Senin, 22 Februari 2016

Tambah Angka Tambah Besar Ceritanya

Share & Comment

Bukan hari, tapi apa yang terjadi di moment tersebut. Bukan jam, tapi apa yang dirasakan di waktu tersebut. Kita kurang begitu pandai mengingat hari dan jam, tapi mudah menyampaikan kenangan kepada seseorang.

Baru setahun yang lalu, saya menyiapkan portofolio, mendesainnya sebagus mungkin, lalu menyebarkannya ke beberapa perusahaan. Setahun yang lalu, di bulan Februari akhir, kesibukan sehari-hari saya hanya seputar kamar kost, warung makan Jl. Monjali, ngopi saat teman dekat ngajak, dan kembali lagi ke kost untuk nulis lagi, lagi dan lagi.

Portofolio tersebut, lewat salah seorang saudara, disebar ke beberapa perusahaan di Jakarta. Saya bilang, "Kok mendadak pengin kerja di Jakarta," sebab merasa sudah saatnya mengakhiri perjuangan di Jogja dengan siklus keuangan yang "begitu lagi begitu lagi".

Baru setahun yang lalu, saya membantu teman saya untuk jualan roti. Seminggu tiga kali, motor Shogun tua keluaran tahun 2000 saya dipenuhi kardus roti untuk diantarkan ke kantin-kantin. Kurang lebih ada 15 kantin, mulai daerah Nologaten, YKPN, sampai beberapa kampus di UGM. Roti buatan teman, saya cuma membantu mengedarkannya di kantin tersebut.

Setahun yang lalu, kesibukan mengantar roti (lalu kemudian keripik singkong), bertemu dengan ibu-ibu kantin dan sensasi ngangkat-ngangkat kardus di tengah banyak mahasiswa adalah cerita luar biasa bagi saya.

Baru dua tahun yang lalu, saya menjadi mahasiswa tertua di salah satu kampus Broadcasting di Yogyakarta. Saya ikut Ospek, dihukum nyanyi Indonesia Raya beberapa kali, di tengah mahasiswa lain yang usianya 5-7 tahun di bawah saya. Usia segitu seangkatan sama adik bungsu saya.

Dua tahun yang lalu, kebahagiaan mengalir seiring passion yang bertemu dengan passionmate di bidang industri televisi dan film. Saya menikmati obrolan soal taste yang disampaikan teman yang memang 'dituakan' di bidang film, menikmati produksi film, coba-coba membuat iklan, dll.

Baru tiga tahun yang lalu, hari-hari saya dipenuhi obrolan penuh gelisah antara saya dan teman dekat (kami dekat dari TK hingga sama-sama berjuang di Jogja). Tiga tahun lalu, tahun yang sulit, penuh kegalauan tentang karir & keuangan. Tapi di saat yang sama, muncul ikrar kami untuk terus berjuang di Jogja, mencoba-coba meng-create ide untuk bikin usaha, dll.

Tiga tahun yang lalu, dengan teman dekat tersebut, kami seperti dua ekor emprit yang menaruh mimpi layaknya elang penuh kemegahan. Dia penggila bisnis--kami ngobrol point-point bisnis dari buku yang sudah dia atau saya baca. Serta tak habis-habisnya mengomentari orang--siapa saja orangnya, baik di warung kopi, tempat makan, kafe, dll.

Baru enam tahun yang lalu, saya kali pertama menikmati kehidupan kantor. Tahun 2010 lalu, saya diterima sebagai editor di salah satu penerbit. Bangga? Pasti! Bagi saya yang saat itu hanya bermodal ijazah SD, menjadi editor tak ubahnya lompatan tiga tangga dari kehidupan sebelumnya. Meski awal-awalnya harus ngontel dari Pengok-Jl. Kaliurang, dengan style baju yang itu-itu saja.

Baru delapan tahun yang lalu, saya keluar dari pesantren dan memilih pergi ke Jogja demi mencari komunitas menulis. Waktu itu, saya mikir, pokoknya mau nyari uang lewat tulisan. Dan alhamdulillah, bertemu dengan komunitas KUTUB yang memberi lingkungan menulis sangat kondusif dan kompetitif. Seminggu di Jogja, kebahagiaan membuncah setelah dapat kabar cerpen saya dimuat di Surabaya Post. Fee pemuatan Rp250.000,00, langsung dibelikan sepeda bekas untuk jualan koran dan operasional sehari-hari.

Baru sepuluh tahun yang lalu, saya rajin ke warnet di saat internet belum begitu banyak masuk desa. Belajar membuat email, kepoin artikel tulisan tentang penulisan, mencatat nomor komunitas menulis, sampai akhirnya diajak bertemu Lubis Grafura di Malang hanya karena saya mengomentari blognya.

Baru tiga belas tahun yang lalu, di sebuah ruangan belakang rumah mbah, saya bicara ke ibuk saya, soal keinginan membeli susu Appeton Weight Gain agar tubuh saya tidak terlalu kurus. Padahal harganya saat itu sekitar 200-an, dan belinya harus di Surabaya. Ibu saya mengambil uang dari balik kasur. Mungkin dia juga tidak tega melihat anaknya terlalu kurus.

Baru enam belas tahun yang lalu, saya dipanggil Nobita oleh salah seorang teman yang jago membuat komik. Katanya, muka saya mirip Nobita. Enam belas tahun yang lalu, saya hidup di pesantren di daerah pantura, sambil sekolah SMP meski tidak bertahan lama.

Di pesantren tersebut, kali pertama saya merasa tidak punya tempat, merasa kalah saing dan memilih untuk pindah. Enam balus tahun lalu, kali pertama dan terakhir saya duduk di bangku sekolah formal.

Baru dua puluh tahun yang lalu, setiap sore, tubuh saya banjir keringat setelah bermain bola di lapangan Balai Desa. Bapak saya bercerita, dulu setelah main bola, saya makan sangat lahap dan porsi yang sangat dewasa untuk usia saya.

Baru dua puluh tiga tahun yang lalu, saya menjadi bocah usia empat tahunan yang suka menirukan dialog di televisi. Kadang dialog iklan, atau cara ustaz (waktu itu yang paling terkenal Zainudin MZ) menyapa manjelisnya di televisi. Ibu saya bilang, "Udah, besok besarnya ditaruh di pesantren aja." Dan akhirnya jadi anak pesantren selama 8 tahunan.

Baru dua puluh empat tahun yang lalu, saya bocah yang rewel, mudah minta ini-minta itu. Saya masih ingat, setiap diajak bertamu ke orang kaya, dan melihat hiasan ruang tamu yang bagus di dalamnya, saya pasti bilang, "Pengin dibeliin kipas angin besar yang ada di atas," setiap kali pulang ke rumah. Dari dulu pengin mempunyai apa yang dimiliki orang-orang kaya: kulkas, mesin cuci, dll. Meski sampai usia saya yang sekarang, rumah di kampung belum berisi barang-barang yang saya pengini tersebut.

Baru dua puluh delapan tahun yang lalu, bapak mengadzani telinga kanan saya. 18 Februari 1988, saya lahir sebagai anak lelaki pertama. Saya lahir sebagai kado bagi bapak dan ibuk. Saya lahir sebagai anak kedua yang mungkin lebih rewel dibanding anak lainnya.

Dua puluh delapan tahun yang lalu, seiring kelahiran saya, lahir pula harapan dan mimpi-mimpi dalam benak orang tua saya. Pasti! Sebab kelahiran anak, pasti diikuti harapan serta mimpi-mimpi dari orang tuanya.

Dua puluh delapan tahun sudah! Banyak kegagalan. Mungkin banyak mimpi-mimpi yang dulu terkesan mudah diraih tapi Tuhan berkata lain. Dua puluh delapan tahun juga, banyak mimpi-mimpi yang terwujud di luar dugaan saya. Lagi-lagi, sebab Tuhan punya kehendak lain.

Dua puluh delapan tahun! Banyak kesempatan yang terlewatkan, tapi juga banyak mimpi yang terajut dalam hidup saya. Rajutan yang kadang melemah, tapi menguat lagi seiiring berjalannya waktu.

Mimpi, cerita-cerita hidup, dan pelajaran hidup lainnya, akan terus menggelembung. Mereka adalah bola salju yang membesar mengikuti berapa banyak putaran yang dilakukan. Hingga nanti, seiring banyaknya cerita, saya kesulitan mengingat hari tapi lebih mudah mengingat moment yang pernah dirasakan. Seperti kata novelis Italia, Cesare Pavese (1908-1950), "Kita tidak ingat tentang hari, tapi kita ingat tentang moment."

Cerita-cerita seru yang saya rasakan di hidup ini, adalah cara Tuhan memberi dongeng untuk hamba-Nya. Cerita-cerita tersebut (tentang kesuksesan, kerja keras, dll.), yang akhirnya menjadi alasan kenapa seseorang harus menanti hari esok. Agar tahu, kisah apa yang akan Tuhan berikan untuk hamba-Nya.

Jakarta, 22 Februari 2016
Tags:

Written by

Penulis buku, tinggal di Yogyakarta. Twitter: @Naqib_Najah

  • Punya Materi Bagus Tapi Tidak Ada Waktu Menulis!

    Banyak dosen yang tidak mempunyai waktu untuk menulis, padahal, mereka punya materi yang sangat bermanfaat.

  • Saya menulis buku biografi!

    Saat ini buku sudah dilirik sebagai media dokumentasi hidup yang sangat positif. Anda butuh penulisan biografi?

  • Berapa Biaya Hidup di Jogja? (Feature Radio)

    Ini dia pertumbuhan biaya hidup di kota pelajar ini. Pengin tahu lebih lanjut?

  • Jogja Kian Macet! (Esai Foto)

    Januari 2014 lalu saya beserta tim membuat esai foto menyoroti pembangunan hotel dan tingkat kemacetan....

  • Pengin Bikin Iklan Produk dalam Bentuk Video? Murah Kok!

    Iklan dengan bentuk video ternyata terkesan beda. Banyak orang melakukan hal ini, tapi... berapa sih biayanya?

 

Paraqibma Video Project


Layaknya anak-anak seusianya, Akila sering menemukan masalah saat proses belajar. Mulai dari susah diminta mengerjakan PR, hingga kejenuhan dengan sistem belajar.

Apa yang terjadi pada Akila selanjutnya? Simak video iklan berikut: Quamon, mini project by Paraqibma.

Artikel Bisnis


Dizipoint menjadi jembatan antara pebisnis dan pasar online. Selain plaza online, Dizipoint juga menyediakan artikel-artikel bisnis bagi pengunjung.

Saya menulis artikel-artikel bisnis untuk plaza online tersebut. Silakan login di sini untuk membaca artikelnya.

New Aquarich (Coming Soon)

Copyright © New Paraqibma | Designed by Templateism.com