Sabtu, 04 Januari 2014

Semoga Jogja Tetap Istimewa (Denyut "NgayogJakarta, Ini Jogja Apa Jakarta?")

Share & Comment
Ditulis oleh Resty Amalia
Saya adalah salah satu orang yang merasakan kenyamanan Jogja. Ya, karena saya pernah belajar di salah satu universitas negeri di Jogja. Selama di Jogja, begitu banyak kenyamanan yang saya dapatkan, dari kotanya yang sarat akan seni dan sebagai penikmat seni saya merasa haus saya akan seni tak pernah sekali pun tak terpenuhi, warganya yang ramah, biaya hidup yang relatif murah dari pada kota besar yang lain, akses mendapatkan buku yang murah juga mudah, dan banyaknya pertunjukan seni yang tak terhitung tiap waktunya dengan harga tiket yang terjangkau oleh mahasiswa. Sebagai penikmat musik Jazz, saya bisa menikmati pertunjukan-pertunjukan musik Jazz dengan kualitas pertunjukan yang sangat baik dan musisi-musisi yang bermain adalah para musisi papan atas dengan tiket yang sangat ramah untuk kantong mahasiswa. Ahh, begitu cintanya saya dengan Jogja.
Jogja adalah kota yang memberi saya jalan yang luas untuk belajar, mendapatkan pengalaman yang berbagai macam sehingga memperkaya saya dalam hidup, banyak menginspirasi saya dalam menulis, memberi hiburan melalui pertunjukan-pertunjukan seninya, tempat saya menemukan banyak sahabat yang mampu ada dalam suka maupun duka, dan memberi pelajaran hidup yang sangat berguna dengan pengalaman hidup yang pahit maupun manis selama di sana. Semua itu selalu membuat saya merasa bahwa Jogja adalah rumah kedua saya. Dan saya akan selalu merindukan Jogja.
Selama di Jogja, banyak orang asli Jogja atau orang yang sudah lama hidup di Jogja bercerita tentang perubahan dan transformasi Jogja selama ini. Banyaknya sepeda motor dan penebangan pohon di sisi-sisi jalan membuat Jogja yang semula bersih dari polusi dan sejuk berubah menjadi Jogja yang panas dan tak senyaman dahulu. Saya pun juga merasakan ketidaknyamanan itu. Saya sebagai pengendara motor ketika saya di Jogja terpaksa melengkapi diri dengan jaket untuk menutupi lengan, sarung tangan untuk menutupi tangan, kaus kaki untuk menutupi kaki, dan masker untuk menutupi wajah dari sengatan panasnya matahari yang menantang kita di siang bolong. Sesi pergi ke kampus, ke tempat kerja, maupun hanya sekedar jalan-jalan pun bagaikan saat-saat bersiap untuk bertempur di medan perang. Ya, semua itu karena panas matahari di sana yang kini begitu menyengat dan polusi dikarenakan begitu banyaknya kendaraan bermotor di setiap centimeter jalanan di Jogja. Walaupun begitu, saya tetap cinta Jogja dengan segala keterbatasan yang dimilikinya saat ini. Jogja tetap memiliki pesonanya.
Sepeninggal saya dari Jogja di pertengahan tahun 2012, teman-teman saya di Jogja sering bercerita bahwa kini kemacetan tak lagi hanya dirasakan sang ibu kota, Jakarta. 
Sumber foto: Bisnis Indonesia

Kini, Jogja pun tak mau kalah. Selama saya di Jogja, saya sering menemukan atau terjebak macet pada musim-musim liburan seperti pertengahan tahun dan akhir tahun dimana banyak wisatawan domestik maupun mancanegara yang datang untuk berlibur ke Jogja. Ya, walaupun saya akui sebagai orang yang kini harus merasakan hiruk pikuknya ibu kota, kemacetan di Jogja belum apa-apanya dengan kemacetan di Jakarta dan saya begitu sudah terbiasa jika menemukan suasana macet di Jogja. Bisa dibilang saya bisa menerima keadaan bila harus terjebak macet di Jogja. Tapi Jogja macet, kalau anak sekarang bilang, “Bukan Jogja banget.”
Saya memandang hal ini sebagai hal yang mau tak mau akan dirasakan oleh semua tempat. Kemajuan suatu tempat tak dapat dicegah dan tak terelakkan. Berdirinya gedung-gedung perkantoran maupun pusat perbelanjaan besar di suatu kota merupakan tolak ulur kemajuan perekonomian suatu daerah. Itu sudah jadi hukum di ilmu perekonomian. Para investor akan menanamkan sahamnya pada daerah-daerah yang potensial yang akan mendatangkan banyak laba untuknya pastinya. Begitu pun dengan banyaknya kendaraan bermotor.
Tak dipungkiri saya pun lebih senang mengendarai sepeda motor selama di Jogja dari pada harus panas-panas berjalan kaki ataupun harus bersepeda walaupun saya memiliki sepeda dan menurut orang itu baik untuk kesehatan. Mungkin alasan orang-orang yang lain pun serupa dengan saya. Jarak yang harus ditempuh orang Jogja untuk menjangkau satu tempat dari tempat satu ke tempat yang lain relatif sangat dekat. Dan mengapa sepeda motor menjadi salah satu alternatif terbaik karena sepeda motor membuat pengendaranya nyaman, lebih cepat menjangkau tempat tujuan ketimbang berjalan kaki karena jalan kaki lebih melelahkan apalagi dengan terik matahari yang menyengat kecuali jika kita menjangkau tempat yang dekat sekali pastilah jalan kaki akan sangat menyenangkan, mengendarai mobil jika yang memiliki juga menurut saya tak mampu mengalahkan kenyamanan dan sensasi mengendarai motor karena jalanan Jogja yang relatif sempit dan padat kendaraan bermotor justru memperlambat kita untuk tiba di tujuan, bersepeda akan menyenangkan jika kondisinya memungkinkan seperti misalnya sedang tidak terburu-buru untuk tiba di satu tempat, lagi-lagi matahari tak menantang teriknya atau hujan, dan satu lagi ini berdasarkan pengalaman saya mengendarai sepeda ketika saya bekerja di Jogja dulu, bersepeda di Jogja memang menyenangkan, tapi dengan kondisi Jogja yang dekat dekan area pegunungan membuat bersepeda menuju arah selatan begitu merasa tak melelahkan karena jalanan cenderung turun, sedangkan bersepeda menuju utara begitu melelahkan karena jalanan cenderung menanjak. 

Sumber foto: Republika
Mau menggunakan kendaraan umum? Sebenarnya bisa dijadikan alternatif yang bagus juga. Apalagi Trans Jogja yang nyaman karena berAC. Tetapi, berdasarkan saya yang pernah mencoba pulang dari daerah Maguwoharjo menuju kos yang berada di Karang Malang sekitaran lembah UGM, ternyata harus memakan waktu lebih dari satu jam karena lamanya waktu untuk menunggu datangnya bus dan juga rute yang harus berliku. Padahal dengan motor, saya biasanya hanya memerlukan waktu sekitar 10 menit untuk sampai di kos dari Maguwoharjo. Mungkin pembaca juga pernah merasakan pengalaman ini. Jika kita berniat untuk sekedar jalan-jalan, hal ini tak jadi masalah. Tapi, buat orang yang memiliki tujuan untuk urusan pekerjaan seperti saya pada waktu itu, hal itu justru menghambat dan kurang efektif dan praktis. Transportasi umum yang bukan Trans Jogja juga masih terbatas rutenya. Banyak tempat yang tak dilewati transportasi umum tersebut. Dan lagi-lagi kenapa mengendarai sepeda motor akan jadi pilihan utama lagi.
Kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pengguna kendaraan bermotor dengan alasan tidak cinta lingkungan dan menyumbangkan polusi kepada Jogja. 
Jika Jogja siap untuk menyambut perubahan jaman yang makin hari mau tidak mau membuatnya berkembang dengan banyaknya pendatang yang datang ke Jogja dengan berbagai alasan dari berlibur, bekerja, maupun belajar, seharusnya transportasi massal seharusnya ditingkatkan jumlah, kualitasnya, dan pelayanannya. 
Saya yakin warga Jogja sebenarnya tak enggan untuk menggunakan transportasi umun, tapi alasan-alasan yang saya sebutkan di atas yang jadi kendala. Banyaknya bangunan-bangunan baru di Jogja juga tak sepenuhnya patut dipersalahkan karena mau tidak mau suatu tempat berubah dan berkembang. Tapi, akan kurang baik imbasnya jika pembangunan-pembangunan ini menyebabkan hilangnya area hijau di Jogja dan juga menyumbang limbah terhadap lingkungan.
Menurut saya, semua hal itu patut direnungkan bersama. Sebagai orang yang pernah tinggal di Jogja dan begitu mencintai Jogja, saya berharap Jogja tetap bisa menjadi kota yang istimewa dengan ciri khas budaya di mana-mana dan dengan sepaket kenyamanan yang ditawarkan. Meningkatnya jumlah kendaraan bermotor harus ditanggulangi dengan perbaikan kualitas pelayanan dan penambahan jumlah transportasi umun serta rutenya. Area hijau yang berkurang karena pembangunan-pembangunan sebaiknya diimbangi dengan menerapkan kebijakan ‘boleh membangun asalkan tetap melestarikan lingkungan dan juga menyisihkan area hijau di tempat tersebut’.
Transformasi itu tak dapat terelakkan. Kita tidak dapat mencegahnya. Tetapi, transformasi dengan tetap menjaga keistimewaan dan juga kenyamanan suatu tempat masih bisa diupayakan. Semoga Jogja tetap istimewa. Seperti yang selalu saya rasakan padanya ketika pulang bahkan sekedar mengingat Jogja J
Sabtu, 4 Januari 2013
___________
Cerita ini ditulis dalam rangka semarak menyuarakan transformasi Yogyakarta yang mulai terjangkiti penyakit kota megapolitan. Nama Ngayogyokarto Hadiningrat perlahan-lahan berubah menjadi NgayogJakarta, dengan Jogja yang sudah berasa Jakarta (macetnya, pembangunan gedungnya, dll). Berangkat dari sini, lahirlah gerakan kecil, "NgayogJakarta, Ini Jogja Apa Jakarta?" yang fokus mensoroti perubahan Jogja, baik dalam bentuk artikel, video, mau pun foto.

Simak behind the scene "NgayogJakarta, Ini Jogja Apa Jakarta?" bisa disimak di bagian pertama dan kedua. Klik link yang tersedia.


Tags: ,

Written by

Penulis buku, tinggal di Yogyakarta. Twitter: @Naqib_Najah

  • Punya Materi Bagus Tapi Tidak Ada Waktu Menulis!

    Banyak dosen yang tidak mempunyai waktu untuk menulis, padahal, mereka punya materi yang sangat bermanfaat.

  • Saya menulis buku biografi!

    Saat ini buku sudah dilirik sebagai media dokumentasi hidup yang sangat positif. Anda butuh penulisan biografi?

  • Berapa Biaya Hidup di Jogja? (Feature Radio)

    Ini dia pertumbuhan biaya hidup di kota pelajar ini. Pengin tahu lebih lanjut?

  • Jogja Kian Macet! (Esai Foto)

    Januari 2014 lalu saya beserta tim membuat esai foto menyoroti pembangunan hotel dan tingkat kemacetan....

  • Pengin Bikin Iklan Produk dalam Bentuk Video? Murah Kok!

    Iklan dengan bentuk video ternyata terkesan beda. Banyak orang melakukan hal ini, tapi... berapa sih biayanya?

 

Paraqibma Video Project


Layaknya anak-anak seusianya, Akila sering menemukan masalah saat proses belajar. Mulai dari susah diminta mengerjakan PR, hingga kejenuhan dengan sistem belajar.

Apa yang terjadi pada Akila selanjutnya? Simak video iklan berikut: Quamon, mini project by Paraqibma.

Artikel Bisnis


Dizipoint menjadi jembatan antara pebisnis dan pasar online. Selain plaza online, Dizipoint juga menyediakan artikel-artikel bisnis bagi pengunjung.

Saya menulis artikel-artikel bisnis untuk plaza online tersebut. Silakan login di sini untuk membaca artikelnya.

New Aquarich (Coming Soon)

Copyright © New Paraqibma | Designed by Templateism.com