Dalam dongeng-dongeng anak (fairy tales), sendi-sendi kehidupan tersaji dengan cara sederhana namun tetap reflektif. Dongeng mampu menyajikan kisah fiktif sebagai cermin sekaligus hiburan. Medium fairy tales tidak membutuhkan bahasa yang penuh dengan silat lidah (metafora), namun isi yang mendalam dengan penyampaian yang lugas justru memberi pesan yang empiris.
Cerita Si Pohon Cemara yang ditulis H.C Andersen pada tahun 1844, mempunyai muatan psikologis yang sangat kuat. Bagi yang pernah membaca cerita tersebut, salah satu kesimpulan yang bisa ditulis adalah: momen terbaik ya hari ini.
Andersen lewat kisah cemaranya ingin berbagi pesan, tidak ada hari terindah kecuali hari ini. Ia ingin menepis segala angan-angan yang justru malah menggangu kebahagiaan manusia.
"Di dalam hutan berdiri sebatang pohon cemara yang indah. Tempat ia tumbuh sangat luas dan penuh dengan cahaya," tulis Andersen. Cemara yang indah dan tumbuh di hutan yang rindang ternyata tidak menemukan kebahagiaan.
Mata batinnya tertutup, tidak bisa melihat kebahagiaan hanya karena tingginya angan-angan. Ia yang sebenarnya indah, tidak terima lantaran postur tubuhnya yang terlalu pendek. "Kecil sekali pohon ini," komentar anak-anak petani tentang cemara tersebut. Mulailah tertanam hasrat besar, cemara kecil yang cantik ingin segera besar.
Setelah keinginannya terpenuhi, hari-hari cemara masih dipenuhi dengan angan-angan lain. Ia ingin segera menjadi tua. Alasannya, karena ia ingin seperti cemara lain yang ditebangi lalu diangkut di atas kapal.
"Oh kalau saja aku cukup tinggi sehinga bisa mengarungi lautan!" ucap cemara. Ia ingin mencicipi pengalaman layaknya cemara lain, ingin segera ditebang, ingin segera melihat dunia lebih luas. Sebelum angan-angan itu terpenuhi, hari-hari cemara pun tetap dirundung kesedihan.
Ilustrasi pohon cemara dalam dongeng Si Pohon Cemara, H.C Andersen. Ilustrasi oleh: Vilhelm Pedersen |
Saat Natal tiba, gayung bersambut. Cemara cantik ditebang. Ia dijadikan pohon Natal dengan banyak hiasan di rantingnya. Cemara cantik menikmati hal itu. Tapi tanpa ia sadari, setiap hal di dunia selalu mempunyai konsekuensi. Selepas menjadi pohon Natal, cemara mendekam sepi karena dibuang di sebuah gudang.
Jackie Wullschlager selaku penulis biografi H.C Andersen menganggap cerita Si Pohon Cemara mempunyai kaitan erat dengan kehidupan pribadi penulis. Andersen pernah bekerja sebagai buruh di pabrik rokok, lalu menjadi penjahit, penenun, dan bahkan pernah mencoba peruntungannya sebagai penari.
Kepindahannya ke Kopenhagen membuatnya mengalami banyak hal sulit pada kisaran tahun 1819.
Kisah cemara sungguh sangat empiris. Mudah sekali menemukan orang-orang dengan problem yang sama. Porsi angan-angan yang berlebihan tanpa diimbangi rasa syukur, mendorong seseorang pada kebutaan. Tidak ada lagi sudut pandang kebahagiaan dalam dirinya. Semuanya tertutup oleh hasrat tinggi untuk sampai pada tahapan yang diinginkan.
Hasrat menggebu-gebu yang dialami cemara membuatnya ingin memangkas proses-proses hidup yang normal. Ia ingin segera tinggi, ingin segera tua, tanpa ia sadari semua itu butuh proses alamiah. Cemara adalah kita, yang sama-sama sering termakan oleh angan-angan.
Saat beberapa kali hadir di kelas meditasi, anjuran yang sering disampaikan adalah untuk menikmati momen saat ini (present). Bukan berarti masa lalu dan masa depan tidak penting, namun banyak hal terasa berharga ketika kita tahu diri kita saat ini.
Sungguh sulit menjadi cemara. Sungguh sulit menjadi orang yang tidak bisa bahagia saat ini karena mengharapkan kemegahan di masa depan. Maka benar nasihat Matahari kepada cemara, "Nikmatilah kesegaran pertumbuhanmu dan kehidupan muda yang ada dalam dirimu (saat ini)."
Yogyakarta, 23 November 2014