Ditulis oleh Resty Amalia
Saya adalah salah satu orang yang merasakan
kenyamanan Jogja. Ya, karena saya pernah belajar di salah satu universitas
negeri di Jogja. Selama di Jogja, begitu banyak kenyamanan yang saya dapatkan,
dari kotanya yang sarat akan seni dan sebagai penikmat seni saya merasa haus
saya akan seni tak pernah sekali pun tak terpenuhi, warganya yang ramah, biaya
hidup yang relatif murah dari pada kota besar yang lain, akses mendapatkan buku
yang murah juga mudah, dan banyaknya pertunjukan seni yang tak terhitung tiap
waktunya dengan harga tiket yang terjangkau oleh mahasiswa. Sebagai penikmat
musik Jazz, saya bisa menikmati pertunjukan-pertunjukan musik Jazz dengan
kualitas pertunjukan yang sangat baik dan musisi-musisi yang bermain adalah
para musisi papan atas dengan tiket yang sangat ramah untuk kantong mahasiswa. Ahh,
begitu cintanya saya dengan Jogja.
Jogja adalah kota yang memberi saya jalan
yang luas untuk belajar, mendapatkan pengalaman yang berbagai macam sehingga memperkaya
saya dalam hidup, banyak menginspirasi saya dalam menulis, memberi hiburan
melalui pertunjukan-pertunjukan seninya, tempat saya menemukan banyak sahabat
yang mampu ada dalam suka maupun duka, dan memberi pelajaran hidup yang sangat
berguna dengan pengalaman hidup yang pahit maupun manis selama di sana. Semua
itu selalu membuat saya merasa bahwa Jogja adalah rumah kedua saya. Dan saya
akan selalu merindukan Jogja.
Selama di Jogja, banyak orang asli Jogja atau
orang yang sudah lama hidup di Jogja bercerita tentang perubahan dan
transformasi Jogja selama ini. Banyaknya sepeda motor dan penebangan pohon di
sisi-sisi jalan membuat Jogja yang semula bersih dari polusi dan sejuk berubah
menjadi Jogja yang panas dan tak senyaman dahulu. Saya pun juga merasakan
ketidaknyamanan itu. Saya sebagai pengendara motor ketika saya di Jogja
terpaksa melengkapi diri dengan jaket untuk menutupi lengan, sarung tangan
untuk menutupi tangan, kaus kaki untuk menutupi kaki, dan masker untuk menutupi
wajah dari sengatan panasnya matahari yang menantang kita di siang bolong. Sesi
pergi ke kampus, ke tempat kerja, maupun hanya sekedar jalan-jalan pun bagaikan
saat-saat bersiap untuk bertempur di medan perang. Ya, semua itu karena panas
matahari di sana yang kini begitu menyengat dan polusi dikarenakan begitu
banyaknya kendaraan bermotor di setiap centimeter jalanan di Jogja. Walaupun
begitu, saya tetap cinta Jogja dengan segala keterbatasan yang dimilikinya saat
ini. Jogja tetap memiliki pesonanya.
Sepeninggal saya dari Jogja di pertengahan
tahun 2012, teman-teman saya di Jogja sering bercerita bahwa kini kemacetan tak
lagi hanya dirasakan sang ibu kota, Jakarta.
|
Sumber foto: Bisnis Indonesia |
Kini, Jogja pun tak mau kalah.
Selama saya di Jogja, saya sering menemukan atau terjebak macet pada
musim-musim liburan seperti pertengahan tahun dan akhir tahun dimana banyak
wisatawan domestik maupun mancanegara yang datang untuk berlibur ke Jogja. Ya,
walaupun saya akui sebagai orang yang kini harus merasakan hiruk pikuknya ibu
kota, kemacetan di Jogja belum apa-apanya dengan kemacetan di Jakarta dan saya
begitu sudah terbiasa jika menemukan suasana macet di Jogja. Bisa dibilang saya
bisa menerima keadaan bila harus terjebak macet di Jogja. Tapi Jogja macet,
kalau anak sekarang bilang, “Bukan Jogja banget.”
Saya memandang hal ini sebagai hal yang mau
tak mau akan dirasakan oleh semua tempat. Kemajuan suatu tempat tak dapat dicegah
dan tak terelakkan. Berdirinya gedung-gedung perkantoran maupun pusat
perbelanjaan besar di suatu kota merupakan tolak ulur kemajuan perekonomian
suatu daerah. Itu sudah jadi hukum di ilmu perekonomian. Para investor akan
menanamkan sahamnya pada daerah-daerah yang potensial yang akan mendatangkan
banyak laba untuknya pastinya. Begitu pun dengan banyaknya kendaraan bermotor.
Tak dipungkiri saya pun lebih senang
mengendarai sepeda motor selama di Jogja dari pada harus panas-panas berjalan
kaki ataupun harus bersepeda walaupun saya memiliki sepeda dan menurut orang
itu baik untuk kesehatan. Mungkin alasan orang-orang yang lain pun serupa
dengan saya. Jarak yang harus ditempuh orang Jogja untuk menjangkau satu tempat
dari tempat satu ke tempat yang lain relatif sangat dekat. Dan mengapa sepeda motor
menjadi salah satu alternatif terbaik karena sepeda motor membuat pengendaranya
nyaman, lebih cepat menjangkau tempat tujuan ketimbang berjalan kaki karena
jalan kaki lebih melelahkan apalagi dengan terik matahari yang menyengat
kecuali jika kita menjangkau tempat yang dekat sekali pastilah jalan kaki akan
sangat menyenangkan, mengendarai mobil jika yang memiliki juga menurut saya tak
mampu mengalahkan kenyamanan dan sensasi mengendarai motor karena jalanan Jogja
yang relatif sempit dan padat kendaraan bermotor justru memperlambat kita untuk
tiba di tujuan, bersepeda akan menyenangkan jika kondisinya memungkinkan
seperti misalnya sedang tidak terburu-buru untuk tiba di satu tempat, lagi-lagi
matahari tak menantang teriknya atau hujan, dan satu lagi ini berdasarkan
pengalaman saya mengendarai sepeda ketika saya bekerja di Jogja dulu, bersepeda
di Jogja memang menyenangkan, tapi dengan kondisi Jogja yang dekat dekan area
pegunungan membuat bersepeda menuju arah selatan begitu merasa tak melelahkan
karena jalanan cenderung turun, sedangkan bersepeda menuju utara begitu
melelahkan karena jalanan cenderung menanjak.
|
Sumber foto: Republika |
Mau menggunakan kendaraan umum? Sebenarnya
bisa dijadikan alternatif yang bagus juga. Apalagi Trans Jogja yang nyaman
karena berAC. Tetapi, berdasarkan saya yang pernah mencoba pulang dari daerah
Maguwoharjo menuju kos yang berada di Karang Malang sekitaran lembah UGM,
ternyata harus memakan waktu lebih dari satu jam karena lamanya waktu untuk
menunggu datangnya bus dan juga rute yang harus berliku. Padahal dengan motor,
saya biasanya hanya memerlukan waktu sekitar 10 menit untuk sampai di kos dari
Maguwoharjo. Mungkin pembaca juga pernah merasakan pengalaman ini. Jika kita
berniat untuk sekedar jalan-jalan, hal ini tak jadi masalah. Tapi, buat orang
yang memiliki tujuan untuk urusan pekerjaan seperti saya pada waktu itu, hal
itu justru menghambat dan kurang efektif dan praktis. Transportasi umum yang
bukan Trans Jogja juga masih terbatas rutenya. Banyak tempat yang tak dilewati
transportasi umum tersebut. Dan lagi-lagi kenapa mengendarai sepeda motor akan
jadi pilihan utama lagi.
Kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan
pengguna kendaraan bermotor dengan alasan tidak cinta lingkungan dan
menyumbangkan polusi kepada Jogja.
Jika Jogja siap untuk menyambut perubahan
jaman yang makin hari mau tidak mau membuatnya berkembang dengan banyaknya
pendatang yang datang ke Jogja dengan berbagai alasan dari berlibur, bekerja,
maupun belajar, seharusnya transportasi massal seharusnya ditingkatkan jumlah,
kualitasnya, dan pelayanannya.
Saya yakin warga Jogja sebenarnya tak enggan
untuk menggunakan transportasi umun, tapi alasan-alasan yang saya sebutkan di
atas yang jadi kendala. Banyaknya bangunan-bangunan baru di Jogja juga tak
sepenuhnya patut dipersalahkan karena mau tidak mau suatu tempat berubah dan
berkembang. Tapi, akan kurang baik imbasnya jika pembangunan-pembangunan ini
menyebabkan hilangnya area hijau di Jogja dan juga menyumbang limbah terhadap
lingkungan.
Menurut saya, semua hal itu patut direnungkan
bersama. Sebagai orang yang pernah tinggal di Jogja dan begitu mencintai Jogja,
saya berharap Jogja tetap bisa menjadi kota yang istimewa dengan ciri khas
budaya di mana-mana dan dengan sepaket kenyamanan yang ditawarkan. Meningkatnya
jumlah kendaraan bermotor harus ditanggulangi dengan perbaikan kualitas
pelayanan dan penambahan jumlah transportasi umun serta rutenya. Area hijau
yang berkurang karena pembangunan-pembangunan sebaiknya diimbangi dengan
menerapkan kebijakan ‘boleh membangun asalkan tetap melestarikan lingkungan dan
juga menyisihkan area hijau di tempat tersebut’.
Transformasi itu tak dapat terelakkan. Kita
tidak dapat mencegahnya. Tetapi, transformasi dengan tetap menjaga keistimewaan
dan juga kenyamanan suatu tempat masih bisa diupayakan. Semoga Jogja tetap istimewa.
Seperti yang selalu saya rasakan padanya ketika pulang bahkan sekedar mengingat
Jogja J
Sabtu, 4
Januari 2013
___________
Cerita ini ditulis dalam rangka semarak
menyuarakan transformasi Yogyakarta yang mulai terjangkiti penyakit kota
megapolitan. Nama Ngayogyokarto Hadiningrat perlahan-lahan berubah menjadi NgayogJakarta, dengan
Jogja yang sudah berasa Jakarta (macetnya, pembangunan gedungnya, dll). Berangkat dari sini, lahirlah gerakan kecil, "NgayogJakarta, Ini Jogja Apa Jakarta?" yang fokus mensoroti perubahan Jogja, baik dalam bentuk artikel, video, mau pun foto.
Simak behind the scene "NgayogJakarta, Ini Jogja Apa Jakarta?" bisa disimak di bagian pertama dan kedua. Klik link yang tersedia.