Apakah kita harus menggantungkan segala
sesuatu pada hal yang kasat mata? Karena kita manusia penuh keterbatasan,
tidakkah mungkin lebih banyak hal yang mengitari kita dan itu tidak tertangkap
oleh kedua mata.
Prinsip kausalitas menempatkan manusia sebagai subjek yang mempunyai
keterkaitan erat dengan alam. Prinsip ini dengan sendirinya membawa kita pada
keyakinan, kita tidak sendiri. Banyak elemen di dunia ini yang berhubungan,
baik dalam konteks menguntungkan maupun sebaliknya.
Kausalitas
mengantarkan kita mengenal law of
attraction. Namun kausalitas, bagi beberapa orang—yang kebetulan memuja
kesunyian, mengantarkan juga pada prinsip tarik-menarik antara dirinya dengan
hal-hal yang tidak kasat mata (Theodorisme).
Film Her
(2013) memberi gambaran yang jelas. Seorang Theodore di tengah kehidupannya
yang sedikit antisosial, di tengah problem rumah tangga yang menerpanya,
membawanya bertemu dengan Samantha. Jangan dibayangkan nama terakhir ini adalah
perempuan dengan fisik yang bisa dilihat oleh kedua mata. Alih-alih manusia,
Samantha hanya sebuah software (OS) yang mampu berinteraksi aktif dengan
pemiliknya. Samantha mengandung elemen-elemen kesadaran layaknya manusia, hanya
saja, ia berada dalam dimensi software, tidak kasat mata.
Menonton film
Her—dengan kemasan roman dipadu konsep kehidupan futuristis—ibarat menyelami
beberapa refleksi psikologis seseorang.
***
Dalam
kehidupan sehari-hari, kita akan mencintai pot bunga yang kita pasang di teras
rumah karena keunikannya. Sebab pot bunga tersebut sudah berulangkali terlihat
oleh kedua mata, rasa cinta pun lahir. Kasus lain bisa saja tercermin dengan,
bagaimana kita mencintai jaket kulit, motor, mobil, rumah karena kenyamanan,
warna, atau bentuk yang dimilikinya. Sebab benda-benda tersebut terlihat dan
sesuai dengan harapan, rasa cinta pun menyusup dalam diri kita.
Kaitan cinta
dengan benda-benda yang terlihat oleh kedua mata sudah biasa kita temukan.
Bagaimana jika kita balik? Bagaimana jika cinta tidak harus dikaitkan dengan
hal-hal yang kasat mata?
Terjemahan cinta
yang digambarkan dalam film Her memberi arti, cinta kadang seperti keyakinan:
kita merasakannya walau dalam kadar tidak terlihat oleh kedua mata.
Hubungan
Theodore dengan Samantha hanya menjadi wakil dari sekian banyak kenyataan yang
kita rasakan. Theodore tidak sendiri. Sebab di dunia ini, banyak orang-orang
yang berperilaku sama: mencintai walau dalam batas tidak melihat sama sekali.
Pada
dasarnya, cinta adalah energi. Terlepas dari objek (dalam bentuk bunga,
perempuan, motor, jaket), cinta adalah sebentuk energi yang mempunyai power
untuk menjatuhkan atau membangkitkan pelakunya. Sampai pada batasan ini, kita
akan setuju bahwa cinta bisa dirasakan—walau dalam konteks tidak terlihat sama
sekali.
Saya jadi
ingat kutipan keluhan-keluhan yang sering dilontarkan beberapa teman. Dalam
kondisi belum berpasangan, di tengah kebutuhan memiliki partner hidup yang
cukup tinggi, kita sering menghibur diri dengan seolah-olah berbicara dengan
sosok pujaan kita. Sosok pujaan tidak harus dalam bentuk orang yang sudah kita
kenal. Seringkali, sosok pujaan justru kita kemas dalam bentuk bayang-bayang
yang belum pernah muncul dalam lingkup sosial yang kita miliki; ia bukan teman
kantor, ia bukan teman kuliah, ia bukan teman ngobrol, ia bukan teman
organisasi, dll.
“Aku mencintaimu.”
“Suatu saat
kita akan hidup bersama.”
“Kita akan
saling berbagi. Aku memenuhi kebutuhanmu, dan kamu mengisi celah yang ada dalam
diriku.”
Kalimat-kalimat
seperti di atas sudah cukup wajar terucap dalam hati seseorang, untuk mereka
yang belum pernah terlihat sama sekali.
Kembali,
cinta kadang seperti keyakinan. Ia terpupuk begitu kuat di dalam hati, tanpa
perlu konfirmasi kepada kedua mata apakah kita pernah melihatnya atau tidak. Di
saat kita sendiri, ketika kita sedang disudutkan oleh kenyataan—karena belum
mempunyai pasangan atau lainnya—kita berkesempatan menjadi Theodore. Kita
berkesempatan semakin dekat dengan diri sendiri lalu menjalin komunikasi dengan
energi yang terpancar berkat keyakinan. Energi, cinta, keyakinan.
Theodore
pernah menceritakan kondisinya dengan Catherine, mantan istrinya perihal rasa
cintanya dengan Samantha. Jawab Catherine saat itu, “Itu membuatku sedih. Kamu
tidak bisa menangani emosi yang nyata, Theodore.”
Namun dalam
kondisi yang lain, dengan rasa sedikit cemburu sebuah OS bernama Samantha
berbicara dengan Theodore, “Aku mengerti aku tidak memiliki tubuh. Namun aku
merasakan sakit.” Dan juga kalimat Samantha yang cukup reflektif, “Kita
sama-sama tercipta dari sebuah zat.” yang akhirnya menguatkan Samantha bahwa
hal yang terlihat atau nyata hanyalah factor dimensi.
Theodore
tidak bisa melihat Samantha bukan karena Samantha tidak nyata. Perbedaan
dimensi, ya, perbedaan dimensi. Kita yang mencintai bayang-bayang dalam bentuk
orang yang kita sukai, bukan berarti sosok tersebut tidak nyata. Kita mengenal
dimensi. Barangkali ia masih berada dalam ruang dan waktu yang tidak sama
dengan kehidupan kita saat ini. Namun apakah hal demikian membuat kita
menyurutkan keyakinan, energi, serta cinta yang sudah kita rasakan?
Apakah kita harus menggantungkan segala
sesuatu pada hal yang kasat mata? Karena kita manusia penuh keterbatasan,
tidakkah mungkin lebih banyak hal yang mengitari kita dan itu tidak tertangkap
oleh kedua mata.
Sampai batas
pemahaman saya akan Theodore, barangkali saya perlu mengurangi rasa keluh.
Barangkali saya tidak perlu lagi melontarkan kata, “Tapi kamu tidak pernah
terlihat sama sekali,” kepada energi, cinta, keyakinan yang selama ini membesuk
hari-hari yang saya jalani.
Sebab
Thedorisme (ajaran mencintai bayang-bayang) tidak lain adalah bentuk dari
komunikasi intrapersonal, mari meyakini energi yang terpancarkan pun memberi
dampak yang tidak merugikan.
Yogyakarta,
01 April 2014