Sepak bola mengenal istilah defleksi. Secara
bahasa, defleksi berarti pembelokan. Kalau Anda sering menonton bola, para
komentator pertandingan akan mengudarakan kata ini ketika melihat tendangan
keras seorang pemain berbelok arah karena benturan dengan pemain lainnya.
Defleksi tidak selamanya berbuah
untung. Ada defleksi yang justru menghambat terjadinya gol: tendangan keras
seorang pemain, yang sebenarnya sudah mengarah ke gawang, akhirnya berbelok
arah dan hanya menghasilkan tendangan pojok karena benturan dengan pemain lainnya.
Namun banyak juga defleksi yang berbuah keuntungan.
Minggu, 20 Januari 2013 lalu, Robin
van Persie memperoleh untung dari sebuah defleksi. Laga sengit antara
Manchester City vs Manchester United berakhir dengan skor 2-3 untuk Setan
Merah. Tendangan bebas Van Persie membentur barisan bertahan City, bola pun
berbelok dan cukup ampuh untuk mematikan langkah Joe Hart. City pun menelan
kekalahan di hadapan pendukungnya sendiri.
“Itu bukan gol yang fantastis karena
itu defleksi tapi itu tidak menjadi masalah,” tutur Van Persie usai
pertandingan.
Dalam laga Cagliari vs Inter Milan
(29/9/13) kemarin pun, defleksi menjadi faktor X yang menyelamatkan muka tuan
rumah dari kekalahan. Inter Milan yang unggul di menit 75 lewat Mauro Icardi harus menerima hasil seri. Umpan dari sisi kiri dimanfaatkan Radja Nainggolan dengan tendangan keras yang kemudian mengenai kaki Rolando, bola berbelok, Handanovic tidak bisa menyelamatkan gawangnya.
Lebih freak lagi, kita bisa melakukan flashback
pada pertandingan final Liga Champions 23 Mei 2007. AC Milan yang kembali
bertemu dengan Liverpool, menciutkan nyali The Reds berkat gol Filippo Inzaghi.
Tendangan bebas Andrea Pirlo membentur badan ‘putra dewi fortuna’ ini dan gol
pun tidak terelakkan.
Tulis BBC Sport menggambarkan defleksi
gol Inzaghi, “Inzaghi scored a freak
opener in first-half injury time, unwittingly deflecting Andrea Pirlo's
free-kick past a wrong-footed Pepe Reina.”
Gol tersebut membakar semangat I Rossoneri, yang pada final kali ini
sukses mengangkat trofi Liga Champions.
***
Defleksi, sebuah pembelokan, tidak
hanya terjadi di dalam lapangan hijau. Olahraga hanya sebuah miniatur atas
segala apa yang terjadi dalam kehidupan nyata. Oleh karenanya, defleksi yang
terjadi di dalam kehidupan real, efeknya
akan lebih manis (jika memang menguntungkan) dan lebih pahik (jika memang
merugikan).
Tuhan sebagai pemilik skenario,
kadang menempatkan kita pada adegan yang sama sekali tidak terbayang
sebelumnya. Adegan tersebut, kadang sangat berbelok jauh dari background kita. Inilah defleksi. Setiap orang mempunyai perjalanan masing-masing.
Kita tidak tahu apa yang terjadi esok hari.
Cerita tentang defleksi dalam hidup
saya terjadi pada 6 Agustus 2008. Saya seperti bola dengan Tuhan sebagai
penendangnya. Dia menendang, yang lantas membentur episode hidup lain sehingga
berbeloklah arah hidup saya.
6 Agustus 2008 menjadi perjalanan awal
saya datang ke Jogja. Orang-orang yang mendengar kepergian saya ke Jogja akan
heran setengah mati. Tanda tanya yang ada di kepala mereka sangat beralasan. Dari
mulai melihat background saya
sebelumnya, hingga meninjau alasan saya ke Jogja yang tidak kuliah, pun tidak
kerja.
Namun
lagi-lagi ini konteksnya defleksi. Tuhan sebagai penendang, saya bolanya. Layaknya
bola, apakah dia punya hak untuk memprotes penendangnya supaya diarahkan
lempeng-lempeng saja?
Defleksi saya yang akhirnya menetap di
Jogja hingga saat ini lebih tepat untuk dikatakan defleksi Inzaghi ke gawang
Reina. Ini adalah defleksi yang manis. Banyak keuntungan yang saya terima lewat
defleksi ini. Karena Jogja, saya akhirnya bisa berdekatan dengan lingkungan
akademis. Almarhum ibu saya tipekal orang yang mempunyai kecenderungan dalam
dua hal: dagang dan pendidikan. Ketika saya didefleksikan di Jogja, maka pikir
saya, “Mungkin ini cara Tuhan untuk melanjutkan mimpi ibu saya.”
Tendangan yang dilakukan Tuhan (dengan
saya sebagai bolanya) ternyata terus bergulir. Dari defleksi tahun 2008, bola itu
terus berputar ke arah yang lebih manis. Perlahan-lahan saya bisa menanggalkan
status sebagai pengasong koran, begitu pun, perlahan-lahan namun pasti saya
bisa memperkuat poin-poin akademis.
Mimpi ibu saya semakin nyata. Diawali
masuknya saya ke dunia penerbitan, dilanjutkan menjadi penulis biografi yang
membuat saya bersentuhan dengan narasumber yang fantastis, kemudian diteruskan
dengan kesempatan saya mengenyam pendidikan di bangku universitas.
Awal kedatangan ke Jogja, saya tidak
mempunyai bayangan akan kuliah di kota ini. Pikir saya Cuma bekerja, nulis,
berkarya. Namun kesempatan itu datang seiring tendangan Tuhan yang terus
bergulir hingga kini.
Di bangku kuliah, saya semakin
merasakan energi almarhum ibu saya. Ketika saya duduk paling depan, saya ingat
nasihat ibu yang dulu ia tuturkan sewaktu saya masih Sekolah Dasar, “Duduk di
depan. Jawab pertanyaan dari guru. Simak materi dengan cermat.”
Ketika saya bisa
berkomunikasi dengan dosen, ketika itulah saya ingat ibu saya. Dulu, ibu sering terkesima ketika datang ke rumah guru dan melihat almari ruang tamunya penuh
dengan buku. Ibu saya pun mudah terkesima ketika melihat kecerdasan seseorang.
Oleh karenanya, ia selalu membuat larangan kepada anak-anaknya untuk tidak
berpikir lambat. Cerdas, cerdas, dan cerdas. Itu pinta ibu saya.
Ibu saya jago matematika. Dia sering
memeragakan teknik berhitung cepat seperti yang ia lakukan di eranya.
Semangat-semangat seperti ini yang sampai saat ini seolah menjadi harian saya.
Almarhum ibu saya mentransfer energi untuk anaknya yang terkena defleksi
tendangan Tuhan ini.
Di dalam sebuah pertandingan sepak
bola, defleksi selalu disambut dengan sorakan penuh semangat para komentator
bola. Jim Beglin dan John Champions, dua komentator bola yang biasa terdengar
di game PES ini sering berteriak, “And…. Deflection!!!” dengan suara khasnya
ketika terjadi pembelokan atas tendangan keras seorang pemain.
Defleksi, entah itu berujung pada
kerugian atau keuntungan, seyogyanya harus disambut dengan suka-cita. Defleksi,
entah itu bencana atau berkah, adalah bagian dari skenario Tuhan. Saya bersorak
akan defleksi yang saya alami pada tahun 2008 silam.
Ketika defleksi Inzaghi sukses membawa
AC Milan menjuarai Liga Champions, apakah defleksi dalam hidup Anda pun juga
berujung pada kebahagiaan?
Yogyakarta, 10 Oktober 2013