|
The Tree of Life |
Aneh, rasa kehilangan
justru menarik daya yang kuat untuk mempersatukan manusia dengan Tuhan-Nya.
Kita mudah mempertanyakan sesuatu di saat apa yang
sebelumnya menjadi hak milik tiba-tiba hilang dari peredaran. Batas antara
pertanyaan atau protes, Anda akan melakukan hal itu.
Jack O'Brien
awalnya hanya melihat pohon besar di dekat kantor ia bekerja. Pohon beserta
rantig-rantingnya itu akhirnya mengantarkan dia pada masa kecil di mana ia
kehilangan banyak hal. Ia adalah bocah yang mula-mula kehilangan sikap antusiasnya terhadap seorang ayah yang otoriter. Kemudian
dilanjutkan dengan kehilangan kasih
sayang ayahnya yang dipandangnya terlalu arogan. Dan terakhir, ia kehilangan adik kandungnya. Episode
matinya seorang adik yang tidak dijelaskan sebab-musababnya begitu jelas. Namun
Jack O’Brien tahu betul bentuk perasaannya di saat itu.
|
Terrence Malick |
Saya menyukai
The Tree
of Life, saya jatuh cinta dengan plot film dan simbol-simbol grafis yang
dibangun oleh
Terrence
Malick, sutradara yang dikenal kaya akan karya-karya dengan muatan
spiritual tinggi.
Namun ini bukan review sebuah film. Saya tidak ingin membedah
film tersebut atau kemudian menceritakan ulang satu-persatu peristiwa yang terbangun.
Namun tiga tahap kehilangan yang dirasakan Jack O’Brien, membawa saya pada tiga
pintu berbeda. Di mana Jack yang kehilangan rasa respek terhadap ayahnya, jauh
lebih sakit ketimbang ia kehilangan adiknya. Bahwa Jack yang terlahir sebagai
pemikir berat—bahkan sejak masih belia, adalah satu di antara sekian juta orang
yang menemukan Tuhan-Nya justru di saat ia berada dalam episode hidup berjudul “kehilangan”.
Dan yang terakhir, ketika manusia mempertanyakaan maka sebenarnya di saat
itulah ia merasakannya.
Sakit yang ada di mata, bisa kita obati cukup dengan berangkat
ke Apotek dan membeli Insto atau merk lainnya. Namun ketidak terimaan yang kita
rasakan di dalam hati, jauh akan membuat kita berulangkali menjalani terapi.
Jack boleh saja terima ketika adik kandungnya meninggal.
Memori dari indera penglihatannya perihal kenangan-kenangan masa kecil bersama
adiknya, tentu bisa diobati hanya dengan berlalunya waktu. Namun mengenai rasa
sakit akibat arogansi sang ayah dan segala bentuk otoriternya akan membentuk
dendam-denam kecil yang terus terpelihara.
Jack
dengan tumpukan dendam kemudian rajin mempertanyakan “Dimanakah Engkau? Apakah Engkau tahu?” yang ia
layangkan kepada Tuhannya di saat ia merasakan tiga titik kehilangan tersebut
(kehilangan kasih sayang, kehilangan respek terhadap ayahnya, dan kehilangan
adik kandungnya).
Anda kehilangan, maka di situlah Anda siap berjabat tangan dengan
Tuhan. Mengenai apakah Anda berjabat tangan dalam kapasitas untuk menyetujui setiap
episode Tuhan dengan menerima segala yang Anda rasakan pahit itu, atau
sebaliknya, Anda berjabat tangan dan mengatakan, “Cukup!!! Kita tidak usah
berkenalan lagi.” sebagai tanda putus kontrak dengan segala takdir sang
pencipta.
Namun bentuk kehilangan dan proses berjabat tangan dengan
Tuhan yang dialami Jack O’Brien, setidaknya tertuang juga dalam episode hidup
saya beberapa bulan yang lalu. Masa di mana saya mengutuk setiap perputaran
kalender sebagai pencapaian terburuk sepanjang hidup.
Koridor antara November 2011 hingga Agustus 2012 memang
cukup mengecewakan. Saya kehilangan rasa respek atas diri saya sendiri. Begitu pun,
saya kehilangan antusiasme atas harapan-harapan yang pernah saya ajukan. Segala
harapan tersebut, seolah tenggelam perlahan-lahan dan saya sulit merabanya
lagi.
Saya memang tidak kehilangan siapa pun. Saya tidak
kehilangan hal-hal secara kasat mata. Motor masih ada, perabotan kost masih
utuh, dan keluarga saya sehat semuanya. Saya tidak kehilangan apa pun secara
fisik. Sebagaimana Jack yang tidak kehilangan Ibu, Ayah, atau rumahnya. Ia hanya kehilagan adiknya dan elemen-elemen kecil di dalam hatinya: respek, antuasiasme, dan
semangat hidup. Namun justru bentuk kehilangan yang metafisik ini
semakin membuat Jack (begitu pun saya) mudah mengajukan pertanyaan kepada Tuhan.
Kita akan menjalani pagi dengan setengah suntuk lalu
bertanya, “Tuhan, di mana Engkau? Berkunjunglah sebentar dan tengoklah nasibku.”
Kalimat klise, dan Anda menemuinya di rute-rute hidup dengan tebaran brosur
berisi satu teks saja: KEHILANGAN.
Jarak antara bertanya dan protes memang sepersekian centi.
Anda bertanya, boleh jadi itu adalah bentuk protes Anda. Namun
Terrence Malick
lewat filmnya satu ini mengajarkan, bahwa satu pertanyaan berarti menandakan
Anda merasakan, mengetahui, dan mengenali objek yang Anda pertanyakan tersebut.
Apabila Anda mempertanyakan Tuhan, maka sebenarnya Anda pun merasakan,
mengetahui, dan mengenali-Nya.
Anda, begitu pun Tuhan, berjabat tangan di episode abu-abu bertajuk
“Kehilangan!”.
Yogyakarta, 21 Oktober
2012