Begitu mudah menjadi orang sombong. Namun butuh upaya untuk menjadi rendah hati.
Saat pertama kali bertemu Lubis Grafura, statemen yang terlontar dari mulut saya adalah, sifat sombong kadang diperlukan dalam diri seseorang. Lubis Grafura yang pada tahun 2007 silam saya temui dalam rangka mencari nasihat tentang dunia tulis menulis, mengiyakan statemen tersebut. Bahwa sombong memang perlu.
Uli Hoeness ketika menjabat sebagai manajer klub Bayern Munchen, sengaja menjadikan kesombongan sebagai salah satu cara untuk mencitrakan klub. Hoeness tidak peduli dengan orang lain. Meskipun pelatih Munchen saat itu (1998), Ottmar Hitzfeld terang-terang tidak menyukai citra tersebut.
"Jangan pongah, bersikaplah sederhana," nasihat Hitzfeld kepada para pemainnya. Bersikap sederhana tentu bukanlah senada dengan
frame sombong dan angkuh yang sudah dibangun oleh Hoeness.*
Alex Ferguson pun tahu betul arti kesombongan bagi timnya. Ketika Manchester United ditahan imbang 1-1 oleh Juventus di kandang sendiri pada leg pertama semifinal Piala Champions 1998/1999 (7/4/99), Fergie bukan malah menunduk. Sebaliknya, komentar bernada pongah dilontarkan Fergie.
"Kalau ingin mengalahkan kami, Juventus harus bisa lari jutaan mil," tegas Fergie. Kesombongan Fergie membuahkan hasil. Laga kedua yang digelar 21 April 1999 berakhir dengan skor 2-3. MU lolos ke partai final.
Keane,
Yorke dan Andy
Cole melumpuhkan harapan Juve di hadapan pendukung sendiri.
Sombong memang perlu. Siapa pun bisa melakukannya. Asal tetap sadar, bahwa hanya mereka yang "punya kuasa" yang nantinya tidak malu karena kepongahannya. Sebaliknya, kesombongan tanpa "kuasa" hanya akan menjadikan bumerang belaka.
Valentino Rossi telah melalui beragam siklus selama berkompetisi di ajang balap. Ia pernah menjadi
rising star pada awal era milenium. Kemunculannya dari kelas 250cc (dengan predikat juara dunia tahun 1999) membuat para
rider lain mulai ketar-ketir. Terlebih ia sering melakukan selebrasi beraroma pongah saat memenangi
race, meski masih di level kelas 250cc. Namun Rossi tidak peduli dengan hal itu. Kemenangan yang dia raih (tanpa peduli levelnya) layak dirayakan. Sebab dia tahu, dia akan menjadi besar.
Pada level kelas utama, Rossi mampu membutikan kuasanya. Menduduki posisi
runner up di musim pertama (2000), Rossi kemudian sukses menyabet gelar juara dunia lima tahun berturut-turut (2001/500cc, 2002, 2003, 2004, 2005), ditambah dua gelar juara dunia lagi (2008 dan 2009) sehingga menggenapi sembilan gelar juara dunia yang pernah ia raih. Itu adalah musim yang "pongah" bagi The Doctor. Hingga perlahan-lahan, usia mengajari Rossi cara menikmati kompetisi dengan watak yang lain.
Tidak mudah bagi Rossi menerima kenyataan bahwa muncul pembalap-pembalap muda yang merobohkan kekuasaannya. Jorge Lorenzo menghancurkan mimpi juara dunia Rossi di tahun 2010.Tidak hanya merobohkan kekuasaanya di MotoGP, Lorenzo juga sedikit menggeser posisi "anak emas" di tim Yamaha Factory.
Lebih menyedihkan lagi, perjudiannya di Ducati tidak berbuah panen raya. Periode dua tahun di Ducati tidak ubahnya pembetulan bagi banyak pihak, bahwa Rossi memang sudah habis. Namun kerendahan hati itu membawa Rossi pencerahan.
"Anda harus melupakan semua
kemenangan yang telah Anda dapatkan pada tahun-tahun sebelumnya dan
memiliki kerendahan hati," tutur Rossi usai menutup musim 2014 dengan status
runner up.
Dengan alas kerendahan hati, Rossi rela menempatkan dirinya layaknya
pembalap baru. Ia tidak mau mengingat kesuksesan di masa lalu.
Sebaliknya, ia ingin melihat kenyataan yang ada di masa kini. Persaingan kian ketat, dan mengandalkan kepongahan karena prestasi masa
lalu tidak akan memberi untung banyak.
"Kalau
Anda terus-terusan mengenang kesuksesan Anda di masa lalu dan mengatakan
'saya telah memenangi sembilan gelar juara dunia dan lebih dari 100
balapan', maka lebih baik Anda tinggal di rumah saja," sambungnya. Kompetisi MotoGP 2014 telah dilalui Rossi dengan watak yang berbeda.
Ia tidak butuh predikat (yang ia sandang di masa lalu), ia hanya butuh
kenyataan masa kini.
Rumus kerendahan hati memang menjadi kunci kesuksesan seseorang. Di dalam agama Islam ditekankan,
la yanalul ilma almustahyi walal mustakbir. Orang-orang yang pemalu dan sombong tidak akan mendapatkan aliran ilmu. Maka tepat apa yang dijalankan VR46. Setelah melalui musim yang pongah dengan segala kemewahannya, maka saatnya menunduk sebentar untuk melupakan kejayaan dan hanya mengingat kerja keras.
Maka
begitu mudah menjadi orang sombong. Namun butuh upaya untuk menjadi rendah hati. Begitu mudah untuk berkoar-koar tentang kemampuan yang kita punya, namun butuh upaya untuk mengakui kekurangan yang ada saat ini.
Sebagai penutup, sebuah
tweet menarik dilontarkan seorang teman lewat akunnya. Tulisnya, "Langit tidak perlu menjelaskan kalau dirinya tinggi.
People know you're good if you're good." Tanpa perlu mengatakannya dengan pongah.
Yogyakarta, 20 November 2014
_______
* Sindunata dalam buku
Air Mata Bola.