Antara iya dan tidak, Anda akan terjurumus sebagai
manusia paling tidak beruntung sedunia.
“Jenderal, jika
ingin mengundurkan diri dari peperangan, buat apa tetap memikirkan medan
perang?” demikian bunyi kalimat saya. Kalimat tersebut, akhirnya saya tulis di
dinding Facebook, timeline Twitter, juga update status Yahoo Messenger. Sambil
menulisnya, saya mengingat adegan slow
motion detik-detik akhir Street Dance II. Ketika Ash (Falk Hentschel)
menjauhkan diri dari kelompok dance yang sudah dibentuknya, merenungi nasib dengan
sesekali melakukan gerakan dance untuk melebur rasa gelisahnya.
Sesungguhnya Ash
pada saat itu sedang diambang keputusan: antara maju ke medan kompetisi
bertajuk battle dance—ia memimpikan
tampil di perlombaan seperti ini sudah cukup lama. Saat ia masih berbaju
penjual pop corn, melihat para penari mendapat tepuk tangan dari penonton,
seolah mereka adalah pusat segala keindahan berbalut kebanggan—atau mundur
dalam arti tidak mengikuti kompetisi tersebut.
Adegan slow motion yang menampilkan Ash dalam
satu scene dan Eva (Sofia Boutella)
dalam scene berbeda membuat saya
benar-benar tahu isi batin masing-masing. Tarian kegelisahan: Ash bertutur masalah
yang dihadapinya lewat gerak dance, seolah
sedang berdzikir maju atau tidak… maju
atau tidak. Sementara Eva di tempat berbeda terus merangsang Ash untuk
menemukan jawabannya.
Jika ingin mengundurkan diri dari peperangan, buat
apa tetap memikirkan medan perang? Jika memang Ash tidak menghendaki tampil di kompetisi yang sudah
diidam-idamkannya sejak lama, semestinya ia tidak perlu memikirkan suasana
panggung atau bagaimana perasaan rekan setim yang sudah ia kumpulkan dari
berbagai negara. Setidaknya memastikan diri untuk masuk dalam satu keputusan
membuat seseorang berada dalam fokus hidup yang jelas. Tidak mengambang, lalu
hilang orientasi ke mana hidup harus dijalani.
Ketika hidup
adalah pilihan, ketika itulah hidup serasa sebuah peng-adilan. Justru dengan
adanya pilihan tersebut (antara maju ke kompetisi atau mundur dan mengabaikan
mimpiya sebagai penari profesional) Ash serasa menjadi peserta sidang. Ia dihadapkan
dengan para pengadil, dengan topik sidang sebuah pilihan, jika mental tidak kuat
menghadapi situasi seperti ini, maka mau bagaimana lagi: dilema menjadi solusi
terakhir atas ‘persidangan’ tersebut. Ash merasakannya.
Jenderal, jika
tidak ingin pergi menjalani peperangan, maka sudahlah, pulang dan abaikan medan
atau kilau pedang lawan. Maka semestiya saya tidak mengundang detak-detak
dilematis sebagaimana yang Ash lakukan.
Dia memang orang
istimewa. Sangat istimewa. Sehingga saya menyebutnya sebagai Perempuan
Matahari, saking istimewanya. Ia memiliki koleksi perjalanan dan pemikiran
hidup yang dirangkum dalam ‘jurnal-jurnal kecil’. Koleksi seperti ini, yang
tentu akan membawa keluarga saya pada taraf hidup yang lebih baik. Nantinya, ‘jurnal-jurnal
kecil’ itu akan menjadi ‘bacaan’ yang baik untuk anak-anak saya.
Oleh karena
berbagai penilaian di atas, saya dipaksa jedag-jedug
oleh persidangan yang dihadiri diri saya, otak saya, hati saya, dan
pendapat-pendapat orang lain yang justru sebagai hakimnya.
Saya pun menari
sebagaimana yang Ash lakukan. Tarian jiwa dengan dzikir Perempuan Matahari.
Perempuan yang membuat saya terkunci dalam perasaan sebentuk abstraksi. Oleh
karena abstraksi inilah, saya ingin maju kali kedua. Saya tidak akan mengharapkan
keberuntungan dalam hal penerimaan atau penolakan, namun saya lebih menyayangi
masa depan saya. Bila mana saya maju selangkah lagi, saya yakin abstraksi itu
akan lebur dengan sendirinya. Entah menjadi cerita yang happy ending atau sebaliknya. Setidaknya hidup tanpa sebuah
abstraksi adalah kebahagiaan yang sempurna.
Saya sering
membayangkan hidup dengan kejelasaan sebuah perasaan. Saya tidak perlu
berbayang-bayang, atau menebak apa yang sedang ada dalam isi hati. Aktivitas menebak-nebak
seperti ini yang saya benci. Hidup ini
bukan sebuah tebakan, kalau pun harus bermain tebakan marilah menggunakan konsep analisa, begitu dalih saya.
Sidang peng-adilan
yang diikuti komponen diri saya dengan hakim pendapat orang lain masih
berjalan. Saya menyimak saja. Hingga kemudian saya memutuskan, menjadi jenderal
yang mundur dari sebuah peperangan. Sebab selain saya tahu pentingnya maju
selangkah dalam peperangan kali ini, saya pun sangat sadar, mana peperangan
yang harus diikuti.
Ada kemenangan yang sudah diraih dan dapat dinikmati
sesuka mungkin. Namun jika pun saya menang dalam peperangan kali
ini, saya tidak akan memperoleh kebahagiaan sebagaimana yang saya bayangkan. Sebab
saya tahu, dia ‘Matahari’ yang dikelilingi beberapa planet menarik, ia pun
meghendaki salah satunya.
Ketika jenderal memutuskan absen dari peperangan, sesungguhnya ia akan berada pada peperangan berikutnya. Saya berkata "siap" untuk medan-medan selanjutnya.
Yogyakarta, 10 Januari 2013