaib, “subhanalloh”. Ya, bunyinya singkat, “Subhanalloh!”
Seluruh tubuhku bergetar, kedua mataku tak tahu menatap apa, darahku memuncak, dan tak lama setelah itu, aku seperti melayang tak menginjak bumi. Ya, mantra ajaib yang diajarkan gadis anak buah Tuhan sangatlah dahsyat. Dan mulailah aku menyebutmu sebagai MATAHARI. Matahari yang tak ditakdirkan Tuhannya untuk bertengger lama di kehidupan ini.
***
Baru kali ini aku bisa menyentuh tubuhmu. Di balik lilitan kain kafan, kuterima tubuhmu dan kurebahkan dirimu di atas tanah. Membuka tali pocong bagian kepala, rasanya ingin sekali kutemui siapa malaikat yang mencabut nyawamu, gadis. Namun, tidak-tidak, aku telah mengenal Tuhan, dan seperti katamu, Tuhan tak suka dengan hamba yang bertindak kasar.
Dia pergi, justru ketika aku sudah menyentuh kasih Tuhan. Pada episode sore, perjalanan menuju kampung perdalaman, rihlah dakwah dia menyebutnya, gadis matahari itu tergelincir sebuah jurang, mobill yang naas, korban berjatuhan. Dan ini kesempatan berharga, aku mengumandangan adzan, di lahd-mu.
Ah, matahari. Kumohon kau tak menolak bila kusebut Masyitoh. Semenjak kepergianmu, aku tak lagi mengenangmu sebagai matahari. Masyitoh, ya, Masyitoh, tukang sisir anak-anak Fir’aun yang sewaktu kau bercerita tentang penderitaannya, kulihat kedua bibirmu kering, wajahmu pucat. Dan bila di antara kalian, kawan, ada yang bertanya siapa sosok Fir’aunnya, maka tak segan-segan akan kujawab, “akulah fir’aun yang melayang-layang dengan subhanallah!”
Lamongan-Malang Mei 2008
(Teruntuk Lan Fang, semoga hari yang dinamakan pertemuan itu segera tiba).
Catatan :
1) Dalam Cerpen ‘Yang Liu’, Lan Fang   menceritakan bagaiamana ia tak menyebut perempuan yang dipujanya sebagai bunga.
2) Penggalan kalimat Triyanto Triwikromo dalam cerpennya, Cinta Sepasang Kupu-Kupu
Tags:

Written by

Penulis buku, tinggal di Yogyakarta. Twitter: @Naqib_Najah

  • Punya Materi Bagus Tapi Tidak Ada Waktu Menulis!

    Banyak dosen yang tidak mempunyai waktu untuk menulis, padahal, mereka punya materi yang sangat bermanfaat.

  • Saya menulis buku biografi!

    Saat ini buku sudah dilirik sebagai media dokumentasi hidup yang sangat positif. Anda butuh penulisan biografi?

  • Berapa Biaya Hidup di Jogja? (Feature Radio)

    Ini dia pertumbuhan biaya hidup di kota pelajar ini. Pengin tahu lebih lanjut?

  • Jogja Kian Macet! (Esai Foto)

    Januari 2014 lalu saya beserta tim membuat esai foto menyoroti pembangunan hotel dan tingkat kemacetan....

  • Pengin Bikin Iklan Produk dalam Bentuk Video? Murah Kok!

    Iklan dengan bentuk video ternyata terkesan beda. Banyak orang melakukan hal ini, tapi... berapa sih biayanya?

 

Paraqibma Video Project


Layaknya anak-anak seusianya, Akila sering menemukan masalah saat proses belajar. Mulai dari susah diminta mengerjakan PR, hingga kejenuhan dengan sistem belajar.

Apa yang terjadi pada Akila selanjutnya? Simak video iklan berikut: Quamon, mini project by Paraqibma.

Artikel Bisnis


Dizipoint menjadi jembatan antara pebisnis dan pasar online. Selain plaza online, Dizipoint juga menyediakan artikel-artikel bisnis bagi pengunjung.

Saya menulis artikel-artikel bisnis untuk plaza online tersebut. Silakan login di sini untuk membaca artikelnya.

New Aquarich (Coming Soon)

Copyright © New Paraqibma | Designed by Templateism.com