Sahabat saya satu ini sengaja saya minta untuk menulis tentang "NgayogJakarta, Ini Jogja Apa Jakarta?". Sebuah proyek iseng-isengan (dalam bentuk foto, artikel, video) yang menyoroti transformasi Jogja, dari mulai macet hingga maraknya pembangunan gedung.
Sahabat saya ini cukup kritis, harapannya, semoga tulisan di bawah ini mampu menjadi refleksi tersendiri.
_____
Aku
bingung mau dibawa ke mana kota ini. Kultur budaya yang njawani, lugu, sederhana, tepa
selira, biaya hidup yang murah dan berbagai berita positif lainnya telah
berubah menjadi kultur metropolis yang modern, aeng-aeng, kemewahan, individualis dan bahkan 'nggilani'. Kita ambil contoh saja sekarang kawasan Seturan sampai
Babarsari. Dulu awal 80-an kawasan itu masih berupa sawah dan kebun singkong, jalanan
masih berdebu tapi kini apa yang kita lihat? Banyak sekali tempat hedonis
dengan budaya kapitalis di kawasan ini. Itu dirasa belum cukup karna sebentar
lagi akan hadir superblok apartemen plus mall lengkap dengan cinema dan
bookstore dan seabrek fasilitas lain.
Sampai-sampai kalau kita melintas
atau berlama-lama di situ kita seperti berada di Kelapa Gading Jakarta.
Benar-benar mencengangkan!
Belum
lama ini aku baca di Tribun Jogja yang memberitakan bahwa para investor adu
cepat bangun Mall di Jogja, kenapa harus adu cepat? Emang mengejar apa? Seperti
dikejar deadline saja! Kalau kita
perhatikan belakangan ini, pembangunan mall, hotel, supermarket dan ruko memang
sangat marak di Jogja, khususnya Kodya dan Sleman. Seolah olah kota ini
kekurangan mall dan hotel, ya mungkin lama lama konsumen juga yang di untungkan
karena terjadi perang tarif. Padahal sebenarnya hotel hotel itu hanya mencapai
okupansi saat liburan saja sedangkan hari biasa lebih terlihat melompong. Pun
begitu dengan mall, jaman dulu mall itu cuma satu yaitu Mall Malioboro di
awal-pertengahan tahun 90-an. Terus Toko Ramai juga 'di upgrade' menjadi mall
disusul dengan Galeria, hingga awal tahun 2000an mall di kota ini tidak
bertambah. Sebuah langkah tegas. Hanya saja, mulai pertengahan tahun 2004
muncul mall Jogjatronik yang kemudian kemudian disusul Saphir Square dan mall
yang katanya terbesar seJateng-DIY, Ambarukmo Plaza.
Pada
tahun 2013 mulai deh mall menjamur di
kota ini walaupun masih dalam pembangunan. Mall-mall itu meliputi Jogja City
Mall, Hartono Lifestyle Mall, Sahid Yogya Lifestyle Mall, Jogja Town Square dan
Jogja Lippo Mall. Belum lagi minimarket, supermarket & hipermarket yang
makin menggila.
Pernah aku 'nylethuk' sama temanku: ayo kamu jagoin mana aja?
Ini adalah pertarungan 'Head to Head' karena letaknya berdekatan dan nggak sampai hitungan kilometer.
Malah
bisa dibilang bersebelahan. Contoh Indogrosir vs Hypermart Joci Mall, Giant Godean
vs Mirota Godean vs Superindo jatikencana, Superindo Jakal vs Mirota Pasaraya,
terus Careffour Amplaz vs Hypermart Lippomall Jogja, ditambah lagi Careffour
Maguwo vs Lottemart Maguwo, di jalan Urip Sumoharjo ada Giant vs Superindo vs
Gardena, belum lagi Alfamart vs Indomaret dipenjuru kota ini. Inikah Jogjaku
yang sekarang?
|
Mataram City, sumber foto: website resmi Mataram City |
Para
investor sebenarnya menanamkan modal mereka hanya untuk menggencet warga asli.
Bayangkan saja, dengan berkedok kost-kostan mahasiswa mereka membuat kondotel/apartemen
dengan iming-iming 'investasi'. Mereka (para investor) yang dari luar Jogja berbondong-bondong
berburu surge kota ini sehingga warga asli terpinggirkan dan hanya gigit jari.
Mau
dibawa ke mana nasib Jogjaku ini? Diujung tulisan ini, aku cuma bisa berharap
ketegasan pemerintah kota. Tegas untuk tidak menyerahkan Jogja begitu saja. Ini
Jogja yang berhati nyaman, bukan Jogja yang sesak dan padat.
______
Untuk melihat apa itu proyek "NgayogJakarta, Ini Jogja Apa Jakarta?" lebih dekat, bisa simak behind the scene part I dan II-nya.