Jauh-jauh hari sebelum membaca kutipan James Russel di atas, saya sudah merasakan betul bagaimana anak-anak mampu menyentuh dasar psikologis kita yang paling dalam. Dulu, saat masih bekerja di GenioFam (jasa pembuatan software), saya menikmati interaksi yang lahir antara atasan saya dengan ketiga anaknya. Mereka anak-anak yang cerdas, setiap pertanyaan atau celoteh yang mereka lontarkan membangun pemahaman-pemahaman baru dalam hidup saya.
Saya suka anak-anak. Saya suka mengamati mereka.
Pertengahan April kemarin, gairah untuk melihat kehidupan anak-anak lebih dekat tersalurkan berkat tugas pembuatan video feature dengan durasi lima menit. Ketika anak-anak lain mengambil tema kebudaya aan, kearifan lokal kota Jogja, hingga industri-industri kreatif, saya masih kepincut untuk mengabadikan momen-momen keceriaan anak-anak.
Saya browsing beberapa Taman Penitipan Anak untuk pengambilan gambar. Lokasi pertama adalah Moslem Baby-Preneur Day Care ALIF yang berlokasi di belakang rumah sakit Happy Land. Karena ruangan dalam yang terlalu sempit dan kurang pencahayaan, saya dan Arif Budiman (selaku D.O.P) urung mengambil lokasi ini. Perjalanan berlanjut dengan mengajukan izin di TPA Tungga Dewi UGM. Melihat lokasi yang lebih luas serta jumlah anak-anak yang cukup kompleks dari bayi hingga usia tiga tahun, kami pun memilih Tungga Dewi sebagai lokasi pengambilan gambar.
Hari Pertama: Try and Error
"Langsung saja, Mas. Mumpung anak-anaknya lagi mandi. Mungkin bisa diliput," tutur Ibu Retni. Selaku Kepala Sekolah, beliau sangat membuka kesempatan. Kami langsung dipersilahkan untuk meliput anak-anak yang sedang mandi siang.
Tidak mudah... layaknya percobaan hari pertama, kami masih harus beradaptasi dengan tempat dan anak-anak sebagai objeknya. Sebagian dari mereka masih defense, malu-malu ketika didekati oleh kamera. Namun karena kesadaran akan deadline, take gambar masih tetap berjalan.
Hari pertama, kami mendapatkan ekspresi mereka saat minum susu (dengan gaya bergulung-gulung di atas kasur sambil pegang botol), serta statement beberapa ibu pengasuh. Gambar ketika mereka sedang tidur siang pun sempat kami liput, sayangnya, hari pertama ini ada sedikit masalah dengan memori kamera. Gambar yang sudah diambil pun, gagal diaplikasikan dalam bentuk video.
Hari Kedua: Menyambut Pelangi
Kami sempat kaget... Kami yang di hari pertama sedikit dijauhi mereka, tiba-tiba mendapat respons yang cukup aktif dari anak-anak. Kami datang pukul delapan pagi, tepat saat mereka sedang senam. Ajil (anak paling gendut) datang berjoget-joget di depan kamera. Sony (anak paling aktif) berlenggok-lenggok dengan gaya badungnya di depan kamera. Sementara anak-anak cewek lainnya masih malu-malu namun tetap terlihat anggun.
Hari kedua kami bisa melakukan apa yang sudah saya tulis di dalam script. Seperti mengajak mereka bermain prosotan, meminta mereka berbicara tentang mimpi masing-masing, serta mengatur mereka untuk berpose seperti yang kami minta.
Saat ditanya tentang mimpinya, seorang anak bertutur, "Azka pengin jadi chef."
Chef? Media televisi ternyata cukup mempunyai andil terhadap gaya komunikasi anak-anak.
Ada juga yang menuturkan, "Aku pengin jadi Iron man." Lagi-lagi media televisi sangat berpengaruh terhadap mimpi anak-anak.
Sesi menanyai mimpi-mimpi mereka ini menjadi salah satu scene terberat bagi kami. Tingkah mereka cukup aktif. Saya dan tim harus rela menggendong mereka ke sana- ke mari. Satu anak turun, yang lainnya minta naik. "Om.... ganti, Om. Habis ini aku ya, Om...."
Video Feature
Judul: Menyapa Pelangi di Tungga Dewi
Ide Cerita: Muhammad Annaqib
D.O.P: Arif Budiman
http://youtu.be/-RHZKEq1y5U