Di
lautan lepas, ikan memang jauh lebih banyak. Namun tidak menutup
kemungkinan, kita kenyang aroma ikan walau di tepi sungai saja.
Drama panjang bursa transfer Wesley
Sneijder akhirnya menemukan epilognya. Bukan Liverpool, QPR, atau
Manchester United, melainkan Galatasaray yang meraih happy ending setelah episode berkeringat yang dilakoni Unal Aysal selaku presiden klub.
Dari Milan ke Turki, dari Liga Italia yang
sudah berdiri sejak 1898 menuju SPORTOTO Super Lig yang baru berdiri
1959. Ia sedang turun kasta. Sneijder dengan usia yang masih 28 tahun,
tidak lagi mengarungi lautan luas, melainkan memilih memancing di sungai
saja: Marco Materazzi selaku mantan rekannya mengulurkan ucapan
sesalnya, sementara Massimo Moratti melepasnya dengan label legenda
La Baneamata.
Berita transfer ini sebenarnya tidak begitu
mengejutkan bagi saya. Kebetulan, saya tidak punya ikatan emosional
dengan Inter Milan, atau pemain Belanda ini. Namun ketika ia
mengudarakan alasan hengkangnya kepada De Telegraaf, barulah saya menemukan hal lain.
Ia pemain hebat,
saya membatin. Kehebatan yang saya tangkap justru bukan dari permainan
lapangannya. Melainkan, tutur jujurnya sebagaimana kalimat berikut:
“Mengapa aku tidak bergabung dengan salah
satu dari lima klub top di Eropa? Karena saya tidak lagi salah satu dari
lima pemain top.”
Jujur, tulus, sebuah pengakuan, begitu mungkin tag line yang tepat untuk sebentuk pengakuan Sneijder.
|
Wesley Sneijder: laut atau sungai? |
Masa kejayaannya menemui puncaknya pada
tahun 2010, ketika ia mendapat kesempatan mengangkat trofi Liga
Champions. Namun di balik kejayaan itu, ia harus menerima konsekuensinya bahwa
masa-masa berikutnya adalah kesuraman—bukankah sudah tabiat alamiah, setelah meraih periode pasang seseorang akan menemui masa surutnya.
Apa yang seseorang cari dari sebuah sungai?
Kecuali hanya ketenangan dan arus yang lebih damai. Apa yang Sneijder
cari dari Liga Turki? Kecuali kalau bukan ketenangan batin: ia kembali
akan dimanusiakan oleh Fatih Terim, ia mendapat jatah bermain di skuad
regular, Sneijder akan menjadi mercusuar bagi kejayaan tim.
Perlahan-lahan Sneijder ingin menutup mata.
Ia seolah mengabaikan betapa medan kompetisi Liga Turki, bukanlah
kompetisi Serie A yang masih diperhitungkan berjuta-juta pecinta sepak bola. Sungai
dan lautan, begitulah!
Kondisi Sneijder yang turun kasta dari
menjaring ikan di lautan menjadi mengulur kail pancing di arus sungai,
mengingatkan saya pada sebuah pertanyaan sederhana: apa yang Anda cari
dari sebuah lahan sempit setelah sebelumnya terbiasa dengan medan yang
besar?
Sahabat saya pernah bekerja di perusahaan elektronik terkemuka di Batam. Sebagai seorang enginer
lulusan PTN ternama di Jogja, dibalut dedikasi tinggi, ia memperoleh
posisi yang lumayan. Perusahaan tersebut, ibarat laut, ia berpotensi
menjaring ikan sebanyak-banyaknya, ia berpotensi pulang menjadi ‘nelayan
handal’ yang diagung-agungkan anggota keluarga. Kenyataannya ia memang
pulang. Namun dengan tujuan lepas dari perusahaan tersebut, ia ingin
menjadi penulis. Penulis saja!!!
Saya heran, sangat heran. Sama herannya
ketika saya mendapati cerita atasan saya. Ia bekerja di perusahaan IT di
Jakarta. Dua tahun di perusahaan tersebut, atasan saya memperoleh
posisi yang patut dibanggakan. Namun ia membuat pilihan hidup yang
berbeda: ia resign, dan mendirikan perusahaan IT pribadi dengan skala tidak semasif perusahaan yang pernah dinaunginya.
Apa yang Anda rasakan ketika memilih
memancing di sungai saja dan mengabaikan luasnya lautan? Saya yakin,
laut lebih membuat seseorang menuai penghargaan, laut lebih memungkinkan
Anda pulang dengan puluhan jenis ikan. Lalu keluarga menyambut
kedatangan Anda dengan kecupan sambil setengah merangkul, mereka
bangga,—lagu nenek moyangku seorang pelaut setidaknya telah mengesahkan hipotesis tersebut.
Bernaung di laut bertajuk Serie A, Premier
League atau La Liga, adalah kesempatan Anda untuk memanen pujian dari
banyak orang. Lalu apa yang Sneijder cari dari sungai bernama SPORTOTO
Super Lig?
Di
lautan lepas, ikan memang jauh lebih banyak. Namun tidak menutup
kemungkinan, kita justru menikmati aroma ikan walau di tepi sungai saja.
Sahabat saya perlahan-lahan menyadarkan,
betapa hidup dengan ketenangan, memanusiakan diri sendiri, justru lebih
berharga ketimbang tabungan pujian dari mulut-mulut orang. Sahabat saya,
Sneijder, mungkin tidak lagi menuai pujian sedahsyat yang dulu ia
lakukan. Namun sahabat saya, Sneijder, dan mungkin juga Anda, sedang
tidak ingin berada di gemerlap pujian lautan, mereka hanya ingin
menemukan kenikmatan di balik santapan ikan di tepi sungai. Sebab akan
menjadi percuma, pulang melaut dengan banyak ikan namun Anda tidak
menikmatinya.
Laut atau sungai? Setidaknya keduanya menemui muara yang sama.
Yogyakarta, 23 Januari 2013
With Gee, SNSD Song!!!
Twitter: @naqib_najah
FB: Naqib Najah
Kompasiana: http://www.kompasiana.com/naqibnajah