Mugkin karena Edith
Schaeffer terlalu kenyang dengan nilai-nilai hidup, ia akhirnya tahu bagaimana
seseorang harus mengejar kesempurnaan. Ia yang lahir dari ayah George dan ibu
Jessie Seville (dua-duanya missionaries yang mengabdi di China), telah bertemu
dengan jutaan orang yang bermasalah. Oleh karenanya, ia pun merumuskan: "Orang-orang membuang apa yang mereka
bisa miliki dengan menekankan pada kesempurnaan, yang
mereka tidak dapat memiliki."
Bagaimana merumuskan arti kesempurnaan dalam hidup? Bagaimana meraihnya? Apakah
kita harus berburu kata ‘sempurna’ dan meninggalkan segala ketidak sempurnaan? Edith Rachel atau yang bernama Cina, Mei Fuh—berarti kebahagiaan yang indah—tentu
sering mendengar pertanyaan-pertanyaan dengan nada yang sama.
Kesempurnaan tidak harus menghambat kita dalam mengumpulkan keindahan-keindahan kecil. Memilih untuk menabung keindahan-keindahan seukuran kerikil jauh lebih baik
ketimbang menunggu kesempurnaan segunung namun membuat seseorang jijik setengah amnesia terhadap hal-hal
sepele yang berdampak besar, nasihat Edith Schaeffer.
Tanggal 26 hingga 28 Februari kemarin memang
bukan hari yang sempurna untuk Valentino
Rossi. Sepang, Malaysia, masih belum memberinya keberuntungan. Dalam tiga hari
itu, ia hanya mencatat posisi tercepat kelima, sebelum kemudian meraih posisi
setingkat lebih atas di hari ketiga. Jika harus menakar, maka posisi tersebut
di luar kesempurnaan The Doctor. "Unfortunately we had some technical
problems this morning,” keluhnya.
 |
Valentino Rossi diskusi dengan Yamaha Team |
Valey sudah tahu problem yang menimpa timnya bahkan
sebelum memulai tes. Segunung harapan yang ia taruh di pundak YZRM1, ternyata
belum terbalas dengan segunung hasil yang meyakinkan. Ada masalah di bagian
rem, tim kehilangan banyak waktu untuk memodifikasi ulang pengaturan motor, ditambah
lagi kesalahan tim dalam memprediksi cuaca Sepang. Menumpuk, demikian Rossi
menemukan problem.
Dalam keadaan seperti itu, Valey sebenarnya mempunyai
dua pilihan: tetap mengikuti tes dengan berbagai problem, atau mundur dari tes
dan menunggu datangnya kesempurnaan.
Pada pilihan pertama, konsekuensi jauh lebih
bisa diprediksi: ia tidak akan meraih catatan waktu terbaik, yang nantinya berujung
pada komentar publik dengan nada mencibir. Sementara pilihan kedua membuatnya
bertindak perfeksionis, sekian sifat yang dipuja banyak orang.
Kenyataannya Valentino Rossi tetap menggeber
motornya. Hasilnya pun sesuai prediksi: ia gagal masuk tiga besar. Bahkan, jika
publik berniat mencibir, bisa saja mereka berkata pembalap yang sembilan kali juara dunia itu kalah dengan Stefan Bradl
yang hanya mengendarai LCR Honda (di tes hari pertama, 26/03/13) dan Cal
Crutchlow yang mengendarai Yamaha Tech 3 (di tes hari kedua, 27/2/13).
Seolah copy
paste, cerita tentang Valentino Rossi dan kesempurnaan dalam melngkah pun
sering terjadi di sendi-sendi kehidupan yang lebih luas. Jika Anda seorang
penulis, maka akan ada pilihan: memulai menulis berdasarkan genre yang sedang
Anda buru, atau menundanya lantaran Anda masih melihat serangkaian problem. Mungkin Anda masih melihat gaya pembahasaan
yang masih kacau, plotting yang masih
berantakan, pemilihan tema yang masih standar, pendalaman materi yang kurang
dalam. Itu adalah pundi-pundi problem Anda. Problem yang kadang tidak sebanding
dengan niat atau tabungan ide yang kita miliki. Probelm yang membuat Anda takut melangkah karena khawatir akan menimpa cibiran, kritik atas hasil yang sudah Anda raih. Hingga akhirnya Anda pun
perlahan-lahan mengidap sindrom perfeksionis, menunda berkarya dengan dalih menanti level
sempurna.
Sindrom, semacam hal buruk: perfeksionis tidak selamanya hal baik. "Saya memiliki
sifat buruk yaitu perfeksionis. Saya kira secara tak sadar saya menonjolkannya
karena hal ini datang dari keraguan pribadi dan ketidakamanan yang saya
rasakan, padahal bagi saya itu ironis," demikian aku Gwyneth Paltrow yang
lahir dari ayah produser film dan ibu yang tak kalah perfeksionisnya.
Menjadi perfeksionis membuat kita sibuk
bermain strategi di ruang ganti, hingga akhirnya lupa untuk terjun dalam
kompitisi yang seharusnya dijalani. Boleh
kita menaruh harapan menikmati keindahan di puncak gunung, namun bukan berarti membuat
kita menolak menikmati angin pedesaan walau hanya dari tebing. Boleh Valentino
Rossi berharap memiliki start yang bagus sebagai bukti comeback-nya dengan Yamaha, namun bukan berarti ia menolak menjalani
tes lantaran banyak problem.
Memikirkan bagaimana membentuk mesin yang
super cepat, meraih bentuk tulisan dengan plotting
yang indah, bahasa yang baik, cerita yang kompleks, adalah langkah-langkah
menuju kesempurnaan. Asal tetap memasang alarm untuk mengingat nasihat Edith
Schaeffer: Orang-orang membuang apa yang
mereka bisa miliki dengan menekankan pada kesempurnaan, yang mereka tidak dapat memiliki.
Hingga tiba saya menulis
ini, suatu saat saya akan berbicara teman yang sekaligus atasan saya, untuk
tidak terlalu rajin pergi ke Gramedia. Menulis saja! Toh kadang produkivitas
lebih dihargai ketimbang perfeksionalisme.
Yogyakarta, 08 Februari 2013
Dengan
sepenuh kantuk, tapi untuk menulis, tidak harus menunggu kesempurnaan energy kan?