Kalau satu pedang saja cukup membuatmu melibas musuh, kenapa harus memegang pedang-pedang lainnya.
Kalimat di atas bisa kita anggap sebagai eufemisme, ucapan halus, pengganti genggam satu hal saja,tidak perlu banyak-banyak. Anjuran sederhana untuk mempunyai satu hal saja namun menjadi personal branding daripada memiliki banyak hal namun mengaburkan identitas diri.
Ryan
Bertrand kembali bermain dalam laga Minggu (20/01/13). Ia turun ke
lapangan saat Chelsea sukses memanaskan jantung Arsene Wenger yang
sebenarnya sedang kedinginan: salju memutihkan Stamford Bridge semalam.
Betrand memang terbiasa masuk ketika pertandingan sudah memasuki puluhan
menit. Ia bukan pilihan utama, namun solusi kekosongan skuad.
Cerita tentang Bertrand sama halnya dengan kisah John O’Shea ketika masih berbaju Setan Merah. Keduanya bertemu dalam neraca sama-sama pemain yang sering diplot pelatih untuk menempati posisi di luar kebiasaannya. Walau pun O’Shea jauh lebih mempunyai keberuntungan ketimbang pemain muda Chelsea itu.
Kodrat
O’Shea yang dilabeli pemain pencicip berbagai macam posisi akhirnya
membawanya memperoleh pujaan. Para pecinta ‘Setan Merah” memujinya
sebagai pemain dengan loyalitas tinggi. O’Shea mampu berperan dan pernah
mencicipi posisi sebagai bek sayap, gelandang bertahan, winger,
goalkeeper, bahkan pada musim 2007/2008 pernah diplot sebagai striker.
Namun apakah kemampuan mencicipi segala posisi tersebut mempertahankan
karirnya di Old Trafford?
|
John O'Shea Manchester United |
Kalau
satu senjata saja cukup membuatmu bertahan menjalani peperangan, maka
sebenarnya hidup ini tidak butuh banyak keahlian untuk mencapai sebuah
kesuksesan. Kisah tentang Ryan Bertrand dan O’Shea mengantarkan saya
pada sebuah nasihat.
Tiga bulan pasca resign dari penerbitan lama, saya mendapat kesempatan chatting dengan CEO publishing
tersebut. Lewat perantara Yahoo Messanger, saya bercerita perihal
ketertarikan saya dengan dunia programming. Saya mencontohkan salah satu
CEO yang tidak hanya tekun di dunia penulisan, namun juga ahli di
bidang pemograman. Rasa salut saya terletak pada kemampuan organisasi
otak CEO satu ini. Antara menulis dan pemograman adalah dua dunia yang
saling bersebelahan. Satunya menghuni otak A, satunya menghuni otak B.
Namun ia bisa melakukan kedua-duanya.
Hidup menuntut sebuah peningkatan,
begitu tandas saya. Peningkatan finansial, juga peningkatan skill. Jika
sebelumnya hanya memiliki satu pedang saja, maka bolehlah saya mencari
pedang berikutnya. Atau, jika O’Shea yang semula hanya pandai dalam trik
defending, maka pada pecan berikutnya ia harus pandai trik attacking, lanjut pikir saya.
Namun
di tengah aktivitas chatting itu, mantan bos penerbitan saya itu justru
memberi nasihat simple. Tulisnya, “Untuk sukses kita tidak harus
mempunyai banyak skill.” Saya membacanya cermat. Sebelum ia lanjut mengingatkan, yang punya banyak skill justru berpotensi kehilangan identitas diri.
Alex Ferguson dan Rafael Benitez akan mengamati pemainnya dalam kesehariannya. Semakin ia tahu kebiasaan skill habit-nya,
maka ia pun semakin paham jati diri pemain tersebut. O’Shea dan
Bertrand adalah pemain yang mampu mencicipi berbagai macam peran, namun
untuk menempati posisi bek sayap kiri, Rafa mungkin lebih memercayakan
nama Ashley Cole. Selain karena mobilitas, juga pertimbangan
identitasnya yang jelas-jelas seorang left-back sejati.
Jika
Anda penulis, maka tetangga Anda akan meminta pendapat Anda tentang
judul skripsi anaknya. Jika Anda seorang penjahit, maka sahabat Anda
akan mendatangi Anda untuk membetulkan sobekan bajunya. Dan sudah
menjadi hukum wajar, seseorang mudah ingat satu profesi saja.
Sebaliknya, banyaknya profesi justru mengaburkan jati diri Anda.
Maka
menjadi sebuah pilihan, untuk hidup sebagai O’Shea yang mendapat pujaan
fans akan fleksibelitas posisinya (namun tidak terlalu menjadi pilihan
pelatih), atau menempati satu posisi saja namun semua orang tahu itulah
identitas Anda.
Yogyakarta, 21 Januari 2013
Twitter: @naqib-najah
FB: naqib najah
Kompasiana: http://www.kompasiana.com/naqibnajah