Banyak terjemahan yang bisa diambil dari dunia ini. Banyak sudut pandang yang bisa menjadi medium bagi cara pandang kita dalam memaknai hidup ini. Sai Baba membuat terjemahan menarik tentang hidup.
Tuturnya, "Hidup adalah sebuah lagu, nyanyikanlah. Hidup adalah sebuah permainan, bermainlah. Hidup adalah sebuah tantangan, temuilah. Hidup adalah mimpi, wujudkanlah." Setelah membuat perumpamaan akan hidup, Sai Baba selalu mengakhirinya dengan kata kerja. Tulisnya, "Nyanyikanlah", "Bermainlah", "Temuilah", dan "Wujudkanlah" yang dia letakkan pasca perumpamaan. Hidup ya bekerja. Kalau mau hidup, menggerakkan tangan menjadi prinsip utama untuk keberlangsungan hidup kita.
Agama Islam menuturkan, harrik yadak turzak. Gerakkan tanganmu maka Tuhan akan memberi rejeki. Sementara di Jerman slogan arbeit macht frei sangat dikenal pada era Perang Dunia II. Slogan ini pernah saya bahas ketika menulis buku yang mengedepankan pentingnya "bergerak" dalam hidup kita.
Istilah tersebut mempunyai sejarah terkait tahanan Yahudi pada Perang Dunia II. Sampai saat ini, istilah itu banyak terpampang di tempat-tempat bersejarah yang dulu digunakan untuk menahan orang Yahudi. Dengan arti, bekerjalah maka kamu akan bebas.
Zaman dulu siapa yang ingin hidupnya terus berlangsung, kuncinya ya bekerja. Di saat teknologi belum menjadi 'Tuhan' baru, orang-orang harus bergerak, bergerak dan bergerak untuk menghidupi diri mereka masing-masing.
Kita memang seharusnya bekerja. Atau jika tidak, ancaman hidup tidak sehat akan masuk dalam diri kita.
Hidup sehat tidak harus berorientasi pada kesahatan jasmani. Masih ingat, kata "sehat" sering disandingkan dengan dua kata yang selalu berjejeran, yakni "jasmani" dan "ruhani". Sehat badan ya berarti harus sehat ruhani juga. Oleh karena itu, bekerja akan membawa seseorang pada dua hal itu: sehat jasmani dan ruhani.
Bapak dan Ibu saya tipe orang yang selalu mempunyai dorongan untuk bekerja. Bedanya, ketika Ibu tidak punya kerjaan, maka dia akan segera menemukan aktivitas baru untuk mengisi kekosongan waktunya. Bapak saya kurang lebihnya sama. Hanya saja, dia mempunyai sedikit ketergantungan dengan mood.
Dulu saya sering mendapat cerita dari bapak, bahwa "tidak bekera" justru membuat dirinya semakin pusing. Pusing bukan berarti kepala puyeng. Pusing bagi pengertian Bapak berarti menjalani hidup dengan rasa yang hambar, bahkan cenderung pilu.
Dalam kondisi "tidak bekerja" seseorang mudah menemukan imajinasi yang kelewat batas. Syukur jika imajinasi tersebut mempunyai output yang positif. Sering sekali imajinasi tersebut malah berujung pada output yang negatif.
Awal November kemarin, ketika mendapat kesempatan pulang kampung, saya mendengar banyak cerita dari Bapak. Hal-hal yang ia utarakan selalu berkaitan dengan hidup dan religiusitas. Tentang hidup, kemarin dia menceritakan output-output negatif yang dia terima lantaran "tidak bekerja". Setiap hari dia selalu menghabiskan waktunya di sawah. Bukan sawah milik sendiri, hanya sewaan dari orang yang dia kenal. Karena adanya masalah, ia sempat tidak bisa menggarap sawah-sawah tersebut. Akibatnya, dia nganggur selama kurang lebih dua minggu. Dalam kurun waktu itulah dia menerima output negatif karena "tidak bekerja".
Seseorang yang "tidak bekerja" cenderung didatangi pikiran negatif. Baik terkait pesimisme, pandangan sensi terhadap lingkungan sosial, hingga iri dengki. Orang yang "tidak bekerja" mudah terserang hal-hal seperti itu. Alasannya sangat logis, yakni dikarenakan kondisi psikis mereka yang memang dalam situasi down. Frekuensi jiwa-nya berada dalam taraf yang sama dengan kumpulan tiga output negatif tersebut, yakni sama-sama level down.
Sesuatu berbanding terbalik ketika Bapak saya (alhamdulillah) kembali bisa bekerja. Semangat hidup kembali dia raih, pikiran-pikiran positif kembali memenuhi hidupnya, dan tidak ada lagi komentar-komentar berbau sinisme.
Bekerjalah... sebab bekerja membantu otak kita merajut apa yang sedang ia rasakan. Merajut ide-ide yang sedang mengendap, merajut pemikiran yang sedang terekam, merajut apa saja yang sedang ia tampung. Merajut berarti proses menyambungkan. Nah, hal ini sulit kita raih ketika kita hanya tinggal diam. Bekerja mampu membantu otak mencapai hal itu.
Dalam pertengahan bab buku yang saya tulis terkait keistimewaan bekerja, saya mengutip pendapat menarik yang dilontarkan oleh Dr AIdh Alqarni. Tuturnya dengan bahasa sederhana:
"Orang-orang yang bekerja dengan menggunakan tangannya adalah kelompok orang yang lebih bahagia, tidak terbebani, dan tenang dibandingkan yang lain. Coba perhatikan para pekerja itu, mereka memiliki pikiran yang bebas dan fisik yang kuat dikarenakan gerak dan kerja mereka.”
Yogyakarta, 19 November 2014