Bagaimanapun, otak kita menyimpan kelemahan. Intensitas kita terhadap satu bidang bisa saja menjebak sistem kerja otak pada kebutaan sebuah pandangan.
Sore hari di depan teras rumah, Bapak saya pernah melontarkan nasihat sederhana. Jika ingin hebat, rumusnya ya harus mendekat kepada orang-orang hebat. Nasihat itu ia lontarkan ketika tahu bidang kerja yang digeluti anaknya.
Tanpa perlu manggut-manggut mengiyakan omongan bapak, saya sebenarnya sudah menerapkan prinsip tersebut. Mendekat kepada penghuni langit ketujuh dengan sendirinya membuat kita pantas untuk menghuni kelas yang lebih tinggi. Prinsip ini, membawa konsekuensi tajam: akhirnya kita harus melakukan filter, menyeleksi kepada siapa berguru, kepada siapa kita mendengar, serta kepada siapa kita melihat. Konsekuensi seperti ini cukup sensitif. Sedikit saja salah paham, bisa-bisa berujung pada caci-maki. Berteman kok pilih-pilih.
Kenapa filter harus dilakukan? Karena otak kita punya kelemahan. Terlalu sering bermain di kandang kuda, akan melahirkan transisi sistem kerja otak kita. Ruang dalam otak kita sedikit terisi oleh habit seekor kuda.
Selasa, 8 Maret kemarin, saya mendapat kesempatan ngobrol dengan Ismail Basbeth. Bertempat di belakang rumahnya, ia menyampaikan berbagai macam topik perihal film, dunia kreativitas, dan prinsip. Momen ini sekaligus membuat saya merasakan de javu. Tahun 2008, periode awal berproses di dunia cerpen, saya bersama teman-teman sering bertamu ke rumah cerpenis senior, bertamu sekaligus berguru. Bedanya, aktivitas bertamu akhir-akhir ini lebih sering membidik para kreator film indie.
Di dalam sebuah proses, salah satu yang paling diharamkan adalah terlalu fokus pada satu poros pembelajaran. Berproses berarti sedang meraba. Tujuan meraba adalah untuk mengerti, memahami, dan menyimpulkan. Maka menjadi sangat ironi jika di tengah proses perabaan itu kita hanya rajin mengunjungi satu bidang. Bagaimaa bisa melakukan penyimpulan jika hanya melakukan observasi yang bersifat searah saja.
Karena intensitas perabaan (proses) yang hanya dalam satu bidang, kita bisa saja terjebak dalam fanatisme. Masalah-masalah seperti ini tidak lain karena setiap aktivitas mempunyai bahaya laten. Namanya saja laten, dengan sendirinya pasti susah terdeteksi oleh diri sendiri.
Fanatisme di dalam sebuah proses bentuknya bermacam-macam. Bisa dalam bentuk cinta buta terhadap satu bentuk karya (genre), bisa dalam bentuk cara untuk meraih goal-nya (prinsip), bisa juga dalam bentuk cara pandang.
Apa pun bentuknya, saya tidak suka dengan fanatisme--jika memang tanpa disadari saya terjebak dalam zona ini, maka doa saya adalah semoga secepatnya dientaskan.
Kenapa fanatisme tidak boleh dilakukan? Karena akan menyempitkan sebuah sudut pandang. Sementara, di dalam sebuah karya, sudut pandang menjadi salah satu kunci untuk meraih hasil maksimal.
"A fanatic is one who can't change his mind and won't change the subject," kata WInston Churcill.
Saya belum cukup banyak mendalami film-film Basbeth. Hanya beberapa saja. Namun dari sedikit ini, bisa ditarik kesimpulan ia orang hebat yang meletakkan unsur kecerdasan di dalam sebuah karyanya. Selalu ada yang beda. Smart.
Basbeth dengan gaya filmnya yang cukup mendalam, toh nyatanya tetap berkomentar demikian, "Kadang juga jeleh, kasihan sama orang-orang yang seumpama nadinya dibuka, isinya rol film semua."
Kalimat tersebut keluar untuk menjawab pertanyaan, "Untuk meriah nilai komersil dari proses berkarya seperti sampen gimana sih, Mas, caranya?"
Hingga lahirlah jawaban yang menjelaskan:
1. Ada orang yang hidup untuk film,
2. Ada orang yang hidup dengan film.
Dua kalimat di atas hanya beda kata untuk dan dengan saja. Artinya bisa Anda terjemahkan sendiri.
Orang pada zona pertama tidak serta merta mempunyai jaminan karyanya bakal dipuji-puji karena kecerdasan dalam salah satu aspek filmnya. Orang pada zona kedua pun demikian. Namun kondisi 'berjarak' kadang membuat seseorang mampu meraih keseimbangan.
"Sebenarnya yang sangat penting memang keseimbangan. Berkarya memang harus seimbang," tutur teman saya, di luar obrolan sore itu.
Seimbang berarti mampu memasukkan berbagai elemen di dalam karya yang sedang kita perjuangkan. Berkarya tidak harus dengan meluapkan egoisme kreatornya dengan menumpuk apa yang ia inginkan (dan dianggapnya sebagai sesuatu yang hebat). Seimbang, aspek ini selalu dituntut dalam berbagai macam bidang.
Memahami Basbeth dalam obrolan sore itu membuat saya semakin menggaris bawahi kata cerdas. Cerdas dalam menuangkan konten, cerdas juga dalam menjalani teknisnya.
"Waktu aku masih awal-awal bikin film, aku udah berani gandeng DOP yang sudah matang di bidangnya," tutur Basbeth. Ia mengesampingkan faktor pertemanan, namun yang lebih dicari adalah one step forward, yang membuatnya selangkah lebih depan ketimbang kompetitor lainnya. Prinsip ini match dengan nasihat Bapak saya sore hari itu.
Kadang bekerjasama dengan teman sendiri justru mematikan langkah kita, simpul saya akan apa yang diucapkan Basbeth. "Sebab tidak mudah nyari orang yang referensi serta pemahamannya sama seperti apa yang di kepala kita," akunya.
How to be smart? Saya tidak pantas menjawabnya. Namun mengasah 'software' yang kita miliki (dengan melihat, menyerap, dan membuat baru) menjadi langkah dasar untuk mencapai hal itu. Basbeth menyadari hal ini. Mengasah 'software', 'software', dan 'software'.
Sampai sejauh pertemuan saya dengannya yang cenderung dangkal (untuk taraf penyimpulan), saya melihat dia yang bukan dari background film secara akademisi, justru diselamatkan dari frame-frame yang menjebak seseorang pada langkah yang rumit.
Seperti apa yang tertulis di paragraf pembuka, otak manusia tetap menyimpan titik kelemahannya. Intensitas kita dalam membaca, memahami, menggeluti sebuah bidang, justru kadang menjerumuskan sistem kerja otak kepada yang rumit-rumit saja.
Yogyakarta, 9 April 2014
Untuk mengunjungi karya-karya Ismail Basbeth silakan berkunjung ke bosanberisik.wordpress.com/