Pertengahan
Desember lalu, Jogja masih rutin-rutinnya diguyur hujan. Namun hari itu, 17
Desember 2013, cuaca Jogja seperti mendukung aktivitas kami. Ada jadwal yang harus
diselesaikan.
Hari itu,
saya dan kelima teman saya menuju Jl. Monjali. Ada bangunan menjulang tinggi
dekat perempatan lampu merah yang sudah lama menjadi incaran. Di tempat itu,
kami ingin mengksekusi tugas esai foto.
Kembali
saya ceritakan, esai foto ini mengamati tranformasi Jogja yang sudah mulai
terjangkiti penyakit kota megapolitan: macet, maraknya pembangunan gedung, hingga
kepadatan penduduk. Diambillah judul “NgayogJakarta, Ini Jogja Apa Jakarta?”
dengan mengudarakan kata Jakarta sebagai simbol kota megapolitan (alasan
penamaan ini bisa disimak di behind the scene part I, klik di sini).
Khusus
untuk pembangunan gedung (baik diperuntukkan untuk hotel, apartemen, maupun
mall), saya merekomendasikan beberapa tempat, termasuk adalah Mataram City (Jl.
Monjali) dan sebuah hotel besar yang baru dalam proses pembangunan di jl.
Mangkubumi (tepat sebelah selatan tugu Jogja).
Untuk hotel
di Jl. Mangkubumi, kami susah mendapatkan angle yang tepat. Maklum, area ini
cukup padat akan bangunan ruko. Sementara angle
yang kami kehendaki adalah dari atas, dengan mengkomparasikan bangunan tinggi tersebut
dengan rumah-rumah penduduk yang masih merakyat khas Jogja. Gagal di Jl.
Mangkubumi, kami pun menuju ke Jl. Monjali.
Baru saja
memulai pengambilan gambar, kami sudah mendapat protes dari salah satu
penjaganya. Untuk melakukan pemotretan, entah untuk keperluan apa pun, harus
mendapat izin dari pemilik proyek.
“Tapi bapak
bagian yang bersangkutan baru besok ada di kantor,” tutur salah satu tim kami,
menyambung kalimat petugas penjaga. “Sekarang orangnya lagi nggak ada,”
lanjutnya.
Kasihan teman-teman
jika hari itu—kami yang sudah siap tenaga dan semangat—akhirnya gagal mengambil
gambar dan harus menunggu keesokannya. Ide nakal pun lahir. Kami mencoba
memfoto gedung dengan cara yang nakal, tanpa izin. Kami masuk ke gang-gang
perkampungan (daerah itu masih jarang dihuni perumahan. Kalau pun ada, masih
bersifat kelas ekonomi.)
Mengambil gambar
dengan cara yang nakal ternyata jauh mempersulit kami. Pertama, kami memfotonya
dengan suasana yang kurang nyaman, kedua, kami kurang bisa mengambil angle jarak dekat. Kebetulan, kami tidak
punya bekal lensa tele.
Namun omong
punya omong, ternyata ada yang salah dengan bapak petugas tadi. Seorang satpam
bilang, bapak bagian kantor ada di lantai satu. Untuk mendapat izin, kami bisa menemui
bapak Ir. Drajat Prasetyo. Ia berdiri selaku project manager.
Saya masuk dengan satu kru cewek. Untuk urusan
negoisasi, membawa seorang perempuan adalah keuntungan. Sekalipun ia tidak
berkata sepatah kata pun, kharisma seorang perempuan sudah menjadi poin lebih
yang bisa membukakan jalan negoisasi.
Niat hati
hanya meminta izin pemotretan, namun melihat keterbukaan Pak Drajat, saya
menjalankan prinsip lama, berenang sambil
minum air. Sekalian saja saya meminta ketersedian Pak Drajat untuk
interview 5 menit perihal project pembangunan gedungnya.
Baru memulai
wawancara, saya mendapat semprot dari
Pak Drajat. Saya salah informasi. Bangunan ini bukan Mataram City, melainkan
Indo-Luxehotel.
Nama Indo-Luxe memang masih kalah booming disbanding Mataram City. Ketika saya browsing di internet
perihal pembangunan hotel/apartemen, saya lebih banyak menemukan Mataram City
ketimbang Indo-Luxe. Media-media juga lebih sering menyebut Mataram City.
Sekalipun demikian, kedua project pembangunan ini sama-sama megahnya, sama-sama
tingginya, sama-sama jadi objek yang sangat menuai kritik.
Indo-Luxe
mengangkat konsep condotel. Dasarnya
adalah kondominium, namun akan dioperasikan layaknya hotel.
|
Miniatur Indo-Luxehotel |
“Ruangannya
akan kita jual. Kita peruntukkan bagi siapa pun yang ingin berinvestasi,” tutur
Pak Drajat. Kondominium, biasanya akan disewakan lagi oleh pemiliknya.
Proyek ini
sudah berjalan 13 bulan dan akan selesai Juni 2014 nanti. Secara pribadi, saya
tidak berani bertanya dengan nada investigatif. Saya takut nanti malah tidak
dapat izin pemotretan. Saya cukup menggiring Pak Drajat untuk masuk pada alasan
di balik pemilihan Jogja sebagai lahan bisnisnya bersama rekan-rekannya.
Pada tahap
ini, saya tercengang. Jl. Monjali benar-benar seolah dijajah oleh para
investor.
“Di sini
memang sudah ada dua bangunan hotel yang sudah berdiri. Ada Hyat, dan Mataram
City,” cerita Pak Drajat. “Namun karena alasan potensi perkembangan kota, kami
tetap berani berinvestasi di sini.”
Ukuran Jl.
Monjali sangatlah sempit. Di saat Pak Drajat menuturkan alasan itu, saya kok
terbayang bagaimana Jl. Monjali (yang tanpa pembangunan apartemen saja sudah
macet) bakal semakin macet di tahun-tahun ke depanya.
Kenapa bisa
demikian?
Ya bisa
saja. Dengan adanya apartemen, dengan sendirinya wilayah tersebut akan menjadi
pusat kerumunan orang. Ketika sudah menjadi salah satu titik pusat, macet sudah
seperti semut yang mendatangi gula saja.
Terlebih,
jarak Indo-Luxe dengan Mataram City tidaklah jauh. Sangat dekat. Tidak sampai
memakan puluhan kilo. Bisa bayangin Jl. Monjali yang begitu sempitnya bakal semakin
rame oleh lalu-lalang orang?
|
Gambar Mataram City |
Indo-Luxe
merupakan anak perusahaan Bintang Lima Grup yang berpusat di Jakarta.
Perusahaan ini sudah berinvestasi di Bekasi dengan nama Mutiara Bekasi. Di
Bali, mereka membangun Swiss-Bell Segara. Nah, Jogja ini menjadi kota ketiga
yang dijajah oleh mereka. Tidak tanggung-tanggung, langsung dua tempat yang
menjadi sasaran.
“Selain di
Monjali, kami juga membangun Vivo Apartemen di Seturan,” lanjut Pak Drajat.
Yah, Jogja…
Jogja…. Sudah nasibnya lahan subur akan dijadikan rebutan bagi banyak
orang. Dalam hal ini, apa iya perusahaan seperti itu memikirkan dampat laten
dari pembangunan proyek mereka? Jawaban yang perlu digali.
17 Desember
itu, siang yang terang, kami mendapat pencerahan akan betapa sakitnya Jogja
saat ini.
Untuk menutup Behind The Scene bagian kedua ini, saya ingin
mengakhirinya dengan kalimat sindiran yang disajikan Bagus Kurniawan, wartawan
Detik.com dalam pameran foto di Bentara Budaya dengan tema Jogja Berhenti
Nyaman. Berikut:
Apakah memang benar Yogyakarta yang telah
berubah slogannya dari Jogja Berhati Nyaman menjadi Jogja BERHENTI Nyaman? …
bila Yogyakarta sedang sakit, maka harus dicarikan dokter untuk mendiagnosa
penyakit, kemudian mengobati.
Yogyakarta, 2 Januari 2014
Thanks untuk Dyas, Joe, Ryan, Nurul, Elmo.