-ditulis tahun 2006-
Astri
tersenyum lebar. Lesung pipinya nampak. Helai-helai rambutnya menari-nari
bersama angin. Ia benar-benar cantik. Lebih-lebih rangkaian melati dari emak
Jah mengalungi lehernya, pergelangan tangan kanan-kirinya, dan lingkaran
kepalanya yang agak basah. Ialah putri senja kala itu. Ditatapnya belantara
senja dengan tanpa menggeser pandang sedikitpun. Seperti hendak mencari sebutir
berlian di sana, pandangan Astri amat menembus gumpalan-gumpalan awan yang
mulai melebur. Benarkah bocah ini hendak menunggu kedatangan bidadari
kahyangan? Ah, siapa tahu bidadari itu akan mengajaknya pergi mengelilingi
surga.
Sayup-sayup
suara angin yang menggoyangkan bambu-bambu hijau dan membunyikan bunyi kryiiet
terdengar, mengiringi arus angannya. Dalam benaknya telah mengalir setitik
hasrat usang yang melulu memburunya di kesenyapan. Hasrat itu tak ubahnya mata
bumi, tak henti-henti mendidihkan lantas memeras otaknya. Hingga ia kerap
dibuatnya berlama-lama mengembara dalam khayal. Di bawah atapan senja,
berulangkali Astri melamun.
“Astri anak
orang gila,
Astri anak
orang gila,
Astri anak
orang gila…!” tiba-tiba hatinya tersentak. Lamunannya terhenti tak tahu sampai
mana. Nyanyian yang berisi olokan dari anak-anak seusianya itu utuskan perih.
Melukai batinnya tanpa ampun. Hingga turun dari kedua matanya tetesan-tetesan
bening, bagai embun.
“Astri,
masuk, ndok!” seruan emak Jah dari dapur. Mencoba menghindarkannya dari tusukan
lisan itu.
“Astri..!
Ayo ndok, telurnya hampir matang!” seolah ada sumbatan di kedua telinganya, Astri
masih diam. Ia menunduk. Kedua bibirnya terkunci dengan masygul.
“Ndok! itu
telurnya sudah matang.” Emak Jah mendekat. Lantas dirangkulnya pundak Astri,
pelan. Sebentar emak Jah memandang kerut wajah astri, kernyitan kening, dan
bibir cemberutnya. “Kasihan,” emak Jah mengkulum.
Senja menua.
Gumpalan-gumpalan awan melebur dengan keemasan. Kepakan-kepakan dara itu
meninggalkan Astri dalam tangis. Andai saja ada tawar-menawar dalam takdir
Tuhan, rasanya, betapa ingin ia tukarkan bertumpuk-tumpuk kepedihan hidupnya
dengan kebahagiaan. Ah, Tuhan, ia tak mengharap banyak, cukup secangkir
kebahagiaan saja untuk membuatnya sumringah tak cemberut seperti ini. Namun,
hidup sudah terlanjut wujud, dan ia tak bisa memberontak berkelit
sedikitpun atas keputusan Yang Kuasa.
“Ndok, ayo
makan!” bujuk emak Jah di tengah kesepian itu.
Astri masih
terdiam.
“Astri tidak
kasihan sama emak?” Astri memandang baju lusuhnya. Meremas-remasnya secara
kesal. Tak lama setelah itu ia menengadahkan pandang. Sepertinya senja di ufuk
sana mengirimkan setonggak ketenangan dalam jiwa Astri. Dan satu-dua katapun
muncul, “Astri ingin mati, Mak!”
“Hm..!”
keluar dengusan besar dari hidung emak Jah. Lekas-lekas perempuan itu
menyungging senyum. Lucu. Astri memang gadis kecil yang berperangai lugu,
wataknya yang mendatar, dan suka memendam harapan hingga menggunung. Kadang,
semua itu mengocolkan perut emak Jah. Dan beranda rumah bukanlah tempat asing
untuk mendengarkan opera konyol Astri.
“Katanya
Astri ingin menjadi peternak ayam hebat seperti wak Tamam.” Perempuan itu
mengelus rambut pirang Astri. Astri beridiri tegak. Belaian tangan emak Jah
lepas begitu saja. Kedua tangan Astri menggenggam batu-batu kerikil.
Pandangannya tajam, seolah dendam yang ia inginkan.
“Apa enaknya
punya ayam banyak, kalau olokan-olokan Ros, Emy, Guntur terus menyakiti hati
Astri!” seruan kerasnya membuat emak Jah menemukan lasak dalam posisi duduknya.
Tak satupun kata yang bisa ia ucap.
“Mak, Astri
ingin hidup bebas. Tidak terganggu dengan ejekan sombong mereka. Pokoknya Astri
bercita-citakan mati!” Astri masih tegang dengan jeritan hatinya. Tidak seperti
biasanya ia berbicara setegas ini. Beberapa hari sebelumnya, Astri senantiasa
memendam amarahnya di saat cibiran itu datang. Dan hanyalah sepatah tanya
yang muncul, “tapi Astri tidak gila, kan?!”
Emak Jah
bingung. Tak hanya ujung bibirnya yang tertutup, pikirannya pun tersumbat
dengan seruan-seruan Astri.
“Bocah lugu
ini benar-benar tersiksa.”
***
Malam
datang. Purnama pun terang di luar. Sorak ramai, nyanyian ceria para bocah,
serta bunyi trotok pedagang tahu menjadi bagian kala itu. Tetapi, Astri
melulu bersanding di samping emak Jah. Ia dengarkan dongeng klasik dari mulut
perempuan yang adalah ibunya sendiri.
“Emak Jah,
Astri tidak pa-pa kan bila bercita-citakan mati?” oh, Astri, masih saja kau
serbu ibumu dengan pertanyan-pertanyan tentang cita-cita konyolmu. Apa kau tak
tahu, bahwa kematian adalah perihal yang terlalu mudah untuk guyurkan
tangis? Dan kematian itulah satu-satunya perkara yang semua orang takuti. Maka
aneh sekali bila dirimu bercita-citakan mati, Astri.
“Astri, ndok
ayu! Mati itu bukan cita-cita. Tapi ajal bagi setiap makhluk yang hidup di
semesta ini. Jadi, meski Astri tidak bercita-citakan mati, ya, pasti ikut
merasakan mati juga.”
“Kalau Astri
mati kan enak. Tidak mendengar ejekan mereka. Dan Astri akan bahagia di sana,
selalu bercengkerama dengan almarhum man Nang.”
Semuanya
diam. Lantas, “Oh, ya, Astri masih menyimpan kenangan terakhir yang diberikan
man Nang. Emmm, sebuah kacamata. Kata man Nang harganya mahal, dan dibeli jauh
di kota. Waktu man Nang dagang kacang.” Astri yang riang dengan celotehnya,
sementara emak Jah diam dengan lembaran silam almarhum man Nang, saudara
kandung perempuan itu: di saat peluh wajah terus menyembab menahan panasnya
terik siang hari. Ketika kedua tangan lecet memegang gerobak dan mendorongnya
sampai muncul seorang pembeli. Di suatu siang, saat tangis bayi menjerit-jerit
tak kunjung henti, dan ialah Astri.
Hanya setetes
air mata yang turun. Emak Jah berusaha menahan desakan hatinya, meski sangat
sulit. Astri dengan bulatan matanya masih bermain dengan angan lugunya. Astri
bangkit dari kursi panjang di beranda itu. Tak tahu apa yang dilakukannya.
Astri masuk ke dalam dan emak Jah tak peduli, seperti juga Astri yang tidak
menggubris isakan pelan emak Jah. Mungkin tak tahu.
“Mak pantes,
tidak?”
“Terlihat
cantik tidak, Mak?”
“Tapi,
kayaknya kebesaran ya, mak!” ternyata kacamata yang ia ambil. Astri mencoba
memakai lantas bergaya ala model di depan emak Jah. Dan, apalah daya seorang
ibu, kendati berjuta keluh tersimpan di benaknya, masih saja ia sungging senyum
di hadapan Astri.
“Mak, kalau
bapak Sam pulang dari rumah sakit jiwa, bawa oleh-oleh buat Astri tidak?”
“Astri ingin
punya gelang tangan biru seperti milik Emy, mak!”
“Emak Jah.
Bapak Sam, kok lama sih sembuhnya. Memangnya gila itu penyakit parah, ya, Mak?”
Dengan
senyum menghibur, sekaligus obat penenang buat Astri, emak Jah menjawab. ”Pasti
bawa. Tapi, Astri tidak boleh sering-sering tanya tentang bapak!”
“Asyik!”
Astri riang, meloncat-loncat di depan emak Jah. Menggaduhkan malam yang mulai
sepi. Purnama sudah mencumbu gumpalan-gumpalan tipis di titik tengah. Dan
keramaian penduduk itu, berubah menjadi nyanyian-nyanyian hewan melata. Sudah
waktunya malam hadiahkan mimpi kepada seluruh penghuni bumi.
Emak Jah
mengkipas-kipaskan majalah usang dengan berat lumayan. Mengusir nyamuk yang
secara lancang mendekati wajah Astri. Sesekali ia tengadahkan pandang ke
atap-atap rumah. Menarik napas secara dalam. Kemudian memandang kembali gadis
yang sudah terbaring nyenyak itu.
Emak Jah
paham. Bahwa kebohongan yang ia buat sudah mendarah-daging pada jiwa Astri. Dan
Astri menjadikan kebohongan itu serupa kebenaran. Memang bapak Astri gila,
Astri pun memahami hal itu dari Yu’ Nur. Di suatu sore, ketika berbaris-baris
kembang Sepatu menari dengan syahdunya, Emprit hinggap mengais makanan, suatu
sore itu Astri melayangkan pertanyaan, “mak, Astri punya bapak, kan?” dan Emak
Jah selalu berkata, “ya!”
“Masih
hidup? Tanya Astri kemudian.
”Masih!”
jawab emak jah. Padahal, kenyataan kelam memedihkannya: bapak Sam mati ketika
Astri berumur satu tahun.
Pagi ini,
meski mendung, Astri masih memasang senyum. Lesung pipinya kembali nampak. Semalam
purnama benar-benar menghadiahkannya mimpi indah. Astri telah menerima gelang
biru dari bapak Sam.
“Bapak Sam
sudah sembuh, Astri!” penggalan kalimat itu bertiup memasuki telinga Astri.
Setiap kali Astri bergerak, seolah ada yang mengumandangkan kalimat itu di
hadapannya. Dan Astri, tak henti-henti memasang lesung pipi. Dalam mimpi itu,
bapak Sam berjanji akan kembali menemui Astri, entah kapan? Dan ia pun
dijanjikan akan mendapatkan dongeng cantik kelak darinya.
Mendung
semakin gelap. Astri mengayun pelan sepeda mungilnya. Baru saja emak Jah
menyuruhnya pergi ke rumah wak Tamam. Dengan hati-hati Astri menelusuri
licinnya tanah abang.
“Sryyit!”
Mendung yang
mengundang gerimis-gerimis kecil menggelincirkan pengendara motor yang terlihat
sangat tergesa-gesa. Laju gelincirnya cepat, dan pas, menyantap laju pelan
Astri, hingga…
Sekerumun
penduduk melingkar, mengelilingi lubangan lahd. Seorang gadis kecil terbaring
riang di sana. Impian senjanya kini tercapai. Astri siap mendengarkan dongeng
yang dijanjikan bapak Sam. Serta kedua tangannya sebentar lagi akan menerima
gelang biru, “seperti milik Emy, mak!”
Gerimis-gerimis
kecil menyejukkan keceriaan di benaknya. Di sudut lain, seorang ibu tengah baya
bercengkerama ria dengan pohon kecil yang hangus terbakar, tangan kanannya
memegang kaca mata imut. Dan memakaikannya di ujung batang pohon itu. Sesekali
ia tertawa, dan tawa itu, ah menyayat-nyayat seperti tangis.
***
Senja
memerah. Gumpalan-gumpalan mendung yang bergelantung sebelumnya kini
menyingkir, malu dengan wibawa siluet senja itu. Siluet-siluet itu sepertinya
mendamba kembali angan lugu Astri, pun lesung pipinya.
Lamongan,
2006