Namanya Ngayogyakarta Hadiningrat. Orang-orang datang ke sini karena ingin
mencicipi wisata budayanya, pendidikannya, hingga nuansa kotanya yang konon
berhati nyaman. Namanya sih
Ngayogyakarta, namun karena berbagai problem yang melandanya saat ini, namanya
sedikit berubah menjadi NgayogJakarta. Sambil menyebut nama baru itu, sambil
kita ajukan pertanyaan, “Ini Joga apa Jakarta?”
Banyak sekali lagu-lagu yang menggambarkan nuansa
Yogyakarta. Dari lagu milik Kla Project, Doel
Sumbang, Shaggydog, hingga Gank Kobra. Jogja memang istimewa. Kata
istimewa ini semula ditujukan untuk status pemerintahannya, namun secara lebih
luas, masyarakat me-label-i
keistimewaan Jogja karena kondisi kotanya, keramahan orangnya, hingga hal-hal
lain yang tidak ditemui di kota lain namun bisa didapati di kota ini.
Hanya saja, Jogja yang istimewa ini,
kini mulai terjangkiti penyakit kota-kota megapolitan. Ya, siapa pun tidak akan
ada jaminan selamat dari sebuah penyakit, termasuk Jogja. Dengan sepenuh
keprihatinan, mari ‘menjenguk’ Jogja dengan segala penyakit barunya. Inilah
Jogja yang perlahan-lahan mulai berubah layaknya Jakarta.
|
Kondisi macet di depan Saphir Square. Area ini sering diserang macet
saat jam-jam aktif.
|
“Macet…. Woy, Ini Jogja Apa Jakarta?”
Kalimat itu seringkali keluar di tengah
kondisi kota yang semakin macet. Sambil menunggu lancarnya lalu lintas, sambil
menekan klakson setengah kesal, keluarlah kalimat, “Ini Jogja apa Jakarta sih?”
Jangan
sekali-sekali mencoba melewati Jl. Laksda Adisucipto pada siang hari. Macet
melanda area depan Saphir Square hingga lampu merah perempatan pasar Demangan.
Pemandangan seperti ini bisa dilihat saat jam-jam makan siang hingga pukul 5
sore.
“Macet…. iki ono si Komo lewat opo pie?
Macet kok koyo ngene,” tutur salah
satu tukang becak. Becaknya tidak
berpenumpang, entah karena faktor apa bapak tengah baya itu lewat di depan
Saphir Square dan harus melatih kesabarannya karena macet yang luar biasa.
Nasib yang sama juga dirasakan oleh para pengendara yang melewati daerah
Swalayan Citrouli, Jl. Babarsari No. 114 116).
Daerah
Babarsari memang dipenuhi dengan kost-kostan. Wajar, banyaknya area kost-kostan
dikarenakan jumlah bangunan perguruan tinggi yang lumayan banyak di wilayah
ini. Dengan sendirinya, Babarsari menjadi kawasan dengan kepadatan penduduk
yang perlu diperhitungkan.
Jelang
terbenamnya sang surya, kawasan ini sering diserang macet yang luar biasa.
Jumlah pengendara motor tak terhitung jumlahnya. Seolah diburu keperluan
masing-masing, mereka bertumpah ria di jalan Babarasari yang terhitung sempit.
Seperti semut mendatangi gula,
kemacetan di daerah Babarsari saat
petang hari cukup memprihatinkan
|
Apakah
kemacetan hanya menyapa Jogja di wilayah Saphir dan Babarsari saja? Jawabannya
tentu tidak.
Duta Besar Republik Indonesia untuk
Amerika Serikat (AS), Dino Patti Djalal mendapat oleh-oleh yang berbeda dari
Yogyakarta pada kunjungannya Oktober lalu. Seperti yang dilansir Tribun Jogja,
Kamis (10/10/13), Dino Patti Djalal mengeluhkan kondisi Jogja yang semakin
macet.
Itulah kesan pertama yang Dino ungkapkan
soal Yogya ketika ditemui di XT Square, Yogyakarta, Kamis (10/10/13) malam.
Alih-alih menemukan obat macetnya di
kemudian hari, Jogja justru diprediksi semakin macet di tahun-tahun berikutnya.
Pengamat transportasi Universitas Gadjah
Mada, Prof Dr Ir Ahmad Munawar MSc, sudah memprediksi kemacetan Jogja bahkan
sejak tahun 2008. Waktu itu, Kamis 11 Desember 2008,
situs resmi UGM memposting pendapat Prof Munawar yang menyatakan Jogja akan
macet total pada tahun 2015.
Di tahun 2015 nanti, sekitar 35
persen jalan utama di perkotaan akan macet total di saat jam-jam sibuk.
Sementara pada tahun 2025, tingkat wilayah kemacetan bertambah sekiat 55 persen
ruas jalan utama.
Pembangunan
Hotel Merajalela
Bangunan itu menjulang cukup tinggi, terlihat begitu jelas dari perempatan
ring road Jl. Monjali. Di tengah rumah-rumah penduduk yang terlihat masih
sederhana, bangunan milik Indo-Luxehotel ini terbilang cukup mengangkangi
rumah-rumah sekitar.
|
Banguan Indo-Luxe dari jauh. Dengan dibangunnya condotel ini, kawasan
Jl. Monjali hingga Tentara Palagan dijamin semakin ramai. |
Ir. Drajat
Prasetyo yang berdiri selaku Project
Manager bercerita, Indo-Luxe merupakan anak perusahaan dari Bintang Lima
Grup yang berpusat di Jakarta. Perusahaan ini sudah membangun Swiss-Bell Segara
di Bali, dan Mutiara Bekasi di wilayah Bekasi. Khusus Yogyakarta, Bintang Lima
langsung menancapkan dua bidikan. Pertama adalah Indo-Luxe yang akan
dioperasikan sebagai condotel, dan
Vivo Apartemen di wilayah Seturan.
“Selain di Monjali, kami juga membangun
Vivo Apartemen di Seturan,” tutur Pak Drajat.
Jl. Monjali dan Tentara Palagan yang cukup sempit, seolah menjadi sasaran
empuk para investor untuk menanamkan modalnya di daerah ini. Tidak jauh dari
Indo-Luxe, yakni beberapa kilo meter ke utara, juga dibangun Mataram City,
sebuah apartemen dan condotel yang
katanya akan menjadi apartemen tertinggi di Yogyakarta. Padahal, masih di area
Tentara Palagan, sudah ada hotel Hyatt yang cukup terkenal.
Duh, Jogja… Jogja. Suasanamu yang nyaman, kondisi wilayahmu
yang dipenuhi pelajar, potensi wisatamu yang aneka ragam, dengan sendirinya
menjadi sasaran empuk para investor, baik untuk wilayah Jogja kota mau pun
Sleman.
|
Bangunan hotel di wilayah Jl. Mataram dari sudut atas.
|
Kritik
khusus dilayangkan oleh Agung “Leak”
Kurniawan untuk hotel-hotel yang berdiri di sekitar Tugu Jogja.
Bangunan yang menjulang terlalu tinggi, secara otomatis akan menghalangi
pemandangan Tugu itu sendiri. Bagaimana tidak mengganggu jika icon Kota Gudeg
ini dihalangi oleh bangunan lain.
Ketika
ditemui, Senin (13/01/14) kemarin, Leak menyinggung ‘kemurahan’ pemerintah
dalam memberikan izin untuk pembangunan hotel.
“Maraknya pembangunan hotel memang sebuah
keniscayaan. Jogja kota wisata, kota pelajar, wajar jika banyak didirikan
hotel,” tutur Agung “Leak” di Kedai Kebun, Jalan Tirtodipuran. “Namun yang kami
butuhkan adalah ketegasan. Aturan yang tepat, sehingga kesannya Jogja tidak
dijual semurah ini.”
Tahun 2012
hingga awal 2013 contohnya, sudah dibangun 30 hotel berbintang dan 74 hotel
melati dengan jumlah kamar sekitar 16.000 unit. Akhir tahun kemarin, Yogyakarta
menutup 2013 dengan catatan 100 pengajuan proposal pendirian hotel.
Semoga Tidak Bernasib Seperti Jakarta!
Jika Anda kebetulan lewat di bawah
jembatan Janti dari arah utara menuju ke selatan, cobalah tengok poster besar
yang terpajang sebelah barat. Poster tersebut terletak di tiang dekat rel
kereta api, dengan kalimat bernada protes perihal pembangunan hotel dan mall di
kota Gudeg ini.
“JOGJA
ORA Di DOL. KAMI BUTUH RUANG HIDUP BUKAN TAMBANG HOTEL ATAU MALL!” bunyi teks
dalam poster tersebut.
Terjangkitnya Jogja akan virus-virus kota megapolitan
membuat para seniman bersuara. Oktober 2013 kemarin, bertepatan dengan hari ulang tahun Jogja, para
seniman menggagas festival Mencari Haryadi. Dalam festival ini, para seniman
ingin menarik satu langkah tegas terkait maraknya pembangunan gedung serta
macet yang kian membabi-buta.
Macet menjadi problem yang tidak mengenal kasta. Baik kalangan
bawah mau pun atas sadar akan mulai berubahnya kondisi Jogja. Pak Isdiutomo (53) yang merupakan koordinator
paguyuban tukang becak, Margo Rahayu Keben Kraton, merasakan dampak kemacetan
di Jogja.
“Kita sebenarnya sih untung kalo Jogja macet-macetnya.
Artinya itu lagi banyak pengunjung di sini,” buka Pak Isdiutomo saat
diwawancara di sela menunggu wisatawan di alun-alun selatan. “Namun kalo
terlalu macet ya kasihan wisatawannya."
|
Seorang tukang becak membawa kertas dengan tulisan “Semoga” di samping
mural Jogja Tetap Istimewa yang terletak di wilayah Keraton.
|
Pak
Isdiutomo beserta teman-teman sesama tukang becak terus berharap, ada perbaikan
dari sisi tata kota. Sehingga Jogja yang istimewa ini tetap bisa menjaga khazanah
wisata, etos pindidikan, serta aura kenyamanannya.
__________________________________________
Apa
itu NgayogJakarta? Proyek iseng ini menyoroti perubahan Jogja yang
mulai terjangkiti virus kota megapolitan. Dari macet hingga pembangunan
gedung. Semiula, proyek ini hanya sebatas tugas Esai Foto. Namun seiring
berjalannya waktu, dilanjutkan dengan karya lain dalam bentuk artikel,
video (dalam proses), dan foto.
Behind The Scene NgayogJakarta, Ini Jogja Apa Jakarta bisa disimak di sini, dan di sini.
Guyub NgayogJakarta
(all crew)
Ide Cerito tur Tukang
Ketik’e:
-
Muhammad Annaqib (2013/BC/3736)
Tukang Jepret:
-
Diaz Frihantana (2013/BC/3626)
-
Januario Marques Pereira (2013/BC-F/3712)
-
Ryan Kurniawan Aji Putra (2013/BC/3742)
Bagian Ngerayu Narasumber:
-
Mega Okta Nurul Huda (2013/BC/3622)
Bagian Kelengkapan Alat:
-
Emanuel Hasan Lamaking (2013/BC/3722)