Sabtu, 18 Januari 2014

Membesuk Jogja Dengan Beberapa Penyakitnya Saat Ini

Share & Comment
Namanya Ngayogyakarta Hadiningrat. Orang-orang datang ke sini karena ingin mencicipi wisata budayanya, pendidikannya, hingga nuansa kotanya yang konon berhati nyaman. Namanya sih Ngayogyakarta, namun karena berbagai problem yang melandanya saat ini, namanya sedikit berubah menjadi NgayogJakarta. Sambil menyebut nama baru itu, sambil kita ajukan pertanyaan, “Ini Joga apa Jakarta?”

Banyak sekali lagu-lagu yang menggambarkan nuansa Yogyakarta. Dari lagu milik Kla Project, Doel Sumbang, Shaggydog, hingga Gank Kobra. Jogja memang istimewa. Kata istimewa ini semula ditujukan untuk status pemerintahannya, namun secara lebih luas, masyarakat me-label-i keistimewaan Jogja karena kondisi kotanya, keramahan orangnya, hingga hal-hal lain yang tidak ditemui di kota lain namun bisa didapati di kota ini.

Hanya saja, Jogja yang istimewa ini, kini mulai terjangkiti penyakit kota-kota megapolitan. Ya, siapa pun tidak akan ada jaminan selamat dari sebuah penyakit, termasuk Jogja. Dengan sepenuh keprihatinan, mari ‘menjenguk’ Jogja dengan segala penyakit barunya. Inilah Jogja yang perlahan-lahan mulai berubah layaknya Jakarta.


Kondisi macet di depan Saphir Square. Area ini sering diserang macet saat jam-jam aktif.
“Macet…. Woy, Ini Jogja Apa Jakarta?”
Kalimat itu seringkali keluar di tengah kondisi kota yang semakin macet. Sambil menunggu lancarnya lalu lintas, sambil menekan klakson setengah kesal, keluarlah kalimat, “Ini Jogja apa Jakarta sih?”
Jangan sekali-sekali mencoba melewati Jl. Laksda Adisucipto pada siang hari. Macet melanda area depan Saphir Square hingga lampu merah perempatan pasar Demangan. Pemandangan seperti ini bisa dilihat saat jam-jam makan siang hingga pukul 5 sore.
“Macet…. iki ono si Komo lewat opo pie? Macet kok koyo ngene,” tutur salah satu tukang becak. Becaknya tidak berpenumpang, entah karena faktor apa bapak tengah baya itu lewat di depan Saphir Square dan harus melatih kesabarannya karena macet yang luar biasa.
Nasib yang sama juga dirasakan oleh para pengendara yang melewati daerah Swalayan Citrouli, Jl. Babarsari No. 114 116).
Daerah Babarsari memang dipenuhi dengan kost-kostan. Wajar, banyaknya area kost-kostan dikarenakan jumlah bangunan perguruan tinggi yang lumayan banyak di wilayah ini. Dengan sendirinya, Babarsari menjadi kawasan dengan kepadatan penduduk yang perlu diperhitungkan. 

Jelang terbenamnya sang surya, kawasan ini sering diserang macet yang luar biasa. Jumlah pengendara motor tak terhitung jumlahnya. Seolah diburu keperluan masing-masing, mereka bertumpah ria di jalan Babarasari yang terhitung sempit.
 

Seperti semut mendatangi gula, 
kemacetan di daerah Babarsari saat petang hari cukup memprihatinkan



 Apakah kemacetan hanya menyapa Jogja di wilayah Saphir dan Babarsari saja? Jawabannya tentu tidak.
Duta Besar Republik Indonesia untuk Amerika Serikat (AS), Dino Patti Djalal mendapat oleh-oleh yang berbeda dari Yogyakarta pada kunjungannya Oktober lalu. Seperti yang dilansir Tribun Jogja, Kamis (10/10/13), Dino Patti Djalal mengeluhkan kondisi Jogja yang semakin macet.  
Itulah kesan pertama yang Dino ungkapkan soal Yogya ketika ditemui di XT Square, Yogyakarta, Kamis (10/10/13) malam.
Alih-alih menemukan obat macetnya di kemudian hari, Jogja justru diprediksi semakin macet di tahun-tahun berikutnya.
Pengamat transportasi Universitas Gadjah Mada, Prof Dr Ir Ahmad Munawar MSc, sudah memprediksi kemacetan Jogja bahkan sejak tahun 2008. Waktu itu, Kamis
Pembangunan Hotel Merajalela
Bangunan itu menjulang cukup tinggi, terlihat begitu jelas dari perempatan ring road Jl. Monjali. Di tengah rumah-rumah penduduk yang terlihat masih sederhana, bangunan milik Indo-Luxehotel ini terbilang cukup mengangkangi rumah-rumah sekitar.
Banguan Indo-Luxe dari jauh. Dengan dibangunnya condotel ini, kawasan Jl. Monjali hingga Tentara Palagan dijamin semakin ramai.

Ir. Drajat Prasetyo yang berdiri selaku Project Manager bercerita, Indo-Luxe merupakan anak perusahaan dari Bintang Lima Grup yang berpusat di Jakarta. Perusahaan ini sudah membangun Swiss-Bell Segara di Bali, dan Mutiara Bekasi di wilayah Bekasi. Khusus Yogyakarta, Bintang Lima langsung menancapkan dua bidikan. Pertama adalah Indo-Luxe yang akan dioperasikan sebagai condotel, dan Vivo Apartemen di wilayah Seturan.
“Selain di Monjali, kami juga membangun Vivo Apartemen di Seturan,” tutur Pak Drajat.  
Jl. Monjali dan Tentara Palagan yang cukup sempit, seolah menjadi sasaran empuk para investor untuk menanamkan modalnya di daerah ini. Tidak jauh dari Indo-Luxe, yakni beberapa kilo meter ke utara, juga dibangun Mataram City, sebuah apartemen dan condotel yang katanya akan menjadi apartemen tertinggi di Yogyakarta. Padahal, masih di area Tentara Palagan, sudah ada hotel Hyatt yang cukup terkenal.
Duh, Jogja… Jogja. Suasanamu yang nyaman, kondisi wilayahmu yang dipenuhi pelajar, potensi wisatamu yang aneka ragam, dengan sendirinya menjadi sasaran empuk para investor, baik untuk wilayah Jogja kota mau pun Sleman.
Bangunan hotel di wilayah Jl. Mataram dari sudut atas.

Kritik khusus dilayangkan oleh Agung “Leak” Kurniawan untuk hotel-hotel yang berdiri di sekitar Tugu Jogja. Bangunan yang menjulang terlalu tinggi, secara otomatis akan menghalangi pemandangan Tugu itu sendiri. Bagaimana tidak mengganggu jika icon Kota Gudeg ini dihalangi oleh bangunan lain.
Ketika ditemui, Senin (13/01/14) kemarin, Leak menyinggung ‘kemurahan’ pemerintah dalam memberikan izin untuk pembangunan hotel.
“Maraknya pembangunan hotel memang sebuah keniscayaan. Jogja kota wisata, kota pelajar, wajar jika banyak didirikan hotel,” tutur Agung “Leak” di Kedai Kebun, Jalan Tirtodipuran. “Namun yang kami butuhkan adalah ketegasan. Aturan yang tepat, sehingga kesannya Jogja tidak dijual semurah ini.” 
Tahun 2012 hingga awal 2013 contohnya, sudah dibangun 30 hotel berbintang dan 74 hotel melati dengan jumlah kamar sekitar 16.000 unit. Akhir tahun kemarin, Yogyakarta menutup 2013 dengan catatan 100 pengajuan proposal pendirian hotel.
Semoga Tidak Bernasib Seperti Jakarta!
Jika Anda kebetulan lewat di bawah jembatan Janti dari arah utara menuju ke selatan, cobalah tengok poster besar yang terpajang sebelah barat. Poster tersebut terletak di tiang dekat rel kereta api, dengan kalimat bernada protes perihal pembangunan hotel dan mall di kota Gudeg ini. 

“JOGJA ORA Di DOL. KAMI BUTUH RUANG HIDUP BUKAN TAMBANG HOTEL ATAU MALL!” bunyi teks dalam poster tersebut.
Terjangkitnya Jogja akan virus-virus kota megapolitan membuat para seniman bersuara. Oktober 2013 kemarin, bertepatan dengan hari ulang tahun Jogja, para seniman menggagas festival Mencari Haryadi. Dalam festival ini, para seniman ingin menarik satu langkah tegas terkait maraknya pembangunan gedung serta macet yang kian membabi-buta.
Macet menjadi problem yang tidak mengenal kasta.  Baik kalangan bawah mau pun atas sadar akan mulai berubahnya kondisi Jogja. Pak Isdiutomo (53) yang merupakan koordinator paguyuban tukang becak, Margo Rahayu Keben Kraton, merasakan dampak kemacetan di Jogja.
“Kita sebenarnya sih untung kalo Jogja macet-macetnya. Artinya itu lagi banyak pengunjung di sini,” buka Pak Isdiutomo saat diwawancara di sela menunggu wisatawan di alun-alun selatan. “Namun kalo terlalu macet ya kasihan wisatawannya."

Seorang tukang becak membawa kertas dengan tulisan “Semoga” di samping mural Jogja Tetap Istimewa yang terletak di wilayah Keraton.
Pak Isdiutomo beserta teman-teman sesama tukang becak terus berharap, ada perbaikan dari sisi tata kota. Sehingga Jogja yang istimewa ini tetap bisa menjaga khazanah wisata, etos pindidikan, serta aura kenyamanannya.  
__________________________________________
Apa itu NgayogJakarta? Proyek iseng ini menyoroti perubahan Jogja yang mulai terjangkiti virus kota megapolitan. Dari macet hingga pembangunan gedung. Semiula, proyek ini hanya sebatas tugas Esai Foto. Namun seiring berjalannya waktu, dilanjutkan dengan karya lain dalam bentuk artikel, video (dalam proses), dan foto.


Behind The Scene NgayogJakarta, Ini Jogja Apa Jakarta bisa disimak di sini, dan di sini.

Guyub NgayogJakarta (all crew)

Ide Cerito tur Tukang Ketik’e:

-          Muhammad Annaqib (2013/BC/3736)

Tukang Jepret:

-          Diaz Frihantana (2013/BC/3626)

-          Januario Marques Pereira (2013/BC-F/3712)

-          Ryan Kurniawan Aji Putra (2013/BC/3742)

Bagian Ngerayu Narasumber:

-          Mega Okta Nurul Huda (2013/BC/3622)

Bagian Kelengkapan Alat:

-          Emanuel Hasan Lamaking (2013/BC/3722)
Tags: ,

Written by

Penulis buku, tinggal di Yogyakarta. Twitter: @Naqib_Najah

  • Punya Materi Bagus Tapi Tidak Ada Waktu Menulis!

    Banyak dosen yang tidak mempunyai waktu untuk menulis, padahal, mereka punya materi yang sangat bermanfaat.

  • Saya menulis buku biografi!

    Saat ini buku sudah dilirik sebagai media dokumentasi hidup yang sangat positif. Anda butuh penulisan biografi?

  • Berapa Biaya Hidup di Jogja? (Feature Radio)

    Ini dia pertumbuhan biaya hidup di kota pelajar ini. Pengin tahu lebih lanjut?

  • Jogja Kian Macet! (Esai Foto)

    Januari 2014 lalu saya beserta tim membuat esai foto menyoroti pembangunan hotel dan tingkat kemacetan....

  • Pengin Bikin Iklan Produk dalam Bentuk Video? Murah Kok!

    Iklan dengan bentuk video ternyata terkesan beda. Banyak orang melakukan hal ini, tapi... berapa sih biayanya?

 

Paraqibma Video Project


Layaknya anak-anak seusianya, Akila sering menemukan masalah saat proses belajar. Mulai dari susah diminta mengerjakan PR, hingga kejenuhan dengan sistem belajar.

Apa yang terjadi pada Akila selanjutnya? Simak video iklan berikut: Quamon, mini project by Paraqibma.

Artikel Bisnis


Dizipoint menjadi jembatan antara pebisnis dan pasar online. Selain plaza online, Dizipoint juga menyediakan artikel-artikel bisnis bagi pengunjung.

Saya menulis artikel-artikel bisnis untuk plaza online tersebut. Silakan login di sini untuk membaca artikelnya.

New Aquarich (Coming Soon)

Copyright © New Paraqibma | Designed by Templateism.com