Kamis, 02 Januari 2014

"NgayogJakarta, Ini Jogja Apa Jakarta" Behind The Scene Part II

Share & Comment

Pertengahan Desember lalu, Jogja masih rutin-rutinnya diguyur hujan. Namun hari itu, 17 Desember 2013, cuaca Jogja seperti mendukung aktivitas kami. Ada jadwal yang harus diselesaikan.
Hari itu, saya dan kelima teman saya menuju Jl. Monjali. Ada bangunan menjulang tinggi dekat perempatan lampu merah yang sudah lama menjadi incaran. Di tempat itu, kami ingin mengksekusi tugas esai foto.
Kembali saya ceritakan, esai foto ini mengamati tranformasi Jogja yang sudah mulai terjangkiti penyakit kota megapolitan: macet, maraknya pembangunan gedung, hingga kepadatan penduduk. Diambillah judul “NgayogJakarta, Ini Jogja Apa Jakarta?” dengan mengudarakan kata Jakarta sebagai simbol kota megapolitan (alasan penamaan ini bisa disimak di behind the scene part I, klik di sini).
Khusus untuk pembangunan gedung (baik diperuntukkan untuk hotel, apartemen, maupun mall), saya merekomendasikan beberapa tempat, termasuk adalah Mataram City (Jl. Monjali) dan sebuah hotel besar yang baru dalam proses pembangunan di jl. Mangkubumi (tepat sebelah selatan tugu Jogja).
Untuk hotel di Jl. Mangkubumi, kami susah mendapatkan angle yang tepat. Maklum, area ini cukup padat akan bangunan ruko. Sementara angle yang kami kehendaki adalah dari atas, dengan mengkomparasikan bangunan tinggi tersebut dengan rumah-rumah penduduk yang masih merakyat khas Jogja. Gagal di Jl. Mangkubumi, kami pun menuju ke Jl. Monjali.
Baru saja memulai pengambilan gambar, kami sudah mendapat protes dari salah satu penjaganya. Untuk melakukan pemotretan, entah untuk keperluan apa pun, harus mendapat izin dari pemilik proyek.
“Tapi bapak bagian yang bersangkutan baru besok ada di kantor,” tutur salah satu tim kami, menyambung kalimat petugas penjaga. “Sekarang orangnya lagi nggak ada,” lanjutnya.
Kasihan teman-teman jika hari itu—kami yang sudah siap tenaga dan semangat—akhirnya gagal mengambil gambar dan harus menunggu keesokannya. Ide nakal pun lahir. Kami mencoba memfoto gedung dengan cara yang nakal, tanpa izin. Kami masuk ke gang-gang perkampungan (daerah itu masih jarang dihuni perumahan. Kalau pun ada, masih bersifat kelas ekonomi.)
Mengambil gambar dengan cara yang nakal ternyata jauh mempersulit kami. Pertama, kami memfotonya dengan suasana yang kurang nyaman, kedua, kami kurang bisa mengambil angle jarak dekat. Kebetulan, kami tidak punya bekal lensa tele.
Namun omong punya omong, ternyata ada yang salah dengan bapak petugas tadi. Seorang satpam bilang, bapak bagian kantor ada di lantai satu. Untuk mendapat izin, kami bisa menemui bapak Ir. Drajat Prasetyo. Ia berdiri selaku project manager.
Saya masuk dengan satu kru cewek. Untuk urusan negoisasi, membawa seorang perempuan adalah keuntungan. Sekalipun ia tidak berkata sepatah kata pun, kharisma seorang perempuan sudah menjadi poin lebih yang bisa membukakan jalan negoisasi.
Niat hati hanya meminta izin pemotretan, namun melihat keterbukaan Pak Drajat, saya menjalankan prinsip lama, berenang sambil minum air. Sekalian saja saya meminta ketersedian Pak Drajat untuk interview 5 menit perihal project pembangunan gedungnya.
Baru memulai wawancara, saya mendapat semprot dari Pak Drajat. Saya salah informasi. Bangunan ini bukan Mataram City, melainkan Indo-Luxehotel. 

Nama Indo-Luxe memang masih kalah booming disbanding Mataram City. Ketika saya browsing di internet perihal pembangunan hotel/apartemen, saya lebih banyak menemukan Mataram City ketimbang Indo-Luxe. Media-media juga lebih sering menyebut Mataram City. Sekalipun demikian, kedua project pembangunan ini sama-sama megahnya, sama-sama tingginya, sama-sama jadi objek yang sangat menuai kritik.
Indo-Luxe mengangkat konsep condotel. Dasarnya adalah kondominium, namun akan dioperasikan layaknya hotel.
Miniatur Indo-Luxehotel
“Ruangannya akan kita jual. Kita peruntukkan bagi siapa pun yang ingin berinvestasi,” tutur Pak Drajat. Kondominium, biasanya akan disewakan lagi oleh pemiliknya.
Proyek ini sudah berjalan 13 bulan dan akan selesai Juni 2014 nanti. Secara pribadi, saya tidak berani bertanya dengan nada investigatif. Saya takut nanti malah tidak dapat izin pemotretan. Saya cukup menggiring Pak Drajat untuk masuk pada alasan di balik pemilihan Jogja sebagai lahan bisnisnya bersama rekan-rekannya.
Pada tahap ini, saya tercengang. Jl. Monjali benar-benar seolah dijajah oleh para investor.
“Di sini memang sudah ada dua bangunan hotel yang sudah berdiri. Ada Hyat, dan Mataram City,” cerita Pak Drajat. “Namun karena alasan potensi perkembangan kota, kami tetap berani berinvestasi di sini.”
Ukuran Jl. Monjali sangatlah sempit. Di saat Pak Drajat menuturkan alasan itu, saya kok terbayang bagaimana Jl. Monjali (yang tanpa pembangunan apartemen saja sudah macet) bakal semakin macet di tahun-tahun ke depanya.
Kenapa bisa demikian?
Ya bisa saja. Dengan adanya apartemen, dengan sendirinya wilayah tersebut akan menjadi pusat kerumunan orang. Ketika sudah menjadi salah satu titik pusat, macet sudah seperti semut yang mendatangi gula saja.
Terlebih, jarak Indo-Luxe dengan Mataram City tidaklah jauh. Sangat dekat. Tidak sampai memakan puluhan kilo. Bisa bayangin Jl. Monjali yang begitu sempitnya bakal semakin rame oleh lalu-lalang orang?
Gambar Mataram City
Indo-Luxe merupakan anak perusahaan Bintang Lima Grup yang berpusat di Jakarta. Perusahaan ini sudah berinvestasi di Bekasi dengan nama Mutiara Bekasi. Di Bali, mereka membangun Swiss-Bell Segara. Nah, Jogja ini menjadi kota ketiga yang dijajah oleh mereka. Tidak tanggung-tanggung, langsung dua tempat yang menjadi sasaran.
“Selain di Monjali, kami juga membangun Vivo Apartemen di Seturan,” lanjut Pak Drajat.
Yah, Jogja… Jogja…. Sudah nasibnya lahan subur akan dijadikan rebutan bagi banyak orang. Dalam hal ini, apa iya perusahaan seperti itu memikirkan dampat laten dari pembangunan proyek mereka? Jawaban yang perlu digali.
17 Desember itu, siang yang terang, kami mendapat pencerahan akan betapa sakitnya Jogja saat ini. 

Untuk menutup Behind The Scene bagian kedua ini, saya ingin mengakhirinya dengan kalimat sindiran yang disajikan Bagus Kurniawan, wartawan Detik.com dalam pameran foto di Bentara Budaya dengan tema Jogja Berhenti Nyaman. Berikut:
Apakah memang benar Yogyakarta yang telah berubah slogannya dari Jogja Berhati Nyaman menjadi Jogja BERHENTI Nyaman? … bila Yogyakarta sedang sakit, maka harus dicarikan dokter untuk mendiagnosa penyakit, kemudian mengobati.
Yogyakarta, 2 Januari 2014

Thanks untuk Dyas, Joe, Ryan, Nurul, Elmo.
Tags: ,

Written by

Penulis buku, tinggal di Yogyakarta. Twitter: @Naqib_Najah

  • Punya Materi Bagus Tapi Tidak Ada Waktu Menulis!

    Banyak dosen yang tidak mempunyai waktu untuk menulis, padahal, mereka punya materi yang sangat bermanfaat.

  • Saya menulis buku biografi!

    Saat ini buku sudah dilirik sebagai media dokumentasi hidup yang sangat positif. Anda butuh penulisan biografi?

  • Berapa Biaya Hidup di Jogja? (Feature Radio)

    Ini dia pertumbuhan biaya hidup di kota pelajar ini. Pengin tahu lebih lanjut?

  • Jogja Kian Macet! (Esai Foto)

    Januari 2014 lalu saya beserta tim membuat esai foto menyoroti pembangunan hotel dan tingkat kemacetan....

  • Pengin Bikin Iklan Produk dalam Bentuk Video? Murah Kok!

    Iklan dengan bentuk video ternyata terkesan beda. Banyak orang melakukan hal ini, tapi... berapa sih biayanya?

 

Paraqibma Video Project


Layaknya anak-anak seusianya, Akila sering menemukan masalah saat proses belajar. Mulai dari susah diminta mengerjakan PR, hingga kejenuhan dengan sistem belajar.

Apa yang terjadi pada Akila selanjutnya? Simak video iklan berikut: Quamon, mini project by Paraqibma.

Artikel Bisnis


Dizipoint menjadi jembatan antara pebisnis dan pasar online. Selain plaza online, Dizipoint juga menyediakan artikel-artikel bisnis bagi pengunjung.

Saya menulis artikel-artikel bisnis untuk plaza online tersebut. Silakan login di sini untuk membaca artikelnya.

New Aquarich (Coming Soon)

Copyright © New Paraqibma | Designed by Templateism.com