Dimuat di koran Merapi pertengahan 2008
Aku tak
pernah bermimpi peroleh hujan di kota ini. Ah, hujan yang syahdu: angin
membelai pelan, rintik-rintik yang lembut. Kumohon jangan kau usik ketenanganku
hari ini. Ketika gerimis menyetubuhi ingatanku. Membawaku pada sebuah perasaan.
Tentang perempuan, tentang aroma debu yang basah oleh hujan.
Hay, inilah
hujan Malioboro. Tempat penuh kenyamanan, kupeluk budaya santun di setiap
sudutnya.
Mengapa
hujan selalu membawa seseorang kepada masa lalu. Seperti derit kereta api yang
mengembalikan segala ingatan menuju kenangan. Maka kupenuhi pikirku dengan
wajah seorang perempuan. Perempuan tengah baya yang biasa aku panggil ibu. Ya,
dia memang ibuku. Sosok yang pernah kusobek liang kewanitaannya. Aku menangis,
aku lahir dari balik rahim perempuan yang kini sulit sekali kulihat senyum
bibirnya.
Ibu selalu
mengajariku untuk berdo’a di tengah hujan. Anggapnya, “rintik hujan akan
berubah menjadi malaikat?” malaikat? Aku sulit mempercayai hal itu. Berulang
kali ibu mengungapkan hal itu, berulangkali pula aku menolak.
“Ah, ibu
bercanda. Manamungkin rintik-rintik berubah menjadi malaikat?” bantahku.
Benar.
Menurut guru agamaku, malaikat itu terbuat dari cahaya. Bukan air. Lebih-lebih tanah.
Namun, Ibuku selalu tersenyum mendengar bantahanku itu. Senyum yang, ah,
menimangku dalam ranjang ketenangan.
Ketika aku
sampai pada usia sepuluh tahun, barulah aku tak membantah apa yang ibu ucapkan.
Aku manggut-manggut. Aku percaya bahwa rintik-rintik bisa berubah menjadi
malaikat. “Ya, aku sekarang percaya, bu!” demikian ungkapku. Ibu masih saja
seperti dulu. Tersenyum, kemudian mengelus rambutku yang kumal. Jika ibu
menangkapku dalam rangkul seperti itu, maka siap-siaplah aku tertidur. Memejamkan
mata sampai kemudian aku bangun oleh serbuan nyamuk.
Ternyata
kedewasaanku bukan menjadi sebuah keberuntungan. Aku yang selalu ingat dengan
kalimat ibu itu, selalu saja mencari alasan mengapa rintik-rintik itu berubah
menjadi malaikat. Ungkapku ketika itu, “jika rintik yang sebegitu banyaknya
berubah menjadi malaikat, mampuslah kita!” ya, mampus. Bukankah malaikat selalu
ditugaskan Tuhan menjadi saksi kelakuan manusia. Rintik-rintik senantiasa
menyebar ke mana-mana: menembus genteng yang bocor, memenuhi ranting jambu air,
jatuh di segala permukaan. Maka malaikat berada di sudut manapun. Dan mereka
akan mengawasi apapun yang kita perbuat.
“Ibu, aku
takut dengan rintik-rintik!”
Barulah ibu
kaget. Ia tak tersenyum, tidak pula merangkulku dengan hangat. Mengapa harus
takut, tanya ibu sedikit ragu. Aku tak menjawab. Aku hanya menggeleng-geleng.
Lantas lari menuju kamar, aku sembunyi di balik tumpukan bantal. Kugelar
selimut, maka tak terlihatlah tubuhku dari atas.
“Ada apa?”
seraya tersenyum, dilemparkannya pertanyaan itu kepadaku.
“Aku takut
dengan rintik-rintik.“ aku keluaran kepalaku. Sedikit mirip dengan seekor
kura-kura yang sembunyi di balik tempurungnya. “Kata ibu rintik-rintik berubah
menajdi malaikat. Aku takut, bu! Aku takut malaikat mencatat amalku!”
Ruangan
kecil itu penuh dengan tawa ibu. Tertawalah yang renyah, ibu. Sebab aku adalah
lelaki yang selalu merindu senum seorang perempuan.
Semestinya
ibu tak perlu menertawakan kalimatku yang konyol itu. Sebab memang benar,
malaikat selalu mencatat amalku. Sumpah, aku selalu dirundung kecemasan jika
berada di sudut rermang-remang.
Aku tak
pernah bermain di belantara hujan. Sebab aku takut, maka aku tak suka dengan
lari-lari menendang bola di bawah rintik-rintik. Entah mengapa, hujan tak
pernah menjadi kegemaran bagiku. Dan selalu aku memanjatkan do’a kehadirat
Tuhan, supaya secepat mungkin meredakan rintik-rintik itu.
Siapa yang
suka menari di bawah hujan? Ajarilah aku. Tariklah kedua lenganku supaya aku
tak mengerucut sendiri di dalam kamar.
***
Aku menemukan
sosok yang mengajariku untuk bermain dengan hujan. Ibu. Ya, dialah perempuan
yang menawarkanku untuk menari ketika hujan. Ia lemparkan kepadaku sebuah bola.
Aku tendang. Aku lari dengan riang. Ibu mengajariku, bahwa hujan tak perlu
ditakuti. Hujan adalah kasih Sang Pencipta. Maka wajar saja jika sekarang aku
sering tersedu manakala mendengar suara hujan membentur atap-atap. Suara yang
nyaring. Suara yang membuatku tertegun sendiri.
“Berdoalah
ketika hujan. Bisa jadi, doa kamu akan terkabulkan!” benarkah? Kembali aku
sedikit tak percaya. Ibuku memang aneh, dan aku adalah orang pertama kali yang
menolak ajarannya. Mengapa hujan disangkut-pautkan dengan ijabahnya sebuah
do’a?
“Hujan akan
mengantaran do’amu kehadirat yang kuasa!”
Maka hujan
tiada beda pak pos yang selalu membawakanku selayang surat dari seorang paman.
Ah, hujan. Jika benar seperti itu kedudukanmu, maka aku titipkan selayang do’a.
Haturkan kepada Sang Pencipta supaya aku menjadi lelaki yang tak pernah takut
dengan kemiskinan, begitu aku berdo’a.
Akhirnya aku
selalu merindu datangnya hujan. Aku tunggu mendung. Aku tunggu angin yang
bertiup besar.
Aku tak lagi
bermain air sewaktu hujan. Aku tak keluar rumah, aku tak berlari-lari menjemput
hujan. Aku lebih suka berdiam diri di dalam kamar. Sambil mendengar suara
rintik-rintik yang menatap genteng-gentng rumahku, sambil kuhaturkan selaksa
doa. Tuhan-Tuhan-Tuhan, aku takut kemiskinan. Seperti juga kematian, aku selalu
menakuti kedua hal itu.
Mungkin kau
akan menganggapku sinting jika aku berdoa kehadirat Tuhan, memintanya supaya
mengabadikan hidupku. Membuang kematian dalam sejarah hidup. Ya, sinting sekali
diriku. Bibirku yang kotor ini, suka mendoa supaya hidupku adalah hidup yang
abadi. Seperti cerita seorang alkhemis, seperti cerita sebatang pohon yang
menyaksikan kehidupan ini sampai beratus-ratus tahun.
Dan Tuhan
tak mengabulkan permohonanku. Sampai kemudian, aku dan pohon adalah sebuah
cerita tersendiri. Tuhan menjodohkan kematianku dengan sebuah pohon:
Aku yang
mulai tak pernah takut dengan hujan, aku yang sedang berkendara santai menuju
rumah. Hujan begitu lebat. Hujan yang mengundang petir, hujan yang meributkan
semua orang untuk segera berteduh. Namun, ibuku selalu menanamkanku untuk
mencintai hujan. Maka tak perlulah aku berteduh. Kukendarai motor dengan penuh
penghayatan. Dalam batin, aku mengucap dua buah doa. Dua pengharapan yang tak
pernah lain: aku ingin hidup menjadi orang kaya, aku ingin hidup
selama-lamanya.
Aku
menganggap hujan ketika itu adalah tangis Yang Maha Kuasa. Aku yakin, dan
berani sekali aku bersumpah atas kebenaran hal itu. “Sang Pencipta sedang
menangis.” Teriakku dalam hati. Atau mungkin marah? Ah, apa bedanya orang yang
menangis dengan orang yang sedang dirundung amarah. Bukankah air mata adalah
ujung dari sebuah amarah? Seperti hikayat seorang peri yang pernah ibu
ceritakan. Ya, sesosok peri pernah menangis sejadi-jadinya. Tangis yang amat
syahdu, tangis yang membuat rerumputan ikut merunduk. Peri itu tak juga selesai
dari tangisnya. Sampai kemudian datang seekor jalak, ditanyalah, “mengapa ibu
peri menangis?” Ibu peri tak peduli dengan kehadiran burung itu. Malah, ia
semakin banyak mengeluarkan air matanya. Jadilah air mata itu sebuah sungai,
sebuah danau, sebuah laut. Ya, menurut ibu, laut tercipta berkat tangis seorang
peri. “Ibu peri menangis sebab menahan amarah dalam batinnya.” Begitu tutur
ibu.
Rintik-rintik
hujan menjebakku. Aku tak melihat siapa di hadapan. Sedang detak jantungku
masih mengucap do’a, menghaturkan dua permohonan yang katamu sinting itu.
Tuhan, aku
ini tak mau miskin. Aku tak mau mati. Sebab kematian adalah perpisahan yang
menarik-narik perasaanku. Menempa seorang hamba di bawah luka yang panjang. Dan
perpisahan seperti itulah yang selalu kubenci. Perpisahan yang sulit
mempertemukan seseorang.
Lebih baik
aku pergi bertahun-tahun di negeri orang. Dan suatu saat kembali lagi
kekediaman. Namun, kematian tak pernah menggariskan seperti itu. Kematian, ah,
hikayat tangis yang kuharap menjauh dari kehidupanku.
Petir
semakin mengutuk jiwa manusia. Angin bertiup kencang, memilah ujung dedauan,
dan mampuslah aku. Kau tahu, saudara, pohon besar yang tentunya berumur
lebih panjang dariku itu, tumbang. Terdengar bunyi yang mengagetkan. Bukan
petir, bukan pula suara motor menabrak tiang. Itulah suara pohon. Pohon yang
besar. Pohon yang mendoyong. Doyong lagi. Menebas kabel listrik yang panjang.
Menindih dirikku yang masih mengucap do’a, “Tuhan, aku tak mau tertimpa mati!”
***
Aku tak
pernah bermimpi peroleh hujan di kota ini. Ah, hujan yang syahdu: angin
membelai pelan, rintik-rintik yang lembut. Kumohon jangan kau usik ketenanganku
hari ini. Ketika gerimis menyetubuhi ingatanku. Membawaku pada sebuah perasaan.
Tentang perempuan, tentang aroma debu yang basah oleh hujan, tentu.
Hay, inilah
hujan Malioboro. Tempat penuh kenyamanan, kupeluk budaya santun di setiap
sudutnya.
Mengapa
hujan selalu membawa seseorang kembali kepada masa lalu. Seperti derit kereta
api yang mengembalikan segala ingatan menuju kenangan. Maka kupenuhi pikirku
dengan wajah seorang perempuan. Perempuan tengah baya yang biasa aku panggil
ibu.
Namun, aku
lebih suka menyebut hujan sebagai cerita masa lalu. Sebagai akhir dua buah do’a
yang selalu kupanjatkan itu.
Maka, jika
hujan turun, kumohon kau hadir di pemakamanku. Hujan, kata ibu, adalah
rintik-rintik yang menghaturkan do’a seorang hamba kehadirat Tuhannya.
***
Yogyakarta, 11 November 2008