Rabu, 15 Januari 2014

Semoga Yogyakarta Tak Berhenti Nyaman (Denyut "NgayogJakarta, Ini Jogja Apa Jakarta?")

Share & Comment

Malioboro tempo dulu
Sahabat saya satu ini asli Jogja. Lahir di kawasan Wijilan, Jogja, besar di Jogja, dan bekerja di Jogja. Bertahun-tahun di Kota Gudeg, ia pun merasakan adanya perubahan di kota ini. Berikut kisahnya perihal "NgyogJakarta, Ini Jogja Apa Jakarta?"
***
Ditulis oleh TW Tristanti
Kejadian hari ini mau tak mau membuat ingatan saya melayang ke beberapa tahun silam, ketika saya masih kecil, bersama Simbah menyaksikan sebuah pertunjukan yang istimewa, Kirab Grebeg Maulud Kraton Yogyakarta. Duduk bersila di atas rumput pinggir trotoar, tak peduli dengan rumput yang basah sebab hujan yang mengguyur malam harinya. Pun tak peduli ketika sesekali harus menggaruk kaki yang gatal karena digigit semut api yang bersarang pada akar rumput di dalam tanah. Saya sudah begitu terpesona pada iring-iringan bregada prajurit kraton yang berbaris dengan diiringi istrumen perpaduan genderang, seruling, dan terompet yang dibunyikan dengan irama lambat.


Kenangan itu begitu membekas, sehingga membuat saya ingin selalu mengulanginya. Maka, setelah bertahun-tahun waktu tersita oleh kesibukan dan tanggung jawab sebagai orang dewasa (baca: bekerja), siang tadi akhirnya saya bisa kembali mengulang nostalgia. Akan tetapi, situasi yang saya temui sungguh berbeda. Tak ada rumput basah untuk duduk bersila. Hujan memang turun deras semalam, namun hanya menyisakan tanah becek serta udara yang panas dan pengap. 

Ke mana rumput-rumput itu pergi? Barangkali mati karena terlindas bus-bus pariwisata, atau rusak ketika didirikan panggung-panggung pertunjukan dari stasiun-stasiun televisi ibu kota. 

Singkat cerita, rencana nostalgia saya gagal total sebab saya justru berakhir di tangan paramedis setelah sebelumnya kliyengan karena dehidrasi.

Yogya memang telah berubah. Cerita di atas mungkin hanya contoh kecil dari perubahan kota ini. 

Perubahan lain yang cukup signifikan di antaranya adalah banyaknya titik-titik kemacetan yang mulai bermunculan pada beberapa wilayah di Yogyakarta. Lagi-lagi ingatan saya jadi bernostalgia ke beberapa tahun silam, ketika bersama Bapak bersepeda di sore hari melewati sepanjang Jalan Malioboro. Kami bersepeda dengan santai, sambil sesekali Bapak menyuruh saya belajar mengeja nama toko-toko di Malioboro. Di sekitar kami, berseliweran orang-orang yang sedang joging. Juga andong dan becak yang mengantar ibu-ibu pulang dari Pasar Beringharjo. Beberapa di antaranya juga mengantar wisatawan berbelanja di Malioboro. Satu dua bus kota melintas. 

Suasana seperti itu mungkin sulit untuk kita dapati saat ini, sebab kendaraan bermotor seolah makin banyak saja memadati jalan-jalan di Yogya. Entah, barangkali karena faktor banyaknya pendatang, atau karena makin mudahnya masyarakat untuk membeli kendaraan-kendaraan tersebut dengan sistem kredit. 

Yang pasti, kegiatan bersepeda santai seperti yang biasa saya lakukan bersama Bapak tempo dulu tentu tidak bisa dilakukan lagi. Bagaimana bisa kita bersepeda dengan santai di tengah lalu lintas yang ruwet. Beberapa waktu yang lalu saya melihat seorang bapak tukang becak yang diklaksoni mobil ketika beliau sedang terengah-engah mengayuh becaknya, mungkin itu bisa jadi salah satu contohnya.
Suasana Malioboro saat ini. Sumber foto: Diaz Frihantana (Kru NgayogJakarta)
“Yogyakarta sudah menyerupai Jakarta,” kata teman saya.
Selain merujuk kepada kemacetan, barangkali kalimat tersebut juga ditujukan dengan maraknya pembangunan gedung yang terjadi di Yogya. Di satu sisi, pembangunan gedung-gedung ini menunjukkan bahwa Yogya sudah menjadi kota yang lebih maju sehingga para investor sudi meliriknya. Namun di sisi lain, maraknya pembangunan gedung ini juga cukup meresahkan. Pembangunan mal, hotel, apartemen, yang notabene sasarannya hanya untuk orang-orang “berduit”, akan mengundang banyak pendatang, utamanya mereka dari kota-kota besar. Hal ini membuat jumlah penduduk Yogya semakin padat, dan jumlah kendaraan semakin banyak, sehingga Yogya semakin macet. Lalu, bagaimana nasib penduduk lokal Yogya yang mayoritas berstatus sosial lebih rendah daripada orang-orang dari kota besar itu? Mau tak mau mereka harus mengikuti “gaya hidup” yang dibawa oleh para pendatang itu, atau bernasib seperti bapak tukang becak yang diklaksoni mobil ketika terengah-engah mengayuh becaknya tadi.
Banyaknya investor yang menanamkan modalnya ke Yogyakarta memang dapat menambah pendapatan daerah. Namun, hendaknya perlu dipikirkan juga kemanfaatannya untuk penduduk lokal Yogya itu sendiri. Dan bukan berarti menolak sebuah kemajuan, namun baiknya dipertimbangkan juga agar dengan kemajuan itu tidak lantas membuat Yogyakarta kehilangan jati dirinya serta tetap nyaman untuk ditinggali. Bukankah beberapa waktu yang lalu Yogyakarta dinobatkan menjadi “The Most Liveable City” di Indonesia?
Pada akhirnya, sebagai orang yang lahir dan tumbuh di kota ini, saya berharap semoga Yogyakarta tak berhenti nyaman. :)

Yogyakarta, 15 Januari 2014

***

Apa itu NgayogJakarta? Proyek iseng ini menyoroti perubahan Jogja yang mulai terjangkiti virus kota megapolitan. Dari macet hingga pembangunan gedung. Semiula, proyek ini hanya sebatas tugas Esai Foto. Namun seiring berjalannya waktu, dilanjutkan dengan karya lain dalam bentuk artikel, video (dalam proses), dan foto.

Behind The Scene NgayogJakarta, Ini Jogja Apa Jakarta bisa disimak di sini, dan di sini.
Tags: ,

Written by

Penulis buku, tinggal di Yogyakarta. Twitter: @Naqib_Najah

  • Punya Materi Bagus Tapi Tidak Ada Waktu Menulis!

    Banyak dosen yang tidak mempunyai waktu untuk menulis, padahal, mereka punya materi yang sangat bermanfaat.

  • Saya menulis buku biografi!

    Saat ini buku sudah dilirik sebagai media dokumentasi hidup yang sangat positif. Anda butuh penulisan biografi?

  • Berapa Biaya Hidup di Jogja? (Feature Radio)

    Ini dia pertumbuhan biaya hidup di kota pelajar ini. Pengin tahu lebih lanjut?

  • Jogja Kian Macet! (Esai Foto)

    Januari 2014 lalu saya beserta tim membuat esai foto menyoroti pembangunan hotel dan tingkat kemacetan....

  • Pengin Bikin Iklan Produk dalam Bentuk Video? Murah Kok!

    Iklan dengan bentuk video ternyata terkesan beda. Banyak orang melakukan hal ini, tapi... berapa sih biayanya?

 

Paraqibma Video Project


Layaknya anak-anak seusianya, Akila sering menemukan masalah saat proses belajar. Mulai dari susah diminta mengerjakan PR, hingga kejenuhan dengan sistem belajar.

Apa yang terjadi pada Akila selanjutnya? Simak video iklan berikut: Quamon, mini project by Paraqibma.

Artikel Bisnis


Dizipoint menjadi jembatan antara pebisnis dan pasar online. Selain plaza online, Dizipoint juga menyediakan artikel-artikel bisnis bagi pengunjung.

Saya menulis artikel-artikel bisnis untuk plaza online tersebut. Silakan login di sini untuk membaca artikelnya.

New Aquarich (Coming Soon)

Copyright © New Paraqibma | Designed by Templateism.com