Kamis, 01 Mei 2014

Labirin Senja

Share & Comment

-ditulis tahun 2006-
Astri tersenyum lebar. Lesung pipinya nampak. Helai-helai rambutnya menari-nari bersama angin. Ia benar-benar cantik. Lebih-lebih rangkaian melati dari emak Jah mengalungi lehernya, pergelangan tangan kanan-kirinya, dan lingkaran kepalanya yang agak basah. Ialah putri senja kala itu. Ditatapnya belantara senja dengan tanpa menggeser pandang sedikitpun. Seperti hendak mencari sebutir berlian di sana, pandangan Astri amat menembus gumpalan-gumpalan awan yang mulai melebur. Benarkah bocah ini hendak menunggu kedatangan bidadari kahyangan? Ah, siapa tahu bidadari itu akan mengajaknya pergi mengelilingi surga. 
 
Sayup-sayup suara angin yang menggoyangkan bambu-bambu hijau dan membunyikan bunyi kryiiet terdengar, mengiringi arus angannya. Dalam benaknya telah mengalir setitik hasrat usang yang melulu memburunya di kesenyapan. Hasrat itu tak ubahnya mata bumi, tak henti-henti mendidihkan lantas memeras otaknya. Hingga ia kerap dibuatnya berlama-lama mengembara dalam khayal. Di bawah atapan senja, berulangkali Astri melamun.
“Astri anak orang gila,
Astri anak orang gila,
Astri anak orang gila…!” tiba-tiba hatinya tersentak. Lamunannya terhenti tak tahu sampai mana. Nyanyian yang berisi olokan dari anak-anak seusianya itu utuskan perih. Melukai batinnya tanpa ampun. Hingga turun dari kedua matanya tetesan-tetesan bening, bagai embun.
“Astri, masuk, ndok!” seruan emak Jah dari dapur. Mencoba menghindarkannya dari tusukan lisan itu.
“Astri..! Ayo ndok, telurnya hampir matang!” seolah ada sumbatan di kedua telinganya, Astri masih diam. Ia menunduk. Kedua bibirnya terkunci dengan masygul.
“Ndok! itu telurnya sudah matang.” Emak Jah mendekat. Lantas dirangkulnya pundak Astri, pelan. Sebentar emak Jah memandang kerut wajah astri, kernyitan kening, dan bibir cemberutnya. “Kasihan,” emak Jah mengkulum.
Senja menua. Gumpalan-gumpalan awan melebur dengan keemasan. Kepakan-kepakan dara itu meninggalkan Astri dalam tangis. Andai saja ada tawar-menawar dalam takdir Tuhan, rasanya, betapa ingin ia tukarkan bertumpuk-tumpuk kepedihan hidupnya dengan kebahagiaan. Ah, Tuhan, ia tak mengharap banyak, cukup secangkir kebahagiaan saja untuk membuatnya sumringah tak cemberut seperti ini. Namun, hidup sudah terlanjut wujud, dan ia tak bisa memberontak berkelit  sedikitpun atas keputusan Yang Kuasa.
“Ndok, ayo makan!” bujuk emak Jah di tengah kesepian itu.
Astri masih terdiam.
“Astri tidak kasihan sama emak?” Astri memandang baju lusuhnya. Meremas-remasnya secara kesal. Tak lama setelah itu ia menengadahkan pandang. Sepertinya senja di ufuk sana mengirimkan setonggak ketenangan dalam jiwa Astri. Dan satu-dua katapun muncul, “Astri ingin mati, Mak!”
“Hm..!” keluar dengusan besar dari hidung emak Jah. Lekas-lekas perempuan itu menyungging senyum. Lucu. Astri memang gadis kecil yang berperangai lugu, wataknya yang mendatar, dan suka memendam harapan hingga menggunung. Kadang, semua itu mengocolkan perut emak Jah. Dan beranda rumah bukanlah tempat asing untuk mendengarkan opera konyol Astri.
“Katanya Astri ingin menjadi peternak ayam hebat seperti wak Tamam.” Perempuan itu mengelus rambut pirang Astri. Astri beridiri tegak. Belaian tangan emak Jah lepas begitu saja. Kedua tangan Astri menggenggam batu-batu kerikil. Pandangannya tajam, seolah dendam yang ia inginkan.
“Apa enaknya punya ayam banyak, kalau olokan-olokan Ros, Emy, Guntur terus menyakiti hati Astri!” seruan kerasnya membuat emak Jah menemukan lasak dalam posisi duduknya. Tak satupun kata yang bisa ia ucap.
“Mak, Astri ingin hidup bebas. Tidak terganggu dengan ejekan sombong mereka. Pokoknya Astri bercita-citakan mati!” Astri masih tegang dengan jeritan hatinya. Tidak seperti biasanya ia berbicara setegas ini. Beberapa hari sebelumnya, Astri senantiasa memendam amarahnya di  saat cibiran itu datang. Dan hanyalah sepatah tanya yang muncul, “tapi Astri tidak gila, kan?!”
Emak Jah bingung. Tak hanya ujung bibirnya yang tertutup, pikirannya pun tersumbat dengan seruan-seruan Astri.
“Bocah lugu ini benar-benar tersiksa.”
***
Malam datang. Purnama pun terang di luar. Sorak ramai, nyanyian ceria para bocah, serta bunyi trotok pedagang tahu menjadi bagian kala itu. Tetapi, Astri melulu bersanding di samping emak Jah. Ia dengarkan dongeng klasik dari mulut perempuan yang adalah ibunya sendiri.
“Emak Jah, Astri tidak pa-pa kan bila bercita-citakan mati?” oh, Astri, masih saja kau serbu ibumu dengan pertanyan-pertanyan tentang cita-cita konyolmu. Apa kau tak tahu, bahwa kematian adalah perihal yang terlalu  mudah untuk guyurkan tangis? Dan kematian itulah satu-satunya perkara yang semua orang takuti. Maka aneh sekali bila dirimu bercita-citakan mati, Astri.
“Astri, ndok ayu! Mati itu bukan cita-cita. Tapi ajal bagi setiap makhluk yang hidup di semesta ini. Jadi, meski Astri tidak bercita-citakan mati, ya, pasti ikut merasakan mati juga.”
“Kalau Astri mati kan enak. Tidak mendengar ejekan mereka. Dan Astri akan bahagia di sana, selalu bercengkerama dengan almarhum man Nang.”
Semuanya diam. Lantas, “Oh, ya, Astri masih menyimpan kenangan terakhir yang diberikan man Nang. Emmm, sebuah kacamata. Kata man Nang harganya mahal, dan dibeli jauh di kota. Waktu man Nang dagang kacang.” Astri yang riang dengan celotehnya, sementara emak Jah diam dengan lembaran silam almarhum man Nang, saudara kandung perempuan itu: di saat peluh wajah terus menyembab menahan panasnya terik siang hari. Ketika kedua tangan lecet memegang gerobak dan mendorongnya sampai muncul seorang pembeli. Di suatu siang, saat tangis bayi menjerit-jerit tak kunjung henti, dan ialah Astri.
Hanya setetes air mata yang turun. Emak Jah berusaha menahan desakan hatinya, meski sangat sulit. Astri dengan bulatan matanya masih bermain dengan angan lugunya. Astri bangkit dari kursi panjang di beranda itu. Tak tahu apa yang dilakukannya. Astri masuk ke dalam dan emak Jah tak peduli, seperti juga Astri yang tidak menggubris isakan pelan emak Jah. Mungkin tak tahu.
“Mak pantes, tidak?”
“Terlihat cantik tidak, Mak?”
“Tapi, kayaknya kebesaran ya, mak!” ternyata kacamata yang ia ambil. Astri mencoba memakai lantas bergaya ala model di depan emak Jah. Dan, apalah daya seorang ibu, kendati berjuta keluh tersimpan di benaknya, masih saja ia sungging senyum di hadapan Astri.
“Mak, kalau bapak Sam pulang dari rumah sakit jiwa, bawa oleh-oleh buat Astri tidak?”
“Astri ingin punya gelang tangan biru seperti milik Emy, mak!”
“Emak Jah. Bapak Sam, kok lama sih sembuhnya. Memangnya gila itu penyakit parah, ya, Mak?”
Dengan senyum menghibur, sekaligus obat penenang buat Astri, emak Jah menjawab. ”Pasti bawa. Tapi, Astri tidak boleh sering-sering tanya tentang bapak!”
“Asyik!” Astri riang, meloncat-loncat di depan emak Jah. Menggaduhkan malam yang mulai sepi. Purnama sudah mencumbu gumpalan-gumpalan tipis di titik tengah. Dan keramaian penduduk itu, berubah menjadi nyanyian-nyanyian hewan melata. Sudah waktunya malam hadiahkan mimpi kepada seluruh penghuni bumi.
Emak Jah mengkipas-kipaskan majalah usang dengan berat lumayan. Mengusir nyamuk yang secara lancang mendekati wajah Astri. Sesekali ia tengadahkan pandang ke atap-atap rumah. Menarik napas secara dalam. Kemudian memandang kembali gadis yang sudah terbaring nyenyak itu.
Emak Jah paham. Bahwa kebohongan yang ia buat sudah mendarah-daging pada jiwa Astri. Dan Astri menjadikan kebohongan itu serupa kebenaran. Memang bapak Astri gila, Astri pun memahami hal itu dari Yu’ Nur. Di suatu sore, ketika berbaris-baris kembang Sepatu menari dengan syahdunya, Emprit hinggap mengais makanan, suatu sore itu Astri melayangkan pertanyaan, “mak, Astri punya bapak, kan?” dan Emak Jah selalu berkata, “ya!”
“Masih hidup? Tanya Astri kemudian.
”Masih!” jawab emak jah. Padahal, kenyataan kelam memedihkannya: bapak Sam mati ketika Astri berumur satu tahun.
Pagi ini, meski mendung, Astri masih memasang senyum. Lesung pipinya kembali nampak. Semalam purnama benar-benar menghadiahkannya mimpi indah. Astri telah menerima gelang biru dari bapak Sam.
“Bapak Sam sudah sembuh, Astri!” penggalan kalimat itu bertiup memasuki telinga Astri. Setiap kali Astri bergerak, seolah ada yang mengumandangkan kalimat itu di hadapannya. Dan Astri, tak henti-henti memasang lesung pipi. Dalam mimpi itu, bapak Sam berjanji akan kembali menemui Astri, entah kapan? Dan ia pun dijanjikan akan mendapatkan dongeng cantik kelak darinya.
Mendung semakin gelap. Astri mengayun pelan sepeda mungilnya. Baru saja emak Jah menyuruhnya pergi ke rumah wak Tamam. Dengan hati-hati Astri menelusuri licinnya tanah abang.
“Sryyit!”
Mendung yang mengundang gerimis-gerimis kecil menggelincirkan pengendara motor yang terlihat sangat tergesa-gesa. Laju gelincirnya cepat, dan pas, menyantap laju pelan Astri, hingga…
Sekerumun penduduk melingkar, mengelilingi lubangan lahd. Seorang gadis kecil terbaring riang di sana. Impian senjanya kini tercapai. Astri siap mendengarkan dongeng yang dijanjikan bapak Sam. Serta kedua tangannya sebentar lagi akan menerima gelang biru, “seperti milik Emy, mak!”
Gerimis-gerimis kecil menyejukkan keceriaan di benaknya. Di sudut lain, seorang ibu tengah baya bercengkerama ria dengan pohon kecil yang hangus terbakar, tangan kanannya memegang kaca mata imut. Dan memakaikannya di ujung batang pohon itu. Sesekali ia tertawa, dan tawa itu, ah menyayat-nyayat seperti tangis.
***
Senja memerah. Gumpalan-gumpalan mendung yang bergelantung sebelumnya kini menyingkir, malu dengan wibawa siluet senja itu. Siluet-siluet itu sepertinya mendamba kembali angan lugu Astri, pun lesung pipinya.
Lamongan, 2006

Tags:

Written by

Penulis buku, tinggal di Yogyakarta. Twitter: @Naqib_Najah

  • Punya Materi Bagus Tapi Tidak Ada Waktu Menulis!

    Banyak dosen yang tidak mempunyai waktu untuk menulis, padahal, mereka punya materi yang sangat bermanfaat.

  • Saya menulis buku biografi!

    Saat ini buku sudah dilirik sebagai media dokumentasi hidup yang sangat positif. Anda butuh penulisan biografi?

  • Berapa Biaya Hidup di Jogja? (Feature Radio)

    Ini dia pertumbuhan biaya hidup di kota pelajar ini. Pengin tahu lebih lanjut?

  • Jogja Kian Macet! (Esai Foto)

    Januari 2014 lalu saya beserta tim membuat esai foto menyoroti pembangunan hotel dan tingkat kemacetan....

  • Pengin Bikin Iklan Produk dalam Bentuk Video? Murah Kok!

    Iklan dengan bentuk video ternyata terkesan beda. Banyak orang melakukan hal ini, tapi... berapa sih biayanya?

 

Paraqibma Video Project


Layaknya anak-anak seusianya, Akila sering menemukan masalah saat proses belajar. Mulai dari susah diminta mengerjakan PR, hingga kejenuhan dengan sistem belajar.

Apa yang terjadi pada Akila selanjutnya? Simak video iklan berikut: Quamon, mini project by Paraqibma.

Artikel Bisnis


Dizipoint menjadi jembatan antara pebisnis dan pasar online. Selain plaza online, Dizipoint juga menyediakan artikel-artikel bisnis bagi pengunjung.

Saya menulis artikel-artikel bisnis untuk plaza online tersebut. Silakan login di sini untuk membaca artikelnya.

New Aquarich (Coming Soon)

Copyright © New Paraqibma | Designed by Templateism.com